“Hari ulang tahunku nanti, Kakak bisa pulang cepat, kan?”
Stefani meletakan hidangan terakhir untuk makan malam dan menanti jawaban. Matanya berpindah pada ayahnya yang menikmati hidangan tanpa suara. Tidak ada yang tertarik sama sekali. Seharusnya Stefani sudah menyerah sejak tahun-tahun sebelumnya. Tidak akan ada yang mengucapkan selamat pada hari kelahirannya.
“Ya, sudah kalau begitu!”
Stefani berusaha memaklumi seperti yang biasa ia lakukan. Ia menikmati makan malam yang sunyi layaknya tidak pernah mengatakan apa-apa.
Andai saja aku memiliki orang-orang yang berpihak padaku apapun yang terjadi. Stefani membatin dalam hati. Ia berhenti menyendok makanan, dan menoleh ke arah rumah besar yang tampak dari jendela pavilliun.
“Apa yang sedang kamu lihat?”
Stefani terkesiap, ia menoleh dan mendapati ayahnya menatap dengan garang. Aneh sekali saat merasakan tatapan kemarahan tanpa alasan tersebut pada dirinya. Ia bahkan tak bisa apa-apa selain menangis sehingga menjadi tertuduh pembunuh ibunya.
“Bereskan semua!” perintah ayahnya yang telah selesai makan.
Stefani mengangguk, tanpa suara. Ia membiarkan kakak dan ayahnya pergi terlebih dahulu sehingga kemudian bisa sendirian, mulai menangis. Bertanya-tanya kenapa ia berada di tempat ini dikucilkan merasa sangat bodoh.
Prang!
Piring yang ada di tangannya pecah.
“Apa itu?” Teriakan ayahnya membahana seketika, membawa langkah kaki mendekat kembali. “Kamu benar-benar ... aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu!”
Biasanya, Stefani akan menerima makian, kadang kalau mendapatkan kekerasan. Hanya dorongan kecil di kepala, atau cubitan di bahunya, tetapi rasanya selalu berkali-kali lipat lebih menyakitkan.
“Akan segera Fani bereskan, Yah!”
“Memang harus begitu! Apalagi kegunaanmu di rumah ini selain itu!” hardik ayah Stefani.
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan Stefani sendirian dengan pecahan piring dan perasaan campur aduk. Diangkatnya satu per satu pecahan piring. Ia memindahkan semuanya ke dalam kantong plastik bening. Sebelum membuangnya ke tong sampah yang ada di pintu samping, Stefani lebih dulu membersihkan meja ruang tamu yang juga berfungsi sebagai meja makan.
Tak lama, ia kemudian membawa pecahan piring yang ada di dalam kantong plastik bening ke tong sampah. Sudah malam, suasana jalanan samping rumah yang merupakan gang kecil tersebut sepi. Sayup-sayup terdengar suara ketukan tukang nasi goreng yang mangkal di pengkolan, begitu juga dengan suara kendaraan yang tak seramai saat siang.
Diletakannya dengan hati-hati plastik bening tersebut di tepi, dekat dengan pintu bak sampah. Ia tak mau yang sering mengangku sampah dari bak sana terluka. Hanya hal itu yang terpikir sebagai kebaikan olehnya.
“Kenapa sedih, Neng?”
Stefani terperanjang. Ia mundur dengan tergesa-gesa dan kemudian kakinya membentur undakan dekat pagar samping dan jatuh. Bokongnya menghantam beton dengan keras. Sakit, teras ngilu.
“Astaga ... harus hati-hati, Neng!”
Yang menyapanya adalah seorang pria tua, rambutnya putih, dengan gigi yang hampir copot semua. Ia ingat pada seorang tokoh di dalam sinetron yang pernah ditonton. Seorang pendekar tua dengan rambut panjang putih.
“Ma-af, Kek, saya kaget! Saya pikir tadi tak ada orang!”
Si kakek tua terkekeh kecil, melangkah lebih dekat kepada Stefani.
Pasti sangat tidak sopan kalau Stefani lari sekarang. Dorongan untuk melarikan diri sangat besar sampai Stefani mau menukar apapun yang dimilikinya sekarang hanya untuk bisa lari ke dalam. Tetapi, ia malah tetap bertahan. Dikepalanya terpatri kalimat: Toh, hanya kakek tua.
“Perasaan iri itu mengerakan seseorang, Nak, membuatnya semakin kuat, berusaha lebih keras lagi!”
Stefani sama sekali tidak mengerti apa yang coba dikatakan kakek itu padanya. Ia berdiri perlahan, menepuk-nepukan tangannya pada celana.
“Kalau begitu permisi, Kek,” kata Stefani pamit. Mengabaikan kata-kata yang meluncur dari mulut si kakek barusan.
“Kamu ulang tahun besok, kan?” kata si kakek.
Stefani yang telah membalikan tubuhnya, mendorong pintu pagar lebih lebar lagi terbuka, tak jadi melangkah. Ia memutar tubuhnya kembali supaya bisa melihat si kakek.
“Kakek tahu dari mana?” tanya Stefani curiga.
Memang ada orang-orang jahat yang berpura-pura baik. Bisa jadi si kakek ini adalah salah satunya.
“Hanya tahu saja. Kamu mau saya kasih hadiah?”
Pertanyaan yang diajukan si kakek tua sangat mengoda. Stefani meneliti si kakek tua dari atas sampai bawah. Tampilannya sama sekali tidak meyakinkan sedikit pun. Malahan si kakek lebih bisa dibilang penipu.
“Tidak, Kek, terima kasih!” tolak Stefani.
Ia kemudian berbalik kembali. Pikirnya, untuk apa ia mempercayai seorang kakek yang tak tampak kaya, tetapi mengatakan akan memberi hadiah. Malahan Stefani yang kemungkinan akan membagi makanan yang dipunya di rumah pada si kakek.
Tangan yang merengut pergelangan tangan Stefani terasa kasar. Ia lekas menyentak tangannya segera hingga genggaman si kakek terlepas.
“Kakek jangan kurang ajar!’ seru Stefani berang.
Kakek tua berambut putih tersebut terkekeh, sama sekali tak tersinggung. Ia lalu memberikannya botol kecil berisi cairan yang tampak seperti parfum.
“Minum ini dan minta apapun! Kamu akan kaget dengan apa yang terjadi setelahnya!” pesan si kakek padanya.
“Ah?” Stefani sama sekali tak mengerti.
Cairan dalam botol kecil itu sangat mencurigakan. Apakah itu racun?
Karena Stefani tak kunjung mengambilnya, si kakek mengambil tangan Stefani lagi dan meletakan benda itu di atas telapak tangannya. “Kamu akan tahu kalau sudah meminumnya!” kata si kakek.
Setelah melihat Stefani menyimpan benda itu di sakunya, si kakek baru berbalik dan pergi. Sambil berjalan si kakek bersenandung, isi kalimatnya sama sekali tidak jelas.
Stefani berbalik kembali, mendoorong pintu pagar terbuka lebih lebar dan masuk ke dalam pekarangan. Ketika ia menoleh ke luar saat menarik pagar supaya tertutup si kakek yang harusnya masih terlihat sudah tidak ada. Seolah-olah pria tua itu berlari sekuat tenaga menghindari Stefani.
Prang!
Stefani mendengar suara sesuatu yang pecah lagi saat memegang gagang pintu pavilliunnya. Rumahnya sepi. Ayah dan kakaknya pasti telah berangkat tidur. Samar-samar Stefani mendengar suara Daisy yang berteriak tidak senang.
Ia penasaran dengan apa yang terjadi di dalam rumah besar itu. Tetapi, ia tak memiliki alasan untuk masuk ke dalam rumah sekarang.
“Kenapa kamu lama sekali membuang piringnya?”
Stefani terperanjat kaget. Lampu ruang tamu mati, jadi ia sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya duduk di dalam kegelapan.
“Tidak apa-apa, Yah!” jawab Stefani. Ia tak bisa menceritakan kepada sang ayah kalau bertemu dengan orang aneh yang memberinya botol kecil berisi cairan mencurigakan. Ia bisa merasakan botol itu di dalam saku celananya sekarang.
“Kamu sedang mencuri dengar apa yang terjadi di rumah utama?” tuduh sang ayah.
Stefani memang tertarik. Tetapi, jelas tak ada gunanya untuk tahu apa yang terjadi pada Daisy. Toh, keluarga Daisy tak sama dengannya. Gadis itu bahagia, memiliki hampir segalanya.
“Jangan ikut campur yang bukan urusanmu!”
Lalu sang ayah masuk ke dalam. Stefani bisa mendengar suara keriutan pintu kamar ayahnya saat tertutup.
“Jika itu tidak menyangkut aku, buat apa aku ikut campur!” gumamnya pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Pena_Senja
hihihi Stefani coba yang nongol cogan pasti gak kaget langsung dipeluk, rezeqinya ketemu kakek-kakek xixixi...
2023-03-09
1
ArgaNov
oke, Kak, nanti aku singgah
2022-11-13
1