"Satu ikan Barakuda, sudah sangat ganas… hewan yang bisa mengoyakmu," seorang kapten tentara angkatan laut bercerita di depan semua orang saat perjamuan makan sedang berlangsung.
Jeremiah duduk di samping pria itu, tepat di seberang Leazah yang duduk berdampingan dengan Duke Maranatha yang akan datang, tuan muda Douglas Pierre.
Seisi ruangan mendengarkan pria itu bercerita sembari menikmati makanan mereka dan sesekali tertawa menanggapi lelucon sang kapten.
"Kami menemukan tiga ratus ekor ikan besar!" Kapten angkatan laut tadi melanjutkan ceritanya. Lebih kejam dari Musketeer teler!"
Seisi ruangan tergelak. Tidak terkecuali kaisar.
"Mereka menabrak lambung kapal," lanjut sang kapten. "Mendorong kami ke karang, dan saat mereka mau merobek menembus kapal—"
"Sangat mengerikan!" Douglas tiba-tiba menyela.
Seisi ruangan setentak menoleh pada Douglas.
"Kau mau bercerita bahwa kau bisa mengoyak mereka dengan gigi jelekmu?" terka Douglas dengan ekspresi mencela. Lalu tergelak menertawakan leluconnya sendiri.
Beberapa orang menanggapinya dengan tawa gelisah.
Kapten angkatan laut itu mendadak kehilangan kata-katanya. Ia memiliki beberapa gigi tanggal di sana-sini—cukup mencolok untuk menjadikan dirinya dijuluki sebagai kapten ompong.
"Kami memutar layar dan mengikuti angin!" Jeremiah menginterupsi melengkapi cerita sang kapten, untuk membuktikan bahwa sang kapten tidak sedang membual seperti kebiasaan sebagian orang di dalam ruangan itu saat mendapat kesempatan untuk bercerita di depan kaisar. Jeremiah berani menjamin kapten itu tidak seperti mereka. Dia berada di sana bersama sang kapten ketika itu terjadi.
"Cara termudah," cemooh Douglas.
Kaisar berhenti mengunyah dan menoleh pada pria itu, seisi ruangan mengikutinya.
"Atau mungkin cara terpintar!" Leazah membuka suara.
Seisi ruangan sekarang menatapnya. Tidak terkecuali Jeremiah dan juga Douglas.
"Pria yang gagal membunuh mangsanya artinya dia lemah atau penakut!" Douglas berkilah.
"Dan pria yang hanya bisa melihat dua pilihan itu bodoh," sergah Jeremiah.
Douglas mengetatkan rahangnya dan menoleh pada Jeremiah, mengangkat gelasnya sembari mengerling pada sang kapten di antara senyum sinisnya. "Dia hanya rakyat jelata," desisnya dengan tatapan mencela.
"Dan sikapmu juga seperti itu," Jeremiah menimpali.
Douglas memukulkan tinjunya di permukaan meja dan serta-merta beranjak bangkit.
"Cukup!" Kaisar menghardik mereka.
Seisi ruangan setentak membeku.
Jeremiah membungkuk ke arah kaisar dari seberang meja.
"Maafkan aku, Yang Mulia. Ini semua salahku." Sang kapten turut membungkuk di sisinya dengan raut wajah menyesal.
Douglas juga membungkuk. Lalu kembali duduk.
"Sajikan hidangan keenam!" perintah Rasmus kepada para pelayan. "Terus mainkan!" perintahnya pada para komposer.
Orkestra kembali dimainkan, sementara semua orang mengatupkan mulutnya kehilangan selera.
Di penghujung malam, setelah perjamuan berakhir, kaisar memanggil Jeremiah ke ruangan pribadinya untuk memperingatkan sang jenderal, "Douglas Pierre telah menyumbang sangat banyak. Artinya, kita membutuhkan dia. Kenapa kau sangat bersikeras menjadikannya sebagai musuhmu?"
"Harga diri, mungkin." Jeremiah berkilah tanpa beban sedikit pun.
"Yang Mulia…" kemunculan Douglas di ambang pintu memungkas pembicaraan mereka. Pria itu membungkuk pada kaisar dan melirik sinis pada Jeremiah.
"Apa yang membawamu kemari, Anakku?" Kaisar bertanya pada Douglas.
Douglas tergagap dan berdeham, "Aku mohon maaf atas kelancanganku menemuimu malam-malam begini. Tapi… Putri Lea menghilang."
Kaisar memicingkan matanya dan beradu pandang dengan Jeremiah.
"Apa maksudnya menghilang?" Kaisar bertanya cemas.
"Er, mmm—saya berniat mengucapkan selamat malam dan… Putri Lea ternyata tidak ada di kamarnya. Pelayannya mengatakan Putri Lea belum kembali sejak perjamuan."
Kaisar dan Jeremiah serentak bergerak ke arah pintu dan menghambur keluar nyaris bersamaan.
Seisi istana berubah gaduh tak lama kemudian.
Jeremiah bergegas menuju istal, sementara kaisar ke kamar putrinya bersama Douglas Pierre.
Saat Jeremiah sedang mengeluarkan kudanya, seseorang tiba-tiba menyergap bahunya dan membekap mulutnya.
"Ssshh!" Seseorang mendesis di dekat kupingnya.
Jeremiah mengerutkan keningnya dan menoleh. Seseorang menggelayut di punggungnya seperti seorang anak kecil yang minta digendong.
"Elijah?" Jeremiah mendesis terkejut.
Gadis itu menyeringai sembari melompat turun dari punggung Jeremiah. "Apa kabar, Jenderal?"
Jeremiah mengamati gadis itu dengan mata dan mulut membulat. Dadanya bergemuruh karena gembira. Jantungnya berdegup kencang memukul tulang rusuknya. Ini adalah pertama kalinya ia merasa berbunga-bunga melihat seorang pria.
Gadis itu mengenakan seragam tentara pasukan abadi dengan rambut terikat sebagian.
"Kenapa kau bisa berada di sini?" Jeremiah bertanya dengan raut wajah senang sekaligus cemas. "Kukira kau ikut pelatihan?"
"Well, mmm… sebetulnya aku mendapat tugas mengawal putri Lea," jawab Leazah sekenanya.
Jeremiah menautkan alisnya dengan ekspresi curiga. "Aku tidak melihatmu saat putri Lea datang."
"Maksudku pengawal bayangan!" sergah Leazah cepat-cepat.
"Oh," Jeremiah segera mengerti. "Dan sebagai pengawal bayangan… kau benar-benar sudah gagal," katanya mencemooh. "Apa kau tak tahu putri Lea menghilang?"
"Dia tidak menghilang," tukas Leazah tanpa beban. "Dia hanya menghindar… kau tahu, Duke Maranatha yang akan datang?"
Jeremiah mengerutkan keningnya. "Maksudmu Douglas Pierre?"
"Ya," jawab Leazah. "Pria itu tidak terlalu menarik minatnya. Kau mengerti maksudku?"
Jeremiah mengangkat bahunya sekilas. "Jadi di mana dia sekarang?"
"Di suatu tempat yang aman bersama seseorang yang kuyakin bisa melindunginya," jawab Leazah. Kau, ia menambahkan dalam hati. "Omong-omong…" Leazah mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana menurutmu?"
"Bagaimana apanya?" Jeremiah tak mengerti.
"Well, mmm…" Leazah berdeham, mendadak gelisah menyadari apa yang hampir ditanyakannya. Ia sebetulnya ingin tahu apakah dirinya cukup menarik minat pria itu jika ia tampil sebagai perempuan. Tapi kemudian khawatir pria itu akan mencelanya dan ia belum siap patah hati sekarang. "Maksudku, apa aku punya kesempatan untuk…" Leazah menggantung kalimatnya sesaat, kemudian membengkokkan telunjuknya ke arah Jeremiah.
Pria itu mengangkat sebelah alisnya, kemudian membungkuk, mendengarkan Leazah berbisik di telinganya. Lalu berdesis tertawa. "Masih kecil sudah mata keranjang!" katanya sembari menoyor pelipis Leazah.
Leazah mengusap-usap pelipisnya sembari merengut.
"Beritahu aku di mana dia sekarang, kaisar sedang mengkhawatirkannya," desak Jeremiah kemudian.
"Dia sedang berenang. Dan kita akan mendapat masalah kalau kita menemuinya sekarang," sergah Leazah.
"Berenang?" Jeremiah mengerutkan dahinya. "Malam-malam?"
"Kau boleh mengintipnya kalau kau tak takut dikira mata keranjang," Leazah menantangnya.
Jeremiah langsung terdiam.
"Hei, kau tak senang bertemu denganku ya?" Leazah mengalihkan pembicaraan lagi.
Jeremiah memelototinya dengan alis bertautan.
"Paling tidak beri aku ucapan selamat datang," protes Leazah.
Dan…
Seperti yang diharapkan Leazah, Jeremiah memeluknya.
Leazah merasa lututnya mendadak goyah. Ia membalas pelukan Jeremiah dan menyusupkan wajahnya di dada pria itu. Perasaan hangat merebak ke seluruh tubuhnya, menentramkan sekaligus meluluh lantakkan seisi dadanya. Membuatnya ingin menangis karena terharu.
Alangkah baiknya jika kau memelukku sebagai Leazah, dambanya dalam hati.
Jeremiah merasakan tubuh mungil gadis itu gemetar dalam dekapannya. "Hei, kau tidak sedang menangis kan?" godanya seraya melepaskan pelukannya dan mendorong bahu gadis itu menjauh, tapi tidak melepaskan cengkeramannya.
Leazah mengangkat wajahnya sembari tertawa, tapi kedua matanya berkaca-kaca.
Jeremiah menelan ludah dan kembali memeluknya. "Dasar keparat cengeng," gerutunya dengan perasaan sedih. Alangkah baiknya jika kau seorang gadis, harapnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
ketika memeluk, apakah Jeremiah tidak menyadari kalau ada yang mengganjal ?
2023-11-03
0