"Kenapa tidak kau buang wajah terkejutmu dan mintalah pengampunan," erang Jeremiah seraya memutar-mutar bola matanya dengan tampang geram.
Leazah mengerjap dan melirik sekilas pada kaisar, lalu buru-buru membungkuk.
Rasmus menahan gadis itu untuk tidak membungkuk, kemudian menarik dagunya dan mendongakkan wajahnya seraya tersenyum tipis. Dia mirip dengan ibunya, katanya dalam hati.
Gadis itu menelan ludah dengan susah payah, kemudian memberanikan diri untuk memandang wajah kaisar.
Jeremiah bertukar pandang sekilas dengan Bernadus.
"Apa yang membawamu kemari, Prajurit?" tanya kaisar pada Leazah setengah berbisik. Sorot matanya meredup karena terharu. Senyum tipisnya menyamarkan kerinduannya untuk memeluk gadis itu.
"Well---am, ah…" Leazah tergagap-gagap seraya menatap gelisah ke sana-kemari, lalu melirik Jeremiah.
Pria itu memelototinya dengan isyarat peringatan. "Berlutut!" perintahnya tanpa suara.
Lalu dengan buru-buru Leazah menjatuhkan dirinya di hadapan raja, "Saya sungguh menyesal, Yang Mulia. Saya kira… tak ada yang perlu dijelaskan. Anda sudah melihatnya."
Raja kembali tersenyum, mengedar pandang ke sekeliling ruangan, kemudian menoleh pada sang jenderal. "Ini urusanmu," katanya seraya menelengkan sedikit kepalanya ke arah Leazah.
Jeremiah membungkuk seraya menyilangkan sebelah tangannya di depan dada, lalu berjalan ke tengah ruangan untuk menyeret Leazah.
"Buat dia lebih ahli lagi," bisik kaisar di telinga Jeremiah ketika pria itu merunduk merenggut bahu Leazah.
Jeremiah serentak membeku. Terkejut antara tak yakin dengan apa yang didengarnya dan tak yakin dengan apa yang dikatakan raja.
.
.
.
"Hei, apa aku tidak dihukum?" Leazah bertanya pada Jeremiah dalam perjalanan menuju asrama setelah pria itu menyeretnya keluar dari istana raja.
Pria itu tidak menjawab. Ia menyentakkan tangan Leazah untuk mempercepat langkahnya, kemudian menyeret gadis itu ke rumah tahanan dan menjebloskannya ke dalam sel. "Tentu saja kau dihukum," katanya kemudian.
GRAK!
Pintu sel berderak menutup di depan Leazah.
Leazah tergagap dan menelan ludah, menatap Jeremiah dengan terkejut. Tidak mengira pria itu benar-benar melakukannya.
"Dan panggil aku jendral!" Jeremiah menambahkan.
Leazah membuka mulutnya, bersiap untuk mengatakan sesuatu. Tapi kemudian hanya terperangah dalam kebisuan yang membingungkan.
Apa yang kau harapkan? katanya dalam hati, memarahi dirinya sendiri.
Kebaikan pria itu selama beberapa waktu, membuat Leazah berpikir bahwa mungkin ia memiliki tempat yang istimewa di sisi sang jenderal.
Dia berbagi jatah makannya denganku, kenangnya getir. Dia juga melindungiku ketika sebagian tentara yang pengecut itu memandang sinis dan meremehkanku.
Tapi tentu saja hal itu hanya berlaku selama ia tidak melakukan kesalahan.
Bagaimanapun Jeremiah seorang jenderal. Lebih dari itu, dia juga salah satu dari orang terdekat raja.
Dan menyelinap ke dalam kamar raja adalah kejahatan yang tak terampuni.
Bagaimana bisa ia bermain-main dengan semua kekacauan ini dan merayu bencana seperti ini?
Jeremiah menatap Leazah dengan ekspresi dingin sebelum ia berbalik memunggungi gadis itu dan berlalu.
Keheningan menyergap Leazah selama beberapa saat setelah pria itu pergi.
Hampa!
Dengusan seseorang kemudian membuat Leazah memalingkan wajah.
Seorang pria seusia Jeremiah, terkekeh di dalam sel lain di sebelahnya. Tangan dan kakinya dibelenggu rantai besi, sementara tubuhnya carut-marut oleh luka dan pakaiannya sudah terkoyak di sana-sini. Pria itu adalah pelaku penembakan di gerbang Arsen.
Leazah memelototi pria itu dengan mata terpicing, meneliti pria itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Tubuhnya sudah babak belur, pikir Leazah. Dan dia masih bisa tertawa?
"Apa yang lucu?" geram Leazah dengan tatapan mencela.
"Dia sedang mengujimu," kata pria itu seraya mengerling ke arah pintu, tempat di mana Jeremiah menghilang.
Menguji?
Apa maksudnya?
Leazah mengerjap dan berpikir keras, menatap nanar udara hampa dengan alis bertautan.
.
.
.
"Saatnya bangun, Yang Mulia!" Bernadus membangunkan Rasmus seraya menyibak tirai dan membuka jendela.
Melodi selamat pagi yang dimainkan para komposer di pekarangan menyeruak masuk melalui jendela itu untuk menyemangati sang raja.
Tapi raja itu mengerang bosan. "Aku bisa menulis partitur yang lebih baik dari itu," dengusnya mencemooh.
"Mungkin kau harus menulis musikmu sendiri, Yang Mulia!" Bernadus menanggapi.
"Well---yeah, mungkin aku harus mencobanya lain kali," timpal kaisar seraya bergegas menuju pemandian.
Bernadus menjulurkan kepalanya keluar jendela dan mengisyaratkan kepada para komposer di pekarangan itu untuk berhenti.
"Temukan komposer hebat yang lebih segar!" perintah Rasmus setelah selesai mandi dan berpakaian.
Bernadus membungkuk sekilas, kemudian mengekorinya menuju ruang tamu istana.
Pagi itu, istana kaisar kedatangan tamu kehormatan dari Maranatha---negara bagian di barat daya Nadia.
"Yang Mulia, tuan muda Douglas Pierre!" Lazareth memperkenalkan tamu mereka seraya membungkuk dan merentangkan sebelah tangannya ke arah seorang pria di belakangnya. "Putra Baron pengekspor perhiasan."
Seorang pria muda berambut pirang tembaga, berwajah seperti boneka porselen, berpakaian pangeran, membungkuk hormat pada kaisar. Keempat pengawal pribadi di belakangnya spontan mengikutinya.
"Saya merasa kagum bisa berada dalam cahaya Dewa Matahari," sanjung Douglas Pierre.
Para royal guard dan orang terdekat raja yang berada di ruangan itu menimpali pujian itu.
"Rasmus the Great!"
"Cahaya menyinari seluruh Nadia," sambut raja Rasmus.
"Demi seluruh Nadia!" Para pengawal abadi menimpalinya.
"Saya turut bersyukur atas kemenangan militer Anda," lanjut Douglas.
"Itu kemenangan Tuhan dan para pasukan pemberani kita," tukas Raja Rasmus dengan raut wajah datar.
"Saya datang untuk menghormati ulang tahun mendatang Anda," Douglas melayangkan tangannya ke arah dua pengawalnya yang serentak maju memperlihatkan sekotak besar hadiah---apa lagi kalau bukan emas. Kotak besar lainnya masih berderet di belakang rombongan itu sampai ke pekarangan. Siapa yang tidak tahu bahwa Raja Rasmus adalah pecinta benda-benda berkilau—seperti seekor naga. "Saya persembahkan hadiah ini, harta berharga tanah kami. Ditempa dengan berlian dari Marina."
Marina adalah negara bagian di selatan Nadia, pengekspor berlian terbesar di dunia.
Raja Rasmus memerintahkan para royal guard yang bekerja di hadapannya untuk mengurus penerimaan hadiah itu, sembari memutar tubuhnya ke belakang menghadap ke arah Bernadus dan menggerutu. "Aku benci peringatan ulang tahun," bisiknya, sedikit membungkuk. "Itu mengingatkanku pada kefanaan diriku."
"Juga mengingatkanku akan keabadian jiwamu," tukas Bernadus.
"Aku sama sekali tidak peduli soal jiwaku," pungkas Rasmus sembari berbalik, kembali menghadap tamunya dan memaksakan senyum. "Bagaimana kabar ayahmu?" tanyanya berbasa-basi.
"Dia… sudah siap berangkat ke dunia selanjutnya," jawab Douglas muram.
"Aku mengerti," ungkap kaisar bersimpati.
Setelah para pengawal pribadi raja selesai menyiapkan tempat untuk tamu mereka, Raja Rasmus mempersilahkan tamu itu untuk beristirahat. Lalu para pengawal pribadi raja mengantarkannya, sementara Rasmus berdiskusi dengan Lazareth dan Pendeta Bernadus di ruangan lain.
"Mungkin ada yang bisa kita lakukan untuk anak itu," usul Bernadus menanggapi permasalahan Douglas Pierre.
"Maksudnya?" Rasmus bertanya sembari memetik sebutir anggur dari meja di depan mereka dan memakannya.
"Perang terakhir sudah menguras keuangan kerajaan," tutur Lazareth.
"Haruskah aku membalik tubuh anak itu untuk melihat apa yang tersisa dalam sakunya?" sarkas kaisar sembari menjejalkan sebutir anggur lagi ke dalam mulutnya. "Dia baru saja menyumbang lima juta libra!"
Libra adalah mata uang Nadia. Lima juta libra setara dengan dua ribu kilogram emas dua puluh empat karat.
"Itu uang yang sangat banyak sekali," sergah kaisar. "Meski untuk tanah Duke!"
"Dia akan mewarisi kekayaan keluarganya," tukas Lazareth.
"Aku tidak berniat merampas tanah Duke dari ayahnya," tutur kaisar. "Gelar Duke Maranatha harus tetap hidup."
"Kau percaya kebetulan?" sela Bernadus dipenuhi makna terselubung. "Atau takdir?"
"Kau jadi penuh teka-teki," sergah kaisar tak sabar.
Karena semua orang dalam ruangan itu belum mengetahui kebenaran tentang Leazah—kecuali dirinya, Bernadus tidak berani mengutarakan maksudnya secara terang-terangan.
Tapi kaisar tidak segera mengerti.
Sampai Bernadus menambahkan, "Dengan sikap tak pantas bagi orang lain kecuali aku," katanya disertai senyuman penuh arti.
Dan…
Kaisar akhirnya mengerti. Ia berhenti mengunyah dan berpikir keras. Lalu menoleh ke arah Lazareth. "Aku ingin bertemu putraku," katanya pada pria itu---dengan maksud terselubung.
Lazareth spontan membungkuk dan berlalu dari ruangan itu, sementara si pendeta memandanginya sampai ia menghilang, lalu menatap raja dengan senyuman puas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
19 tahun diasingkan, ketika datang kembali langsung dimanfaatkan.
sungguh sikap seorang ayah yang sangat terpuji. 😌
2023-11-02
0
She
Perjodohan pun direncanakan sudara-sudaraaaa
2022-10-16
1