Mahardika berdiri di teras, sama sekali tidak mengerti kenapa Stefani bisa tahu tentang penyakit insomnianya. Yang tahu kondisinya ini hanya orang tuanya, lalu beberapa pelayan di rumah yang selalu menyediakan obata tidur atau ramuan alami untuk membantunya tidak nyenyak. Terakhir tentu saja Daisy.
“Tidak mungkin Daisy memberitahu hal itu pada orang lain!” gumam Mahardika.
Ini sedikit memusingkan baginya. Apalagi ia mendengar Stefani mengatakan kalau dirinya Daisy. Apakah itu cara lain Stefani untuk membuatnya merasa bimbang. Maka Mahardika tidak boleh berlaku demikian.
“Loh, Dika, kamu sudah sampai?”
Aida berdiri di ambang pintu teras samping, tampak tertarik dengan cara kemunculan Mahardika.
“Ya, Ma, saya sudah datang!” jawab Mahardika sopan.
“Kenapa masuk dari samping?” tanya Aida sambil melihat melalui sisi leher Mahardika pada rumah pavilliun yang ada di belakangnya. Tadi Stefani ada di sana, mencoba mengejarnya di taman. Pasti Aida juga sudah melihatnya.
“Kalau begitu saya akan masuk ke dalam, Ma, apa Daisy ada di dalam?” tanya Mahardika.
Pandangan Aida lekas beralih kepadanya dan kepala mama tiri tunangannya itu mengangguk. “Ya, Dika, Daisy ada di kamarnya! Temui cepat!”
“Permisi kalau begitu, Ma!”
Aida memberi jalan untuk Mahardika. Senyumnya sama sekali tidak kelihatan ramah, padahal biasanya Mahardika yakin kalau Aida tak bersikap seperti ini.
Saat ia berbelok di lorong ujung untuk mencapai tangga, Mahardika masih sempat menoleh ke arah Aida. Mama tiru tunangannya itu masih berdiri di ambang pintu, menatap ke arah pavilliun. Mahardika agak merinding merasakan dugaan yang kemudian dimiliki kepala Aida.
Tidak ada yang menghentikan Mahardika mencapai kamar Daisy. Ia tunangan Daisy dan sudah dikenal oleh semua pelayan lama dan yang baru. Papa Daisy sudah mengatur semuanya di rumah ini.
“Ya?” Suara Daisy menyahut dari dalam kamarnya setelah Mahardika mengetuk pintu.
“Ini aku!” seru Mahardika memberitahu siapa dirinya.
Hening selama beberapa detik, lalu kemudian Mahardika mendengar langkah kaki yang terlalu bersemangat sebelum pintu kamar Daisy terbuka lebar. “Mas Dika!” Gadis itu tampak senang melihatnya.
Namun, di matanya Daisy tidak terlihat seperti dirinya. “Apa ini tren terbaru?” tanya Mahardika ingin tahu.
Daisy menelengkan kepalanya dengan tidak paham. “Apa?”
Mahardika mengernyit. Ia memperhatikan Daisy dari ujung kaki sampai ujung kepala. Daisy selalu tampil cantik dan memukau. Ia memakai apapun yang dimilikinya seperlunya saja. Anting, giwang, gelang, bros, bando, hiasan rambut, semuanya ditempatkan di tempat yang tepat.
“Kamu telah memakai kalu emas, buat apa mutiaranya. Gelang yang kamu gunakan juga terlalu banyak. Baju ini sudah memiliki terlalu banyak aksesoris untuk ditambah lagi, apalagi bukankah ini pakaian tiga tahun lalu untuk kostum pesta.”
Setelah menerangkan semuanya, perlahan wajah Daisy memerah, mulai dari telinga kemudian pipinya dan seluruh wajah gadis itu. “I-ni fashion terbaru!” seru Daisy sedikit marah.
Mahardika tersenyum, merasa lucu sendiri dengan apa yang terjadi. “Apa aku boleh masuk? Bagaimana kalau minum teh di balkon?” tanya Mahardika menawarkan.
Ia tahu kalau Daisy sekarang dalam keadaan tak akan mengizinkannya masuk begitu saja. Makanya ia mengajak hal yang disukai Daisy saat sedang kesal, minum di balkon.
“Teh ... aku tidak suka teh!”
Mahardika sedikit terkejut. Tetapi, ia dengan cepat menyesuaikan diri. Mungkin saja Daisy masih merasa marah dengannya. Mungkin juga tunangannya ini melihat dirinya dengan Stefani tadi.
“Baiklah, apa yang ingin kamu minum!” tanya Mahardika mengalah.
“Coklat hangat!”
***
Stefani benar-benar ingin mencoba minum coklat hangat yang hanya dilihatnya di dalam drakor saja. Makanya ia mengatakan hal itu pada Mahardika. Ia benar-benar tak paham dengan kesenangan pemilik tubuh yang sebenarnya digunakannya ini.
Teh? Itu seperti minuman orang tau! Stefani berkata dalam hati.
Mahardika tampak sedikit terkejut dengan keinginannya, tetapi tak lantas menolak. “Baiklah! Terserah kamu saja.”
Stefani memandangi Mahardika yang kemudian mundur dan memanggil Raise untuk mengurus minuman mereka. Lalu beriringan Stefani dan Mahardika ke balkon kamar Daisy yang luas dan nyaman.
Balkon kamar Daisy luas, sekitar 100 meter lebarnya. Selain bunga-bunga yang mengelilingi tepi bakon, ada empat kursi yang disusun di tengah dengan payung yang meneduhi. Di sanalah mereka akan duduk dan meninkmati minuman.
Mahardika menarikan kursi untuk tempat duduk Stefani, sesuatu yang tak akan pernah didapatkan Stefani seandainya ia masih menjadi dirinya yang dulu.
“Terima kasih,” seru Stefani riang.
Ia memperhatikan Mahardika yang mengambil duduk di depannya. Ah, kalau dulu, Stefani bahkan tak akan bermimpi seperti ini. Ia senang pada akhirnya mendapat kesempatan untuk menikmati masa-masa seperti ini tidak akan ada dalam bayangannya.
“Apa perasaanmu sudah baik saja?” tanya Mahardika.
Matanya terkesan menilai, tetapi Stefani tak perlu takut apapun. Ia sekarang senang menjadi Daisy, bukannya Stefani.
“Tentu saja aku baik! Orang yang menjadi lawanku yang harusnya tidak baik-baik saja,” jawab Stefani dengan yakin.
Namun, jawabannya yang diberikannya pada Mahardika tampaknya bukan hal yang diharapkan oleh pria itu. Kening Mahardika berkerut, tetapi Stefani tidak tahu ada di mana kesalahannya.
“Ah, akhirnya Raise datang!”
Stefani merasa amat sangat terselamatkan dengan kedatangan Raise bersama nampan berisi teko teh, juga mug coklat hangat milik Stefani.
Raise meletakan semuanya dengan hati-hati di atas meja. Ia melirik Stefani yang tentu saja dikenali sebagai Daisy sedikit sebelum meletakan mug yang dibawanya di depan. Ia juga menuangkan teh ke dalam cangkir dengan hati-hati.
“Kamu tidak terdengar sepertimu, Daisy,” kata Mahardika pada Stefani.
Kali ini Stefani sama sekali tidak bisa menimpali. Ia tak bisa mengatakan kalau dirinya adalah Daisy yang biasa. Diambilnya mug dengan ditangkup, lalu diseruput isinya sedikit. Panas dari coklat, membakar lidahnya.
“Kamu harus meniupnya dahulu sebelum diminum! Bagaimana bisa hanya kecerobohanmu saja yang sama!”
Mahardika merebut mug dari tangan Daisy dan meniupnya berulang kali sebelum menyerahkan kembali pada gadis itu.
“Aku tidak seperti itu!” Stefani tak mau disamakan dengan Daisy. Ia tidak ceroboh, hanya terlalu bersemangat saja kali ini.
Stefani benar-benar baru mendengar bagian Daisy yang ini. Selama ini ia hanya melihat gadis yang sempurna saja. Jadi ia tak menyangka kalau ada sisi ceroboh dari Daisy.
Karena tidak tahu apa yang biasanya dibicarakan Daisy dan Mahardika, Stefani memilih diam saja. Ia sudah melakukan kesalahan dengan mengucapkan hal gegabah seperti tadi. Jadi ia harus lebih hati-hati lagi sekarang.
“Kamu tidak ingin bertanya padaku dari mana aku sebelum ini?” tanya Mahardika.
Stefani mengernyit. Ia bisa menebak Mahardika datang dari kantor. Daisy menanyakan hal yang sudah diketahuinya? Bodoh sekali!
Seharusnya Mahardika bersama dengan dirinya saja. Ia mulai merancang hal yang bisa dibicarakan dengan Mahardika. Bagaimana dengan pertanyaan berapa anak yang kamu inginkan setelah menikah? Atau di mana kita akan tinggal nanti?
“Jadi tidak mau?” Mahardika menghela napas pelan. “Aku dari pavilliun!”
Stefani melotot. Apa yang dilakukan Mahardika di pavilliun?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments