“Tuan sudah pulang tadi sore, Nona,” kata pelayan memberitahu Daisy saat akan masuk ke kamarnya.
“Begitu?” ujar Daisy sama sekali tak tertarik.
Ia sama sekali tak peduli apakah ayahnya mencari dirinya. Ataukah melupakannya sejak pria itu memutuskan menikah kembali setahun setelah ibunya meninggal. Padahal menurut Daisy ayahnya yang paling mencintai ibunya. Akan tetapi, cinta itu bisa diganti dengan mudah.
“Apa Nona akan turun untuk makan malam hari ini?”
Daisy mengingat kembali permintaan ibu tirinya. Lalu membuang napas. Bagaimana bisa wanita yang sudah mengambil alih posisi mendiang ibunya seriang itu berbicara pada Daisy? Hanya ada dua kemungkinan hal itu terjadi. Pertama wanita itu benar-benar menyayanginya. Kedua, wanita itu sedang menunggu waktu menyingkirkan Daisy.
“Nona?”
Daisy tersentak lekas menoleh ke arah pelayan yang baru saja bicara padanya. “Ya, aku akan datang!” Daisy memberikan jawaban yang diberikan semua orang.
Ia memberikan tasnya pada pelayan itu yang akan membawa ke dalam ruang belajar di lantai satu. Sementara dirinya sendiri naik ke lantai dua, masuk ke kamarnya.
Pintu kamar Daisy jarang di kunci. Jika pintu tersebut dikunci, maka tidak ada orang yang boleh mengetuk. Sebab Daisy kemungkinan ingin sendiri dan tak mau diganggu. Daisy melakukan hal itu sekarang, merasa kepalanya berdenyut.
“Ma ... Daisy kangen!” bisiknya.
Sudah bertahun-tahun kenangan itu berlalu, tetapi tetap saja Daisy merindukan wanita yang sudah melahirkannya itu. Daisy masih kecil saat mamanya meninggal. Namun, kehangatan wanita itu benar-benar membuatnya nyaman. Hingga setelah bertahun-tahun ia bisa merasakannya.
Daisy bergoleh miring, menatap fotonya pada nakas. Di sana ia tertawa dengan sangat riang, seolah-olah kebahagian itu akan bertahan selamanya.
Daisy memejamkan mata, merasakan kalau jemari mamanya memeluk Daisy perlahan, mengatakan padanya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Yang jelas, mengingat betapa hangat belaian itu membuatnya mengantuk dan kemudian tertidur.
Ketukan dan suara di pintu yang sudah membangunkan Daisy. Ia heran dengan si pelaku. Tetapi begitu di dengarnya kalau yang memanggil adalah ibu tirinya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Terasa sangat menyebalkan, hanya sama sekali tidak bisa dihilangkan.
“Daisy! Kamu baik-baik saja, Nak?” Daisy selalu penasaran dari mana wanita itu memperoleh begitu banyak keberania memanggilnya dengan sebutan “Nak”. Mereka tidak akan pernah menjadi keluarga atau begitulah yang dipikirkannya.
Daisy merasa seluruh tubuhnya sakit. Sepertinya ia tidur dalam keadaan terlalu lelah sehingga merasa seperti sekarang. Ia menuju pintu, tanpa menyahuti ibu tirinya yang masih memanggil-manggil.
“Daisy! Kamu baik-baik saja?” Kalimat dan nada khawatir dari wanita yang ada di luar pintu kamarnya masih sama.
Ditariknya pintu hingga terbuka lebar. “Ya, aku baik-baik saja, Ma,” jawab Daisy sama sekali tidak memiliki minat.
Di sana juga ada pelayan yang selalu malayaninya. Wajahnya tampak khawatir.
“Aku akan segera turun,” kata Daisy.
Tampaknya ibu tirinya masih ingin mengatakan sesuatu. Tetapi, Daisy telah lebih dulu mengayunkan daun pintu hingga kembali tertutup. Sekali lagi ia sendirian di dalam ruangannya. Ia mengambil napas beberapa kali.
Kali ini Daisy tidak membiarkan seorang pun untuk membantunya untuk menyiapkan diri. Ia akan melakukan sendiri sambil menyiapkan hati untuk bertemu dengan papanya. Ia bertanya-tanya kapan mereka terakhir bertemu?
Tangga-tangga rumahnya yang lebar terasa panjang dan melelahkan. Beberapa kali Daisy memiliki pikiran untuk kembali berbalik dan masuk ke kamar. Toh, ia bisa melewatkan makan malam sekali saja.
Namun, akan ada keributan jika seandainya Daisy tidak muncul. Wanita yang mengambil possi mamanya akan muncul kembali di pintu kamar, bertanya dengan cemas--yang Daisy yakini bukan perasaan aslinya.
Kursinya ditarik seorang pelayan yang bersiaga. Sebelum masuk ke ruang makan, ia mendengar suara papanya memuji mama tirinya. Tiba-tiba obrolan akrab didengar menghilang begitu saja saat dirinya muncul. Seperti tidak pernah ada. Seperti Daisy hanya bermimpi saja mendengar hal seperti itu.
“Bagaimana dengan kuliahmu?”
“Baik, Papa tenang saja! Papa berinvestasi di tempat yang tepat.”
Pria itu berhenti menyuap, menatap kelat Daisy yang masih belum mulai makan.
“Apa ada yang menganggumu?”
“Tidak ada,” jawab Daisy lekas, hampir tidak berpikir.
“Kamu masih tidak senang melihatku?”
“Tidakkah itu sebaliknya. Papa tidak senang dengan keberadaanku di sini, kan?” Daisy bisa melihat ekspresi papanya yang berjengit terkejut dan kemudian menoleh pada wanita yang ada di sisi lainnya. “Aku sudah selesai!” kata Daisy meminum air di gelas yang baru saja dituangkan, sama sekali tak menyentuh makanan di depannya.
“Kamu belum makan apapun, Daisy! Makanlah ... aku meminta koki membuat makanan yang kamu sukai.”
Daisy melihat steik di depannya. “Terima kasih, tetapi saya sedang diet. Lemak pada daging tinggi.”
“Ah, begitu, ya! Seharusnya aku menanyakan dulu apa yang bisa kamu makan. Tapi menurutku kamu sudah kurus, Daisy.”
Andai saja wanita ini tidak tiba-tiba muncul dalam keadaan Daisy. Andai saja wanita ini datang sebagai pengasuhnya dan kemudian menikah dengan salah seorang pekerja ayahnya. Andai saja ia sepupu atau siapapun yang memiliki hubungan darah dengannya. Daisy pasti bisa menyayanginya. Sayangnya, ia adalah wanita yang datang untuk mengantikan posisi ibunya.
“Tapi aku harus menjaga diriku. Karena beberapa orang membuang orangnya dengan mudah.”
Prang!!
Piring steik miliknya ayahnya jatuh ke lantai begitu juga dengan isinya. Wajah pria yang rambutnya sudah memiliki sulur-sulur keperakan tersebut memerah, tampak aneh. Marah.
“Bagaimana kamu tega berbicara seperti itu?” serunya pada Daisy.
Daisy sama sekali tidak merasa bersalah. Malahan ia mual, muak pada sikap papanya yang menjadikan diri sebagai yang paling terluka.
“Aku--apa?” tanya Daisy berpura-pura tidak tahu.
“Sampai kapan kamu seperti ini Daisy. Aku melakukan semua ini untukmu!”
Alasan itu lagi. Semuanya dilakukan untuk Daisy. Andai saja papanya mengatakan betapa kesepian dirinya, maka Daisy tak akan mencemooh seperti ini.
“Aku benar-benar sudah selesai di sini!” Daisy berdiri, meninggalkan mejanya.
“Aku belum mengizinkanmu pergi Daisy!” teriak papanya.
Namun, sayangnya ia terus saja melangkah. Hanya saja bukan ke kamar, tetapi keluar rumah.
Ia sampai di taman samping, dekat pavilliun para pekerja. Dilihatnya seorang gadis sedang berjalan di jalan paving blok, berhenti sebentar untuk menoleh ke arah rumah dan kemudian kembali ke sana.
Aku iri padamu! Kamu memiliki apa yang tidak aku miliki, Daisy berkata dalam hati.
Ia mungkin memiliki segalanya, tetapi tak ada yang benar-benar dimilikinya.
Daisy merasa sedih, matanya panas. Ia mengatakan pada dirinya bahwa tak boleh menangis sedikit pun. Tangisan Daisy sama sekali tidak akan mengubah apapun.
Tidak apa-apa, Daisy! Kamu akan tahu banyak hal mulai sekarang.
Daisy terkesiap. Ia jelas mendengar suara seseorang tadi, tapi tidak ada siapapun di sekitarnya.
“Siapa? Stefani?” serunya.
Hening, tidak ada sahutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments