Karena kemarin dia ke sini, aku pikir bisa melihatnya lagi di sini!
Stefani menendang kerikil yang ada jalan setapak. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi, sebab kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang tak menyukainya juga lebih banyak. Ia akan mencoba untuk menunggu besok kembali.
“Seseorang kalau kamu menungguku di sini, apa benar begitu?”
Stefani terperanjat, terkejut dengan suara yang sama sekali tidak diharapkannya. Ia berharap kalau suara yang didengar hanyalah imajinasi saja. Tetapi, suara itu terlalu nyata. Terlalu dekat dan sama sekali tidak diharapkannya.
“Maaf, aku sama sekali tidak mencari Anda Tuan Brian. Aku memang sedang mencari seseorang tetapi bukan Anda.” Stefani yakin bagaimanapun caranya ia harus memberi batasan pada dirinya sendiri dan Brian.
“Sampai akhir kamu tetap tidak tahu diri! Kamu tidak tahu di mana seharusnya kamu berada!”
Stefani sama sekali tidak ingin diajari tentang keberadaannya sendiri. Ia sudah terlalu hafal kalimat-kalimat itu. Ia telah khatam tentang keberadaannya sendiri.
“Kalau begitu saya permisi Tuan Brian! Sepertinya orang yang saya cari tidak ada di sini!”
Brian rupanya tidak membiarkan Stefanie untuk pergi begitu saja. Segera ia menangkap pergelangan tangan Stefani dan menyentaknya untuk tetap di tempat semula. “Kamu pikir kamu mau pergi ke mana?” tanya Brian dengan garang.
Stefani tertarik dengan keras, merasakan pergelangan tangannya sakit. Matanya menjadi panas.
“Sampai akhir kamu masih saja bertindak kekanak-kanakan ya?”
Stefani melihat Daisy, bersidekap di tempat ia berbelok sebelum menghilang. Nona majikannya itu tampak kesal. Ia melangkah lekas mendekati Stefani dan Brian dan segera setelah itu merengut tangan Stefani, melepaskan dari genggaman Brian.
“Jangan memanggilku kekanak-kanakan!” Brian tampak tersinggung tidak terima.
“Oh, ya, lalu aku haru memanggilmu apa? Bocah?”
Brian berjengit dengan tidak senang. Ia lekas menjauh dari tempat Daisy dan Stefani kini berada. Ketika akan menghilang masuk ke dalam gedung fakultas ekonomi, Brian berhenti dan menoleh. Daisy bisa tahu kalau masalahnya dengan Brian tidak serta merta selesai begitu saja.
“Kamu tidak perlu berterima kasih padaku. Aku hanya kebetulan lewat,” kata Daisy sambil pergi lagi menuju sisi kanan gedung fakultas.
***
“Kenapa kamu jongkok di sini?”
Stefani menarik kedua kakinya lebih dekat dengan tubuhnya. Ia tidak mau ditemukan, tak secepat ini seharusnya.
Ayah dan kakaknya mengatakan sesuatu yang jahat tadi. Mereka bilang karenanya sang ibu meninggal. Padahal lahir ke dunia bukanlah pilihan Stefani. Kalau saja ia tahu akan hidup seperti ini, ia pasti memilih untuk tak lahir.
“Apa kamu tamu Daisy?”
Stefani pikir ia sudah ditinggalkan karena tak menyahut. Akan tetapi, orang ini tetap berada di dekatnya. Suaranya terdengar seperti seorang pria. Apakah itu salah seorang pelayan di pesta?
“Ti-dak, saya tinggal di sini,” jawabnya.
Tenggorokan Stefani sakit, hidungnya juga mampet, kepalanya juga berat. Ia memutuskan pindah, berhenti bersembunyi di tempat yang cepat dilihat orang ini.
“Setahuku Daisy tidak punya saudara!”
Orang ini bahkan tidak tahu apa-apa soal siapa saja yang tinggal di rumah ini. Stefani tidak memiliki keinginan untuk menerangkan kepada orang yang terus-menerus mengajaknya bicara walau tidak disahuti.
“Ada empat paviliun di belakang rumah, saya tinggal di sana,” kata Stefani sambil lalu.
Ia bermaksud pergi, tetap tubuhnya tidak mau mendengar kali ini. Matanya terpaku pada pemuda yang berdiri di depannya, gagah sekali, begitu dua kata yang mendeskripsikan orang ini. Tetapi, orang ini adalah temannya Daisy. Teman Daisy tidak ada satu pun yang suka pada Stefani.
“Daisy pernah mengatakan itu. Aku Mahardika, tunangan Daisy!” Orang di depan Stefani memperkenalka diri, tersenyum seolah dirinya dan gadis di depannya memiliki derajat yang sama.
“Ste-fani.” Tergagap Stefani menjawab. Ia sendiri kaget karena memperkenalkan diri dengan benar.
“Aku sedang jalan-jalan karena di dalam ramai sekali. Hari ini Daisy jadi pusat perhatian. Kenapa kamu ada di sini dan … menangis?”
Stefani terperanjat, ingat kalau belum menghapus air matanya dengan benar. Gelagapan ini mengunakan kedua tangannya mengusap air mata.
“Pakai ini!” Mahardika menyodorkan sapu tangan.
Agak ragu Stefani menerimanya, tetapi Mahardika tetap memaksa untuk memberikan. “Terima kasih,” kata Stefani. “Akan kukembalikan lagi nanti!”
Mahardika mengeleng. “Tidak usah. Aku hanya kebetulan lewat.”
Lalu Mahardika melambai, meninggalkan Stefani sendirian saja.
***
Wanita itu menerima laporan kembali dari pelayan kepercayaannya di rumah. Wanita yang tidak melahirkan satu anak pun dari suaminya, tetapi berusaha keras menjadi ibu yang baik bagi anak tirinya.
“Jadi semuanya terkendali, ya?”
“Ya, Nyonya Aida, Nona Muda pasti kaget sekali dengan pesta ini!” kata pelayan yang ditanyainya.
Aida mengangguk-angguk, merasa senang. Ia tahu kalau tidak akan pernah dianggap sebagai ibu yang baik untuk Daisy, tetapi ia sudah berusaha sangat keras.
“Daisy pulang sore hari ini, kan?”
Pelayan yang ditanyanya diam. Sepertinya sudah menduga kalau pun pulang Daisy tidak akan serta merta menampakan batang hidungnya di depan ibu tirinya.
“Tidak apa-apa, dia sudah berjanji akan makan malam bersama dengan kami tadi pagi,” kata Aida mengingat-ingat kembali saat melepas Daisy di teras tadi pagi.
Pelayan yang tadi mengangguk dan tersenyum. “Kami menyiapkan makan malam yang terbaik, Nyonya, Nona dan Tuan pasti senang!”
Aida mengangguk-angguk lagi. Ia berharap semuanya berjalan dengan lancar hari ini dengan begitu hubungan suaminya dan Daisy akan kembali lebih baik.
“Ah ... rupanya kamu ada di sini, Aida.”
Aida mengerjap-ngerjap tidak percaya dan kemudian tersenyum senang pada kemunculan lelaki yang sudah memenangkan hatinya tersebut. Suaminya yang seharusnya pulang paling terlambat setelah Daisy ada di rumah, telah muncul. Pria yang tampan itu mendekat, memberikan Aida ciuman hangat.
“Bukannya Mas Ibnu pulang paling telat sore?” tanya Aida penasaran.
“Mau membuat kejutan,” jawab Ibnu yang sekali lagi mencium istrinya.
Aida tertawa, menuntun suaminya itu duduk di sisinya. “Nanti saat makan malam jangan marah pada Daisy ya?” pintanya.
“Kalau dia tidak sopan lagi padamu, tentu aku akan marah padanya!” Ibnu bersandar, mengenggam jemari istri keduanya yang dinikahi setahun setelah istri pertamanya meninggal itu. “Kamu sudah banyak berkorban untuknya.”
Aida mengeleng. “Wajar jika dia tidak bisa menyayangiku, Mas, aku adalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya. Dia pasti sangat kaget.”
Ibnu menghela napas dalam dan kemudian mengecup tangan Aida perlahan. “Aku harap ada sesuatu yang akan membuatnya sadar kalau hal yang dilakukan sia-sia. Kamu menyayanginya dengan baik, aku tahu itu.”
Aida terkekeh sedikit. Ia tidak butuh penghargaan seperti itu. Ia hanya ingin Daisy menerimanya sebagai ibu. Aida berharap hal yang diharapkan oleh Ibnu akan terjadi, dengan begitu keluarga bahagia yang diimpikan akan jadi kenyataan.
“Kadonya sudah disiapkan, kan, Mas?” tanya Aida dengan semangat.
Aida bisa melihat ekspresi bingung di wajah Ibnu dan tiba-tiba mimik pucat tampak seketika di sana pula. “Aku lupa, Aida!” serunya panik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Sandra Yandra
Ibu tiri yang baik
2022-11-18
1
Anindya
Semangat terus yaa kak, karyamu baguus👍🏻
2022-11-06
3
Ibu Wawa
sampai disini dulu ya thor, semagat ya thor.
2022-11-05
1