Aneh, kenapa tidak ada yang membangunkanku? Stefani berguling di atas kasurnya kembali, menunggu seseorang mengetuk pintunya.
Pada akhirnya Stefani membuka mata lebar-lebar dan lekas duduk. Ia bergegas untuk turun dari ranjangnya yang terasa lebih luas. Begitu ia menginjakan kakinya di lantai Stefani sadar kalau ia tak berada di kamarnya. Tempat itu adalah kamarnya Daisy. Itu adalah kamar nonanya di rumah ini.
“Apa terjadi sesuatu?” gumam Stefani.
Matanya terbelalak seketika, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan dan kemudian terpukau dengan hiasan kukunya yang cantik, yang tidak mungkin akan Stefani gunakan karena pekerjaannya di rumah.
Ia tak jadi berlari keluar kamar seperti yang dilakukan biasanya, tetapi berbelok ke arah kamar mandi tempat biasa ia kagumi saat masuk ke kamar Daisy. Ia mengerjap tak percaya dengan pantulan dirinya di cermin.
“Daisy! Aku jadi Daisy!” katanya tertawa-tawa senang.
Ia menutup mulutnya supaya tak tertawa terlalu keras dan menganggu orang-orang. Hal yang lekas ia sebut kebodohan karena Daisy pada dasarnya adalah pemilik rumah ini. Apapun yang dilakukan Daisy tidak akan menganggu siapapun. Kata-katanya adalah hukum yang akan selalu dipatuhi semua orang walaupun sebuah kesalahan.
“Nona Daisy ... apakah Anda sudah bangun?”
Stefani tersentak, sedikit terkejut. Untungnya ia menutup pintu kamar mandi tadi, sehingga tidak akan kelihatan oleh orang lain apa yang sedang dilakukan. Ia berjingkat sedikit untuk bisa sampai di pintu dan mengintip. Raise!
Raise adalah gadis yang menjadi pelayan Daisy sejak lama. Dia adalah putri pelayan lainnya yang usianya beberapa tahun dibandingkan Stefani dan Daisy. Setelah tamat sekolah, Raise tidak melanjutkan kuliah dan bekerja secara penuh mengurus Daisy. Karena selalu bersama Daisy, Stefani berpikir kalau Raise pasti menyadari keanehan sikap Daisy yang tubuhnya kini ditempati Stefani.
“Nona ... Anda ada di mana?” seru Raise.
Pelayan itu menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi tidak melihat keberadaan tuannya. Lalu ia mendekati ranjang, menyibak selimut dan tidak menemukan gadis yang dicari.
Stefani tahu tidak bisa selamanya sembunyi dari Raise. Ia harus keluar, bersikap sewajarnya dan selamat dari semua ini. Ia hanya satu dari hari lainnya di mana Stefani akan mengacau. Tetapi, kali ini tidak akan ada orang yang marah padanya.
“Aku di kamar mandi, Raise!” seru Stefaani memberitahu.
Lidahnya tergigit karena tak terbiasa bersikap arogan seperti halnya Daisy yang sebenarnya.
“Nona membuat saya khawatir. Apa yang ingin Anda makan pagi ini?” Raise bertanya. Ia tetap berdiri seperti pelayan lainnya kepada majikan, menunggu perintah.
“Pankek?”
Stefani ingin menampar mulutnya seketika. Kalimatnya tadi tidak seperti perintah tetapi permohonan. Ia mengingatkan dirinya kalau Daisy tidak pernah memohon.
“Baiklah, Nona, saya akan mengatakannya pada orang dapur. Anda mau makan di kamar atau di meja makan?” tanya Raise selanjutnya.
Stefani jelas tidak begitu tahu kebiasanya Daisy. Ia bukan pelayan yang berada di sisi Daisy seperti Raise, atau yang selalu berhubungan dengannya seperti petugas kamar. Ia hanya bertemu Daisy beberapa kali dalam sehari, dan itu tidak pantas di sebut pertemuan karena hanya berpapasan saja. Lalu Stefani akan berbasa-basi menyapa sebagai salah seorang yang diberi fasilitas rumah oleh keluarga Daisy.
“Aku akan makan di meja makan!”
Cukup lama keheningan muncul di sana, kemudian terdengar suara nafas tercekat karena kaget akan sesuatu. “Baiklah, Nona, saya akan menyiapkannya di bawah.”
Stefani menunggu sampai Raise keluar kamar. Ditandai dengan suara pintu yang berdebam tertutup. Setelah itu ia keluar dari kamar mandi dan menikmati kemewahan kamar yang tidak pernah akan mungkin menjadi miliknya.
“Jadi seperti ini melihat apapun yang kamu inginkan ada di depan matamu, ya?” gumam Stefani senang.
***
Daisy tidak pernah makan di meja makan karena tak mau bertemu dengan mama tirinya. Kalau pun di meja makan, ia tidak suka ditemani. Tetapi, menjadi Stefani mewajibkannya berada di meja makan.
“Kamu baik-baik saja?” Kakak lelaki Stefani bertanya dengan nada canggung padanya.
Daisy mengangguk perlahan. Air matanya kembali tergenang. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak tahu apakah yang terjadi ini adalah bentuk hukuman atau ujian untuknya. Ia bahkan tak ingat kesalahan apa yang terjadi padanya dan membuat Daisy harus menjalani ini semua.
Ayah Stefani datang dan meletakan piring berisi roti bakar disertai telur di depan Daisy. Sementara untuk diri sendiri dan putranya ia membuat nasi goreng dengan telur mata sapi yang separuh matang.
“Kalau perasaanmu masih tidak nyaman, tidak usah kuliah hari ini! Kemarin juga kamu sudah libur, menambah sehari lagi tidak apa-apa!” Pria itu ayahnya Stefani berkata dengan nada yang hangat.
Bagi Daisy yang terbiasa diperlakukan seakan tidak ada oleh papanya itu menenangkan. Seolah-olah apapun yang terjadi, pria yang dipanggil Stefani Ayah akan melakukan segalanya. Ia ingat bagaimana pria tua itu dengan hati-hati mengendongnya pulang.
“Aku yang akan mencuci hari ini kalau kamu tidak keberatan,” kata kakak lelaki Stefani.
Mencuci? Roti yang baru segigit di makan Daisy jatuh ke piring. Ia memandang tidak percaya pada dua lelaki di depannya.
“Ja-di, apa saja yang harus saya lakukan di rumah, Ayah, Kakak?” tanya Daisy hati-hati.
Kakak dan Ayah Stefani saling pandang. Tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan satu-satunya wanita di keluarga mereka.
“Apa maksudmu dengan yang harus kamu lakukan di rumah?” tanya sang kakak.
“Sa-ya tidak ingat apapun!”
Ada keheningan yang tidak biasa tercipta tiba-tiba. Sebelum kedua orang yang bahkan belum sempat menyentuh makanan yang sudah terhidang berdiri secara bersamaan dan setengah berlari ke arahnya. Jarak mereka hanya dua meter, dihalangi oleh meja makan berbentuk bunda dengan tiga kursi.
“Kamu tidak ingat apapun? Kamu tidak ingat Ayah?
“Kakak juga?”
Kedua lelaki yang merupakan keluarga Stefani itu bertanya bersamaan juga dan tampak panik. Lalu Kakak laki-laki Stefani berdiri di belakang memeriksa sesuatu di kepalanya. “Dia terjatuh semalam, kan? Apa mungkin kepalanya terbentur?”
“Ayah tidak tahu. Ayah hanya dipanggil oleh pelayan yang mengatakan kalau Stefani pingsan saat sedang bersama Tuan dan Nyonya Besar. Kenapa kamu tidak mengatakan apapun pada ayahmu ini!”
Mana mungkin Daisy bisa mengatakan kalau ia bukan Stefani. Bagaimana ia bisa mengatakan pada dua orang yang baru mendengan satu pertanyaannya kalau Stefani tidak ada di dalam tubuh ini melainkan Daisy.
“Saya tidak mau membuat Kakak dan Ayah khawatir. Maafkan saya,” bisik Daisy pelan.
“Pantas saja kamu aneh, Nak, kamu pasti merasa asing dengan semuanya. Tidak apa, jangan takut Ayah ada di sini!”
Sentuhan yang hanya dirasakan Daisy saat bersama mendiang ibunya dirasakannya kini dari Ayah Stefani. Kembali air matanya tergenang. Ia mulai terisak.
“Maafkan saya. Maafkan saya, Ayah!” katanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Ibu Wawa
tetap semangat ya kak,aku kasih hadiah untuk kakak hari ini.
2022-11-08
2