Kepala Daisy sakit karena menangis terlalu banyak. Ia merasa tidak nyaman, tetapi juga tidak bisa melakukan apa-apa. Ia telah berkeliling rumah, tempat ini kecil seukuran kamarnya di rumah utama. Ia bertanya-tanya bagaimana orang-orang seperti Stefani merasa kalau rumah ini begitu luas.
Sekarang baru pukul sembilan, mereka tadi sarapan bersama sekitar pukul setengah delapan sampai jam delapan tempat. Lalu kemudian kakak lelaki Stefani pergi bekerja, ayahnya juga begitu.
Kamar Stefani kecil, hanya beberapa buku panduan kuliah itu pun berasal dari perpustakaan. Isi lemarinya juga biasa saja. Apalagi isi meja riasnya. Hanya ada alasa bedak, lipbam merek murahan dan bedak bayi. Ia tak mengerti bagaimana Stefani hidup tanpa berhias.
“Ah, tidak bisa begini!” Daisy melonjak dari atas ranjang. “Aku harus menemui diriku dan bertanya siapa dia!”
Namun, ia berhenti ketika sampai di ambang pintu. Ia tak boleh bersikap sebagai Daisy dengan tubuh Stefani. Orang-orang akan heran, juga menganggapnya gila. Setelah yakin ia bisa bertingkah layaknya Stefani yang ramah, Daisy yang ada di dalam tubuh Stefani melangkahkan kaki keluar rumah.
“Mau ke mana?” tanya ayah Stefani pada Daisy, tentu saja karena Daisy sekarang menjadi putrinya.
“Ke rumah utama, A-yah. Saya mau bertemu dengan Nona Daisy!”
Rasanya sedikit mengelikan saat memanggil ayah orang lain. Apalagi Daisy sama sekali tidak pernah akrab dengan keluarganya seperti Stefani.
“Kamu dilarang masuk ke rumah utama untuk sementara waktu, Stefani.” Ayahnya mengeleng, memandang nampan yang ada di tangannya dengan canggung.
Daisy jadi ikut-ikuatan menatap nampan, sadar kalau isinya adalah kue kering yang sedikit gosong, juga jus. “Itu untuk siapa A-yah?” tanya Daisy masih merasa geli dengan panggilannya juga sikap ramahnya.
“Kamu, para pelayan di dapur sedang membuat kue dan aku memintanya sedikit. Agak gosong, tetapi ini masih bisa di makan.”
Daisy tercekat. Kue gosong pasti pahit, tetapi ayah Stefani sudah membawa ini ke rumah untuk diberikan kepada putrinya. Ia merasa terharu. Lihatlah bagaimana kehidupan anak lain, bagaimana bisa papanya sama sekali tidak peduli pada Daisy?
“Terima kasih, Ayah.” Daisy mengambil nampan itu dari tangan ayah Stefani. Lalu ia tersadar mungkin saja pria itu ingin makan camilan bersama anaknya. “Ayah mau makan sama-sama? Dai-maksud saya, saya akan membagi dua jusnya supaya bisa diminum sama-sama juga.”
Hampir saja! Hampir saja aku menyebut diriku Daisy.
Jantung Daisy berdentum pelan, tidak tenang. Rasanya ingin lari dan bersembunyi saja di dalam kamar Stefani. Rasanya pilihan ia pergi keluar untuk mencoba menemui tubuhnya salah.
Saat mengangkat kepala, ia melihat ayah Stefani berkaca-kaca. Daisy sama sekali tidak paham dengan apa yang terjadi. Apa ayah Stefani tahu kalau dirinya adalah Daisy dan kemudian menjadi terharu karena pada akhirnya Daisy mengerti bagaimana kehidupan orang kecil?
Tidak mungkin. Daisy bahkan bersikap seperti Daisy. Ia juga tidak mengatakannya karena tahu tidak ada orang yang akan percaya.
“Tentu, tentu saja! Sudah lama kita tidak makan kue bersama, ya?” kata ayah Stefani terdengar sedih.
Daisy lega, rupanya karena itu ayah Stefani terdengar sangat sedih. Pasti karena sibuk bekerja, mereka jadi jarang berkumpul juga. Kakak Stefani tidak kerja di rumah Daisy, tetapi pulang malam. Ia pernah melihatnya sampai sekitar pukul 8 malam. Ayah Stefani bekerja sebagai tukang kebun dan selalu berada di rumah. Tetapi, taman rumah Daisy luas dan ada banyak bunga yang harus di rawat. Kadang-kadang harus keluar juga untuk mencari bunga yang diinginkan. Kebanyakan ayah Stefani juga membantu bersih-bersih kaca di rumah atau garasi. Apa saja asalkan bekerja.
Yang membedakan Daisy dan Stefani hanya perhatian yang diberikan keluarganya. Stefani beruntung memiliki keluarga yang memperhatikannya dan Daisy tidak.
“A-da apa, Nak? Ke-napa kamu menangis?” Ayah Stefani berseru dengan panik.
Tanpa sadar Daisy menangis. Ia menyekanya cepat dengan tangan. “Tidak apa, Ayah. Ayo ke dalam dan makan kue bersama!” seru Daisy riang.
Ia merasa jahat pada Stefani karena menikmati kasih sayang ayah dan kakak laki-laki gadis itu. Tapi, ini hanya sebentar saja, jadi rasanya tidak apa-apa.
Daisy meletakan nampan di atas meja ruang tamu. Meja dengan empat kursi rotan yang ditata rapi. Ia bergegas ke dapur yang terletak di ujung sekali, mengambil gelas setelah menyipitkan mata untuk melihat mana yang paling bersih.
Daisy jelas tidak mau membuat kesehatan keluarga Stefani terganggu gara-gara memakai barang kotor. Begitu menemukan yang terbersih, ia kembali keluar dengan langkah cepat-cepat.
“Tidak usah tergesa-gesa, Nak, nanti kamu tersandung!” kataayah Stefani yang sudah duduk di kursi rotan dan menunggu.
Daisy dengan patuh memperlambat langkah kakinya. Ia hati-hati sekali dalam melangkah supaya tidak jatuh. Ayah Stefani hanya memandangnya dengan tersenyum-senyum saja.
Kue kering di atas nampan telah dibagi dua. Bagian yang paling banyak gosong terletak di arah Ayah Stefani dan bagian yang bagus di sisihkan untuk putrinya. Sekali lagi Daisy amat sangat terharu. Andai ia memili ayah layaknya pria di dekatnya ini. Atau paling tidak papanya memiliki sepertiga saja kasih sayang yang ditunjukkan ayah Stefani.
“Ayah juga harus makan yang bagus. Makannya yang baik juga baik untuk kesehatan! Yang gosong buang saja!” suruhnya.
“Tidak, kamu mengalami hari yang buruk, Nak, karena itu Ayah membawa ini. Katanya makanan manis bisa membuat suasana hati jadi baik.”
Suasana hati Daisy sudah lebih baik sekarang. Bukan karena makanan yang dibawakan ayah Stefani untuknya. Tetapi karena sikap kakak dan ayah Stefani yang benar-benar sangat baik. Bagaimana pun, ia merasa kalau hal ini tidak seburuk kelihatannya. Walau ia masih tidak mengerti bagaimana caranya untuk berada di tubuh Daisy, atau bertukar kembali dengan orang di tubuhnya sendiri.
“Ayah, apa aku benar-benar tidak boleh bertemu dengan Nona Daisy?” tanya Daisy pelan.
Dengan bertemu dirinya, Daisy akan tahu apa yang terjadi kurang lebih. Atau paling tidak, ia ingin tahu di mana jiwa Daisy sekarang. Lalu siapa yang ada di tubuhnya.
Setelah itu ia akan berusaha keras mencari cara supaya bisa kembali seperti semula. Ia tidak bisa selamanya di tubuh Stefani. Ia adalah Daisy, bukan Stefani.
“Ayah tidak tahu. Tapi, ayah akan bertanya pada Tuan Besar jika sudah pulang nanti.” Ayah Daisy mengapai jemari Stefani. “Nak, kamu belum menjawab pertanyaan Ayah tadi pagi.”
Daisy terhenyak.
“Apa kamu benar-benar mencintai Tuan Mahardika?”
Daisy tahu sedang berada di tepi jurang kini. Ia tidak bisa menjawab ya atau pun tidak.
“Apakah saya boleh tidak menjawabnya, Ayah?” tanya Daisy sambil meremas ujung roknya.
Ia tak mau menjawab perasaan Stefani sebagai Daisy. Ia menbenci gadis itu, tetapi tak mau menghancurkan orang lain. Tidak. Itu sama sekali bukan gaya Daisy.
“Ya!” Ayah Stefani tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Ibu Wawa
ditunggu lanjutan nya thor tetap semagat 😄😄😄
2022-11-11
1