Wisma tamu milik saudara sepupu Alaik masih dalam pembangunan.
Ada orang yang sedang membakar tumpukan batu bata di halaman. Dua orang pekerja lainnya menyusun batu-bata yang sudah jadi—membangun tembok yang nantinya dimaksudkan untuk ruang penerima tamu.
Sebuah permadani yang sangat besar diletakkan di ruang masuk, masih terbungkus dalam kemasan yang terbuat dari kulit.
Beberapa pria lainnya lagi sedang mengerjakan pemasangan lantai.
Alaik berjalan mendahului, tersenyum sementara ia menerobos di antara para pekerja itu, menghindari alat-alat pertukangan, papan-papan kayu, dan beberapa tangga. "Silahkan lewat sini, ikuti aku," katanya. Kemudian memanggil seseorang, suaranya menggema di ruangan yang kosong.
"Semuanya akan baik-baik saja, tinggal sedikit pekerjaan lagi, tapi kamar kalian berdua sudah siap."
Saudara sepupunya muncul. Seorang pria langsing yang sedang memegang palu. Namanya Behrouz. Dia pernah menjadi sais di Melisande selama sepuluh tahun, katanya, dan berbekal bahasa asing yang dikuasainya dari negara itu, dia memutuskan untuk kembali ke Xerxes dan membuka penginapan.
Jeremiah dan Leazah digiring menuju kamar-kamar yang baru saja dicat dengan campuran timah dengan anggur dan cuka. Yang satu masih kosong, perabotannya semua ditumpuk membentuk piramid di tengah kamar yang lain.
"Airnya akan mengalir besok," kata Behrouz.
Alaik mengangguk, yakin.
Tidak ada ubin, tidak ada kakus, tidak ada perapian, tidak ada kolam di kamar mandi.
"Tapi kamarnya sudah siap... ada ranjang besar, meja..."
Leazah merasa kecewa.
"Bagus." Jeremiah tidak henti-hentinya tersenyum dari tadi. "Nah, dengar, Behrouz, ada beberapa hal lain."
Jeremiah duduk di kursi yang ditariknya dari bawah piramid, menyilangkan kakinya dan bersedekap.
Dia memandang berkeliling, mengamati tempat itu seakan-akan dia seorang pemborong yang sedang mencari barang antik.
"Pertama-tama, aku ingin memberikan pujian padamu, ini akan menjadi wisma tamu yang sensasional. Digarap dengan baik, sungguh. Kupikir kau memiliki ide yang sangat cemerlang. Memang benar Xerxes membutuhkan lebih banyak penginapan. Akan semakin banyak orang Melisande yang memerlukan tempat yang nyaman untuk tinggal."
Jeremiah memberi isyarat ke arah perabotan di situ. "Lihatlah tempat tidur yang indah ini, mejanya, semua barang antik ini. Yang terpenting adalah menaruh banyak permadani indah di dalam ruangan, kau tahu? Permadani akan benar-benar membantu. Tapi---"
Dan saat itulah Jeremiah berdiri dan meraih lengan Leazah, menariknya mendekat, seolah-olah gadis itu adalah bungkusan pakaiannya.
"Kami benar-benar harus pergi sekarang, sebab kami tidak bisa menunggu lima menit lagi sebelum kami dapat mandi. Kami sudah bepergian selama delapan hari. Tuan Muda belum sempat tidur," Jeremiah mengerling ke arah Leazah. "Kami juga sangat membutuhkan sepiring makanan dengan daging asap, sedikit buah dan sayuran. Dan... Kurasa kau belum siap untuk menyediakan sarapan seperti yang kami inginkan. Terima kasih untuk semuanya, sekali lagi aku acungkan jempol untukmu, Teman. Teruskan usaha yang bagus ini. Ayo, Tuan Muda. Kita harus pergi sekarang."
Jeremiah membungkuk pada Behrouz, yang memandangnya dengan mulut ternganga, mungkin tidak siap dengan reaksi yang begitu cepat.
"Semoga kau dan keluarga selalu sehat," kata Jeremiah pada Alaik. "Juga bisnismu," katanya pada Behrouz. "Semoga berkembang dan sukses. Senang bertemu kalian, sungguh. Sekali lagi terima kasih."
Senyum Alaik menghilang. Dia dan saudara sepupunya saling berpandangan dengan kikuk dan kecewa, tetapi tidak memutuskan untuk membujuk tamu mereka.
Jalanan mulai sepi ketika mereka keluar dari wisma itu. Barisan pria berjalan berduyun-duyun membentuk jalur sendiri, atau mendorong gerobak di sisi jalan.
Matahari yang hampir tenggelam menembus awan berwarna kelabu, menyinari bercak-bercak warna lebih gelap dari kedai-kedai jalanan. Tumpukan buah delima, apel merah, daun-daun hijau tua.
Sesekali seorang wanita menyeberang jalan, satu sosok kabur berwarna biru langit, terlihat seperti hantu. Kelebat bayangannya menyatu dengan udara kemudian lenyap di belakang kereta kuda.
Jeremiah menemukan penginapan yang sudah tidak mau menerima tamu lagi, tetapi setelah tawar-menawar, Jeremiah berhasil meyakinkan si pemilik penginapan untuk memberi mereka dua kamar, dan berjanji bahwa mereka akan mengosongkannya dalam satu minggu, karena kamar-kamar tersebut sudah dipesan untuk beberapa lama oleh orang lain.
Kamar Leazah luas dengan perabot yang berat dan gelap, beberapa permadani di lantai, cermin-cermin. Tungku perapian di sudut menyebarkan kehangatan yang menyenangkan.
Suara mendesis dari perapian itu membuatnya cemas. Baunya sangat menyengat seperti racun.
Ia memeriksa bantal-bantal di tempat tidur, menyusuri kusen jendela dengan jemarinya, mengintip ke balik permadani. Permadani-permadani itu sudah usang. Debu bertebaran di mana-mana.
Kamar mandinya terletak di ujung tangga. Masuk ke sana terasa seperti masuk ke dalam iglo. Pada kusen jendela berjajar beberapa barang yang menunjukkan kehadiran kaum pria. Jubah berbulu, jaket berburu, ikat pinggang dari kulit binatang dan dua helai syal beludru.
Satu jam kemudian, Leazah mengetuk pintu kamar Jeremiah dan menemukan pria itu bergelung di sofa, rambutnya yang panjang terurai basah dan senyum kemenangan tersungging di wajahnya.
Beberapa syal berwarna-warni dan mantel digantung di lemari pakaiannya, buku-buku ditumpuk dengan rapi di meja. Kelihatannya dia sudah tinggal di situ selama bertahun-tahun.
"Lihat ini. Sempurna, kan? Aku kelaparan, bagaimana denganmu?"
Pada meja rendah terdapat nampan dengan telur dan daging asap untuk dua orang, sepoci teh hitam dan dua iris kue.
Jeremiah menepuk sofa di sebelahnya seperti memanggil seekor anjing. "Ke sinilah, Elijah. Kita layak menikmati makan malam yang enak. Lihat di luar sana."
Dia menunjuk ke jendela, yang menawarkan pemandangan suram. Salah satu dari dua bukit di luar sana lerengnya dipenuhi rumah-rumah dari bata-lumpur dalam lingkaran kuning cahaya obor di halaman masing-masing rumah.
Langit sudah gelap sepenuhnya. Angin lembut bertiup, menyapu awan yang pucat.
Rencananya Leazah akan tinggal beberapa hari di Xerxes, mendatangi beberapa kedai minuman untuk mencari tahu rumor yang sedang beredar, mendapatkan izin untuk bisa keluar kota, lalu berangkat ke desa-desa.
Di sana ia akan berusaha berbicara dengan penduduk pribumi.
Di atas kertas semua itu tampak mudah dilakukan. Tetapi pada saat sarapan keesokan harinya, Leazah akhirnya menyadari bahwa di Xerxes konsep pergerakan harus ditafsirkan ulang.
Pagi-pagi sekali, Jeremiah sudah tak ada di kamarnya. Leazah duduk sendirian di ruang makan besar penginapan itu.
Di belakang, para tamu lain yang sedang duduk bersama di sekeliling meja panjang seperti satu keluarga.
Rata-rata mereka tampaknya orang Melisande dan semuanya adalah laki-laki.
Leazah hanya berani melirik dan melihat punggung-punggung yang nampak kuat, baju jirah dari kulit dan sepatu bot gurun. Ia juga mendengar aksen sengau lambat dari wilayah selatan Nadia.
Sesuatu dalam sikap mereka spontan membuatnya tidak bersimpati. Mungkin karena mereka tidak peduli dengan kehadirannya. Tidak satu kepala pun yang berpaling, tidak ada salam yang terucap, tidak ada senyuman yang menyambut.
Bisa dibilang, melihat sikap hambar dari meja mereka, Leazah merasa kedatangannya justru dianggap sebagai gangguan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments