Fragmen-10

"Yang Mulia, tuan muda Douglas Pierre ingin menemuimu secara pribadi," Lazareth membungkuk di ambang pintu kamar kaisar.

Kaisar memalingkan wajahnya dari pemandangan di luar jendela, kemudian menoleh dan menaikkan sebelah tangannya sebagai isyarat bahwa ia mengizinkan Douglas dibawa ke sini.

Lazareth membungkuk sekali lagi, kemudian berbalik meninggalkan ruangan.

Tak lama kemudian, Douglas muncul di ambang pintu tanpa pengawalan. "Terima kasih mau menerimaku," katanya. "Ada yang ingin kutanyakan dengan rendah hati—"

"Dengan segala hormat," kaisar menyela sembari memutar tubuhnya, membelakangi jendela dan menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya, kemudian mendekat ke arah Douglas. "Tapi… izinkan aku menanyakan sesuatu padamu terlebih dulu," katanya seraya melingkarkan sebelah lengannya di bahu Douglas. "Sesuatu untuk Nadia."

"Apa pun, Yang Mulia." Douglas menanggapinya dengan santun. "Dengan segenap jiwaku."

Rasmus memutar tubuh Douglas, menghadapkan pria itu ke arahnya dan menekankan telapak tangannya di bahu Douglas. "Ini sedikit drastis daripada itu," ungkapnya.

Douglas memandang wajah kaisar dengan penuh tanda tanya.

"Aku ingin kau menerima putriku, Leazah Bernadeta," ungkap kaisar dengan hati-hati. "Untuk menikah."

Douglas terperangah, sepasang matanya berbinar-binar. Mulutnya membulat setengah tertawa. "Aku—" ia tergagap-gagap dengan perasaan yang menggebu-gebu. "Aku sangat senang," katanya tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Ini menjadi suatu kehormatan…"

"Bagus," pungkas kaisar seraya menepuk-nepuk bahu pria itu dengan raut wajah lega.

.

.

.

"Elijah Knight!" Suara bariton seseorang di ambang pintu kediaman Jenderal Jeremiah menyela permainan celo Leazah dan biola Jeremiah.

Keduanya lantas menoleh dan mengerutkan dahi.

"Yang Mulia memintamu untuk bermain celo di ruang bacanya." Lazareth memberitahu.

Leazah mengerjap dengan terkejut dan beradu pandang dengan Jeremiah.

Sejurus kemudian, Leazah sudah digiring menuju perpustakaan raja.

"Buat aku merasa nyaman," perintah kaisar dari balik mejanya.

Leazah membungkuk dan menyiapkan diri, sementara Lazareth menyiapkan tempat duduk untuk gadis itu.

Kaisar mengangguk pada Lazareth setelah Leazah mendapatkan tempat duduknya, mengisyaratkan pada pria itu untuk meninggalkan mereka---hanya berdua.

Sesaat Leazah merasa tak nyaman. Ia menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Lalu mulai memainkan beberapa nada minor.

Selesai satu lagu, Rasmus menyelinap keluar dari mejanya, kemudian berjalan pelan mendekati Leazah. "Sentuhan melankolis," komentarnya. "Tidak seperti yang pernah kudengar sebelumnya. Entah dari dunia ini atau dari dunia lainnya."

Leazah hanya bergeming. Tak tahu bagaimana harus bereaksi.

Rasmus menarik salah satu bangku dari sudut ruangan, kemudian menempatkannya di dekat Leazah dan mendudukinya.

Leazah menelan ludah, memandang kaisar sedikit waspada.

"Kau ingat pembicaraan kita di taman?" tanya Rasmus membuka pembicaraan. "Tentang perempuan di air mancur?"

"Ya," jawab Leazah sedikit gelisah. "Tentu. Satu-satunya perempuan…"

"Kau mengingatkanku pada perempuan itu."

Lagi? batin Leazah gusar.

"Kadang kukira kau adalah dia," lanjut kaisar.

Perut Leazah seketika menegang, lututnya terasa goyah, jantungnya berdegup keras memukul tulang rusuknya, denyut nadinya seakan terputus-putus.

Jangan pernah berpikir untuk menjadikanku sebagai salah satu dari selirmu! Leazah memperingatkan kaisar dalam diam.

Senyuman penuh pemahaman sang kaisar melebar, tatapannya tidak beralih dari Leazah, bahkan ketika gadis itu secara terang-terangan menunjukkan penolakan dengan menggeleng dan memalingkan wajah untuk mematahkan harapannya.

Aku takkan pernah menjadi selirmu, batin Leazah. Bahkan ratumu!

"Kau itu…" kaisar menggantung kalimatnya sesaat sebelum melanjutkan, "Sama seperti ibumu."

Leazah menoleh dengan tersentak, menatap kaisar dengan mata dan mulut membulat. "Kau kenal ibuku?"

"Dia memiliki semangat sendiri," kaisar memalingkan wajahnya dari Leazah, menerawang udara hampa di depan wajahnya. "Individu tersendiri."

Leazah masih bergeming, menatap kaisar dengan terperangah.

"Dia tak pernah merasa nyaman berada di dalam kehidupan istana," kaisar melanjutkan, menoleh kembali ke arah Leazah. "Sama sepertimu."

Leazah tertunduk perlahan.

"Dia pergi ke biara sebelum aku tahu dia sedang mengandung," kaisar bangkit dari tempat duduknya, kemudian memutar tubuhnya membelakangi Leazah, berjalan pelan melintasi ruangan dan menyelinap ke belakang meja.

Leazah memperhatikan kaisar dengan sorot mata hampa.

Pria itu menarik laci di bawah mejanya, mengeluarkan sesuatu dan mengulurkannya ke arah Leazah.

Leazah beranjak dari bangkunya, menyisikan celo di tangannya dan menyandarkannya di sudut terdekat, lalu mendekat ke arah kaisar dan menerima benda berkilauan yang diulurkannya.

Sebuah kalung emas dengan bandul besar berbentuk oval cembung rangkap yang dapat dibuka seperti tiram.

Leazah membuka bandul kalung itu dan mendapati lukisan kaisar bersama sang ratu---ibunya.

Leazah terhenyak menatap kaisar, kelopak mata dan bibirnya bergetar. "Kau ayahku?" pekiknya sedikit tercekik.

Rasmus keluar dari mejanya dan mendekat, kemudian duduk di tepi meja menghadap Leazah. "Aku mungkin pria yang buruk dan sangat egois," katanya setengah berbisik. "Aku lebih peduli pada Nadia daripada kau dan ibumu."

"Kenapa kau memberitahuku hal ini?" sergah Leazah cepat-cepat, menatap kaisar dengan ekspresi curiga.

"Karena ada pengorbanan yang harus kau buat," jawab kaisar. "Demi Nadia."

Leazah menaikkan rahangnya dengan mulut terkatup. Sudah kuduga aku masuk ke dalam perangkap, geramnya dalam hati.

Kaisar meraup wajah Leazah dengan kedua tangannya, menempatkan kedua telapak tangannya di pipi putrinya. "Harta kerajaan kita sudah hampir habis," desisnya lirih. "Sementara itu, musuh juga sedang mengepung kita di sana-sini. Kebohongan, pengkhianatan…"

Leazah menelan ludah dengan susah payah. Menatap getir ke dalam mata ayahnya.

"Kita perlu uang, Nak!" bisik Rasmus lembut membujuk. "Duke Maranatha memiliki cukup uang untuk membantu keuangan militer kita. Dan kau akan menguasai uangnya setelah kau menikahi dia."

"Tidak," Leazah menyentakkan tangan kaisar dari wajahnya. "Aku tak mau menikah dengan pria pilihanmu. Tidak dengan siapa pun yang bukan pilihanku!"

"Kau tak perlu setuju," tukas kaisar dengan nada datar dan ekspresi dingin. "Kau harus patuh."

Leazah tak dapat berkutik. "Tentu saja," desisnya merasa kalah. "Yang Mulia," tandasnya seraya berbalik dan menghambur meninggalkan ayahnya. Ia berhenti untuk mengambil celo-nya dan memutar tubuhnya kembali menghadap kaisar, kemudian membungkuk memberikan hormat tentara dengan wajah geram, "Untuk seluruh Nadia," dengusnya sinis. Lalu buru-buru pergi.

Rasmus membeku di tempatnya dengan perasaan terluka. Aku baru saja menemukannya, sesalnya dalam hati. Dan dia sudah membenciku.

Dengan berurai air mata, Leazah menerobos pintu ruang baca kaisar, melewati dua penjaga yang telah dikenalnya---Lexath dan Eleazar menatap gadis itu dengan terkejut.

Tak dihiraukannya tatapan aneh semua orang ketika mereka mendapati seorang tentara pasukan abadi menangis tersedu-sedu setelah keluar dari ruang baca kaisar.

Itu bisa jadi berita hangat!

Dengan perasaan hancur, Leazah terus berlari, terseok-seok nyaris terjatuh setiap kali ia berbelok lalu menabrak Jeremiah begitu ia sampai di depan pintu kediaman barunya.

Jeremiah menangkap pinggang gadis itu dan menahannya. Ia bisa merasakan tubuh mungil gadis itu gemetar dalam dekapannya.

Leazah mengangkat wajahnya.

Jeremiah terkesiap. "Are you okay?" Pria itu bertanya cemas.

Terpopuler

Comments

kenapa tidak menggunakan kata Anda ?

2023-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!