Fragmen-2

"Satu inci ke kanan akan mengenai jantung Anda," jelas Dokter Farouk, tabib kerajaan kepercayaan Rasmus. "Jika Nadia kehilangan Anda…" Ia menyelesaikan jahitan terakhirnya dan memotong ujung benang yang mencuat. "Akan menjadi bencana," ia menambahkan seraya membersihkan tangan dan peralatan medisnya, kemudian merapikannya.

"Aku juga akan merasa kesepian," timpal pendeta Bernadus dengan wajah muram.

"Berita fantastis, Yang Mulia!" seru Eleazar antusias yang sontak tergagap begitu menyadari situasinya. Ia belum tahu mengenai insiden penembakan itu.

Seisi ruangan menoleh serentak pada pria itu dan membeku dengan ekspresi tegang.

Semua pegawai raja serta penduduk daerah-daerah kerajaan mengetahui bahwa bagi setiap laki-laki atau perempuan, yang menghadap raja di pelataran dalam keadaan tiada dipanggil, hanya berlaku satu undang-undang, yakni hukuman mati. Hanya orang yang kepadanya raja mengulurkan tongkat emas, yang akan tetap hidup.

Ketika raja melihat pesan di tangan Eleazar, berkenanlah raja kepadanya, sehingga raja mengulurkan tongkat emas di tangannya ke arah Eleazar, lalu mendekatlah Eleazar dan menyentuh ujung tongkat itu dengan berlutut.

Tanya raja kepadanya: ”Apa yang membawamu kemari, Anakku?"

Eleazar menjawabnya dengan menyerahkan pesan itu ke tangan raja tanpa berani mengangkat wajah.

Raja menerima pesan itu dan membacanya. "Pesan ini datang tepat waktu seperti kehendak takdir," katanya seraya tersenyum tipis dan mendongak menatap si pendeta, lalu mengedarkan pandang.

Seisi ruangan bertukar pandang satu sama lain.

"Jeremiah! Siapkan armada terbaik untuk menjemput putra mahkota!" Rasmus memerintahkan disertai senyuman bangga.

"Putra?" Pendeta Bernadus tergagap. Terakhir kali ia menerima kabar dari biara, mereka mengatakan bayi yang dilahirkan Miriam adalah perempuan. Ia membuka mulutnya, bersiap untuk menginterupsi. Tapi wajah raja yang berbinar-binar membuatnya tak sampai hati untuk merusaknya.

.

.

.

"Putra?" Miriam tersentak setelah membaca dekret kaisar mengenai "Misi Penjemputan Putra Mahkota." Sepasang mata birunya membulat menatap Jeremiah dengan wajah terguncang, lalu bertukar pandang dengan pendeta Bernadus. Rahangnya bergemeretak ketika ia melirik putrinya dan mendapati gadis itu membekap mulutnya menahan tawa.

Jenderal Jeremiah bersama Pendeta Bernadus baru saja tiba di biara setelah menempuh tujuh hari perjalanan, dan tak mau membuang waktu.

"Aku akan kembali," kata Miriam cepat-cepat, kemudian memaksakan senyum. Lalu bangkit dari tempat duduknya dan menyeret Leazah keluar dari ruang tamu.

Jeremiah melirik sekilas melalui sudut matanya dan beradu pandang dengan Leazah.

Jeremiah berambut panjang sebahu berwarna coklat madu dengan sepasang mata cokelat keemasan. Wajah pria itu terlihat seperti hasil pahatan seorang maestro, dengan struktur tulang yang kuat dan mengagumkan. Sepasang alisnya hitam dan tebal dengan bentuk yang elegan, pahatan dagu dan bibirnya dibentuk dengan menggoda di bawah hidungnya yang mancung sempurna.

Leazah tidak pernah melihat hal demikian sehingga ia tak bisa melepaskan pandangannya dari pria itu.

"Dia sangat kurus," komentar Jeremiah saat Leazah dan ibunya menghilang di balik pintu.

"Kau telah membuat kekacauan besar, Leazah!" Miriam meledak marah setelah mereka sampai di ruang pribadinya.

Dua orang biarawati terperanjat mendengar gebrakan keras di permukaan meja, sementara beberapa biarawati lainnya sedang melayani Pendeta Bernadus dan Jenderal Jeremiah di ruang tamu.

"Ini bukan main-main, Leazah." Miriam melotot tak sabar.

Leazah melipat kedua tangannya di depan dada, menyandarkan sebelah bahunya pada bingkai pintu.

"Kau—" Miriam menggeram, lalu tiba-tiba tergagap kehilangan kata-katanya.

Leazah belum tahu siapa ayahnya.

Gadis itu menaikkan alisnya, menuntut penjelasan.

"Kau akan pergi meninggalkan kami, Leazah!"

"Ke mana?"

"Ke neraka paling mewah dan berkilau, tempat di mana kau tidak diragukan akan berkembang."

"Kenapa?"

"Kau tahu, Leazah..." Miriam menurunkan nada bicaranya dan menelan ludah dengan susah payah. "Laki-laki tidak diizinkan tinggal di biara wanita," tuturnya sedikit terbata-bata, berusaha menguatkan diri untuk tidak memperlihatkan kecemasannya untuk menutupi kebohongannya. "Bukankah sudah kukatakan padamu berkali-kali untuk tidak berpakaian seperti pria?!"

"Jadi?"

"Mereka memintamu keluar dari pulau ini untuk menetap di istana," Miriam melanjutkan.

Leazah terbelalak dengan ekspresi gembira—reaksi yang sangat tidak diharapkan oleh ibunya. Ini akan menjadi awal petualangan hebatnya.

"Kau tahu apa artinya itu, Leazah?" Miriam menggertak putrinya, berusaha menakut-nakutinya. "Mereka akan menempamu sebagai tentara."

"Kedengarannya tidak terlalu buruk," sanggah Leazah.

"Tidak," hardik Miriam. "Itu benar-benar buruk, Leazah. Kau akan menjadi satu-satunya perempuan dalam kemah dan—"

"Mereka tidak tahu kalau aku perempuan, ingat?" Leazah memotong perkataan ibunya.

"Tidak, Leazah!" Miriam bersikeras. "Ganti pakaianmu sekarang!"

Leazah menatap ibunya dengan mata terpicing.

"Kita jelaskan yang sebenarnya."

"Tidak ada gunanya menjelaskan itu sekarang, Ibu!"

"Kubilang ganti pakaianmu sekarang!" Miriam menggebrak mejanya sekali lagi, membuat kedua biarawati tadi kembali terperanjat.

"Baiklah," sahut Leazah. "Sekarang aku akan berganti pakaian dan kau akan menjelaskan yang sebenarnya. Lalu mereka akan mengatakan pada kaisar bahwa kepala biara telah membohongi utusan kerajaan dan memanipulasi seorang biarawati untuk menggantikan anak laki-laki yang disembunyikannya. Apa kau lupa, jika aku mengenakan pakaian yang berbeda, penampilanku juga akan berubah?"

Miriam sontak terdiam.

"Mereka takkan percaya!" Leazah menambahkan.

"Akan lebih buruk jika mereka mengetahui kebenarannya setelah kau berada di istana," gumam Miriam semakin cemas.

"Akan lebih baik jika mereka mengetahui dengan sendirinya," bantah Leazah.

"Kemah tentara tidak pernah ditinggali perempuan, sama halnya seperti biara wanita yang tidak pernah ditinggali laki-laki. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kau akan tidur dengan laki-laki dalam satu tenda, mandi bersama dan…"

Leazah mengerang bosan seraya memutar-mutar bola matanya.

"Aku betul-betul tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu bahwa kau perempuan, sementara mereka tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Itu akan seperti… menemukan air di padang yang tandus."

"Aku mengerti kekhawatiranmu, Ibu." Leazah menurunkan kedua tangannya dari dada, kemudian berjalan melintasi ruangan mendekati ibunya. "Tapi mereka tentara, bukan manusia barbar kolonial. Mereka semua dilatih untuk berperang, seperti para biarawati dilatih untuk mengendalikan keinginan daging."

Miriam kembali terdiam.

"Kalau kau berpikir para tentara dan biarawati seperti kelinci b e r a h i, biara ini sudah kacau dari tadi."

"Jaga bicaramu," hardik Miriam memperingatkan Leazah.

"Jaga hati dan pikiran Anda, Kepala Biara!" balas Leazah dengan tampang mencemooh.

Miriam mengerang dalam kekalahan, tak berdaya mendebat putrinya. Tak berdaya mengendalikan keadaan.

Lalu dengan senyum penuh kemenangan, Leazah kembali ke ruang tamu, menemui para utusan kerajaan yang masih menunggu.

Pendeta Bernadus meminta sedikit waktu pada Jeremiah untuk berbicara secara pribadi dengan Miriam.

Jeremiah hanya membungkuk sekilas.

"Laporan terakhirmu hanya memuat seorang bayi perempuan," pendeta itu membuka pembicaraan setelah mereka berada cukup jauh dari ruang tamu. "Apa kau melahirkan bayi kembar?"

"Tidak---maafkan aku," sesal Miriam.Tapi… dialah bayi perempuan itu."

Bernadus menaikkan alisnya dengan terkejut. "Dia perempuan?" ia bertanya seraya menunjuk ke arah paviliun di seberang mereka, di mana ruang tamu berada.

Miriam sontak tertunduk.

"Ini akan menjadi bencana, Miriam!"

"Aku tahu, Pendeta. Tapi dia tumbuh sebagai pembangkang. Aku sudah berusaha dengan baik untuk menyembunyikannya dari dunia luar dan memperingatkan dengan keras supaya dia tidak berperilaku seperti laki-laki dan berpakaian seperti mereka. Tapi sejak usia sepuluh tahun dia sudah suka berburu dan berkuda. Di usia tiga belas tahun, dia sudah menaklukkan seekor puma dan menjadikan kulit binatang itu sebagai pakaian kebanggaannya."

Bernadus menelan ludah.

"Aku selalu menghukumnya setiap kali dia kembali dari hutan dan hasilnya membuat dia semakin ahli dalam menyelinap," Miriam melanjutkan dengan terbata-bata.

"Kalau begitu kita akan lihat apakah bakatnya bisa disambut di istana," gumam Bernadus tak berdaya.

Terpopuler

Comments

Seul Ye

Seul Ye

Masih logis ini di sini, dihukum mati karna maen dateng nyelonong wkwk.
Di chamakadaar, cuma bikin rajanya gak mood aja bisa ditebas wkwk.

2022-10-18

2

Amé~°

Amé~°

Mmmh, rasanya saya mulai paham kenapa gadis ini diangkat sebagai ksatria 🤔

2022-10-16

0

Orzo™

Orzo™

ahahaha ke neraka paling berkilau 😅

2022-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!