Fragmen-15

"Putri, makanlah. Kau belum makan apa-apa sejak kemarin siang." Leila, pelayan pribadi Putri Lea yang dibawa dari Antasena—yang paling dekat dengannya, mencoba membujuknya.

Leazah tetap bergeming.

Ini adalah ketiga kalinya para pelayan membawakan makanan ke kamar tidurnya. Tapi gadis itu bahkan tak mau beranjak dari peraduannya sejak tadi pagi.

Pelayan itu duduk di tepi tempat tidur sang putri, membungkuk dan menyentuh wajah majikannya dengan lembut. "Aku sangat mengkhawatirkanmu, Putri," bisiknya tulus.

Leazah menatap pelayan itu dengan sedih, tapi tak mengatakan apa-apa.

"Apa ada yang bisa kulakukan supaya kau mau makan?" Leila tak mau menyerah.

Leazah menggeleng sekilas, lalu kembali bergeming, menatap hampa kibasan tirai yang tertiup angin di sisi jendela.

Leila mengikuti arah pandangnya dan tercenung.

Tirai itu melecut lembut.

Apa yang sedemikian menarik dari pemandangan itu? pikir Leila getir.

Leazah terus menatapnya seolah-olah tirai itu mampu menyingkapkan rahasia alam semesta.

Leila memperhatikannya dengan prihatin ketika sang putri akhirnya mengalihkan pandangannya yang terlihat bosan dari jendela dan tertunduk, menatap jemari tangannya yang bertautan di atas perutnya.

Douglas Pierre kemudian masuk ke dalam kamar itu tanpa pengawalan, dan seketika para pelayan yang berada di kamar membungkuk.

"Berikan makanan itu padaku," perintah Douglas kepada para pelayan itu.

Pengawas makanan Leazah segera menghampirinya dan menyerahkan makanan dalam nampan di tangannya ke tangan Douglas.

Douglas membawa makanan itu ke tempat tidur.

Leila bangkit dan membungkuk ke arah Douglas, lalu menyingkir.

Duke Maranatha yang akan datang itu kemudian menggantikan tempatnya. Pria itu duduk di tepi tempat tidur Leazah sedikit merunduk. "Putri, tak peduli apa kau akan menyukainya atau tidak. Tapi aku akan menyuapimu sekarang," katanya.

Leazah memalingkan wajahnya, menatap lagi tirai jendela.

Leila bertukar pandang dengan pengawas makanan dengan tatapan gelisah.

"Duduklah," Douglas menyelipkan sebelah tangannya di bawah leher Leazah dan menarik tubuhnya hingga duduk.

Leazah mengedikkan bahunya sembari mendorong dada pria itu.

"Kau harus makan," tegas Douglas.

"Aku tidak mau," sergah Leazah, menepiskan nampan di pangkuan Douglas hingga terlempar ke lantai.

BRUAK!

Para pelayannya terperanjat dengan wajah memucat.

Makanan terserak di permukaan lantai.

Douglas mengetatkan rahangnya. Gadis ini benar-benar kasar---atau mungkin sedang sakit gigi, pikirnya jengkel. Atau mungkin harga dirinya sebagai laki-laki semata-mata hanya merasa tersinggung karena diabaikan—tak peduli bahwa mereka di ambang pertunangan, gadis itu tetap saja menolaknya.

Dua pelayan Leazah menghambur ke sisi tempat tidur dengan tergopoh-gopoh, kemudian membersihkan lantai.

Douglas menyingkir dari kamar itu dengan raut wajah masam. Kemudian mengamuk di kamarnya, melempar apa saja yang ada di dekatnya. Membuat panik para pelayannya yang ketakutan.

Dua jam kemudian, kaisar muncul di kamar putrinya bersama Lazareth dan pendeta Bernadus.

Leazah melirik mereka sepintas melalui ekor matanya, berharap Jeremiah datang bersama mereka. Tapi kemudian mendesah kecewa dan melemas, kembali bergelung di tempat tidurnya, memandangi tirai di bingkai jendela.

Apa yang kau harapkan? batinnya memarahi diri sendiri.

"Kudengar kau sedang melakukan aksi mogok makan, Nona Muda?" Kaisar berdiri di depan Leazah dan berkacak pinggang.

"Itukah sebabnya kau membawakanku ahli hukum kerajaan?" sergah Leazah seraya mengerling ke arah Lazareth dan pendeta Bernadus. "Apakah aku akan dihukum karena aku mogok makan?" tanyanya sinis.

Kaisar menyeringai tipis, melirik sekilas ke arah Lazareth dan pendeta Bernadus. Lalu kembali menatap putrinya. "Aku tidak menghukummu, Nak. Kaulah yang menghukumku," katanya seraya mendesah pendek.

Leazah langsung terdiam.

Kaisar menurunkan kedua tangannya dan mendekat perlahan, kemudian duduk di sisi tempat tidur. "Mau makan bersama?"

Leazah tidak menjawab.

Sementara itu…

Jeremiah yang tengah sibuk meneliti selubung wajah si penyusup di ruang kerja pribadinya dalam kamar, terusik oleh ketukan di pintu.

Pria itu menyelipkan kain itu di antara halaman sebuah buku bersama sobekan kain lainnya yang ia dapatkan dari lubang kunci pintu sel bekas Leazah. Ia menutup buku itu dan memasukkannya ke dalam laci, kemudian berjalan ke arah pintu.

Begitu pintu tersibak, sepasang alisnya serentak tertaut.

Leila, pelayan pribadi Leazah, berdiri membungkuk di depan pintu.

"Apa yang membawamu ke sini?" tanya Jeremiah terkejut.

"Mohon maaf atas kelancangan saya, Tuan. Tapi Putri Lea belum makan lagi setelah perjamuan kemarin siang, dan… saya tidak tahu lagi harus bagaimana," kata pelayan itu tanpa berani mengangkat wajahnya.

"Aku bukan ayahnya," sergah Jeremiah tak sabar.

Pelayan itu langsung terdiam.

Jeremiah langsung menyesal, ia mendesah pendek dan mengusap kasar wajahnya, lalu melipat kedua tangannya di depan dada, menyadarkan sebelah bahunya pada bingkai pintu dan menatap Leila dengan mata terpicing. "Kenapa kau mengatakan semua ini padaku?"

"Saya menduga hal ini ada kaitannya dengan perjamuan kemarin siang." Leila membungkuk semakin dalam. "Saya hanya ingin tahu apakah ada yang dapat Anda lakukan untuk…"

"Baiklah," potong Jeremiah cepat-cepat. "Katakan pada Putri Lea, aku akan mengadakan perjamuan kecil nanti malam sebagai ganti perjamuan yang kutinggalkan kemarin siang."

"Terima kasih, Tuan!" Leila berseru gembira seraya membungkuk sekali lagi dengan antusias.

"Pastikan dia tidak datang sendirian," Jeremiah menambahkan.

"Saya mengerti," sahut Leila seraya memohon diri.

Sesampainya di kamar Leazah, kaisar dan kedua orang terdekatnya sudah tidak berada di sana. Dengan bersemangat, pelayan itu menyampaikan undangan sang jenderal pada majikannya.

"Kau menemuinya?" Leazah menarik bangkit tubuhnya hingga duduk. Mata dan mulutnya serentak membulat.

Leila mengangguk seraya tersenyum bangga.

"Kau sungguh mengerti aku," setengah berjingkrak Leazah melompat dari tempat tidurnya dan memeluk pelayannya dengan gembira.

Dua pelayan lainnya turut berlanting senang di belakang Leila.

Mendekati waktu yang dijanjikan, para pelayan Leazah mulai sibuk menyiapkan gaun terbaik dan Leila meriasnya dengan antusias.

Seisi ruangan terlihat ceria dan bersemangat. Mereka bekerja sembari tertawa-tawa.

"Putri, kau harus dimanjakan," Leila berkata gembira. "Jangan bicara," katanya ketika ia berusaha memoleskan perona bibir.

Leazah mematuhinya.

"Dan…" Leila menarik cermin ke arah Leazah. "Bersiaplah terpesona!" serunya.

Leazah menatap bayangannya di cermin dan terbelalak. Lalu berteriak panik. "Leila!"

"Apa yang salah?" tanya Leila bingung.

"Aku mirip badut!" gerutu Leazah.

"Omong kosong," sergah Leila sembari tertawa-tawa. "Semua wanita pakai riasan seperti itu." Ia berkilah.

"Mungkin sebaiknya aku terlihat seperti pria," Leazah memprotes.

"Para pria juga pakai riasan seperti itu," bantah Leila sambil cengengesan.

Seisi ruangan tergelak bersama Leazah.

Dan pada akhirnya, Leazah keluar tanpa riasan wajah. Para pelayannya berjalan tergopoh-gopoh di belakangnya, sementara Leila berjalan di sisinya menggamit lengannya. Wajah-wajah mereka terlihat semringah.

Ketika mereka sampai di ruang perjamuan di kediaman sang jenderal, keceriaan di wajah Leazah seketika lenyap.

Sang kaisar dan semua orang terdekatnya sudah berada di sana bersama Jeremiah.

Douglas Pierre juga diundang dalam perjamuan itu.

Terpopuler

Comments

sang putri raja belum mengerti tentang intrik istana, jadi masih sering bersikap gegabah.

2023-11-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!