Seusai perjamuan, Leazah kembali ke kediamannya tanpa berhenti mengumpat, mengutuk semua lelaki dan Jeremiah, terlebih lagi dirinya sendiri karena tak dapat mengacuhkan pria itu.
Tak peduli ia telah berlaku lancang melanggar batas kepantasan, apa pun yang dikatakannya dalam perjamuan tadi semata-mata karena tak tahan melihat Jeremiah mulai terpojok, atau hati nuraninya sebenarnya telah tersentuh.
Negeri ini sedang sekarat dan para wanita terus dibungkam sementara mereka mengerti apa yang harus dikatakan.
"Memangnya kenapa kalau wanita bicara?" rutuknya tak sabar.
”Apakah yang harus diperbuat atas Putri Lea menurut undang-undang?" Rasmus bertanya kepada para ahli hukum kepercayaannya, Lazareth dan Bernadus, setelah mereka sampai di ruang baca pribadinya.
"Tindakan Putri Lea seperti membuka kotak Pandora," gumam Bernadus. "Tak hanya membangkitkan kutuk, tapi juga sebuah harapan."
Kaisar terdiam seraya menatap murung pada Lazareth.
"Dia sudah mendapatkan hukumannya," kata Lazareth penuh arti.
Rasmus mengerutkan dahinya. "Apa artinya?"
"Dia akan menjadi pion yang sempurna untuk memulai langkah efisien yang dikatakannya," jelas Lazareth.
"Tapi—" Rasmus sontak tergagap, kehilangan kata-katanya. Dia putriku, katanya dalam hati. Bukan garda imperial.
"Kukira kita semua tahu maksud pion di hadapan raja yang dikatakannya adalah royal guard," sergah Bernadus seolah menggemakan pikiran kaisar.
"Dia sendiri yang telah mengambil langkah dan menempatkan diri di tempat yang seharusnya ditempati pasukan abadi," tukas Lazareth.
"Tapi itu terlalu berisiko," bantah Bernadus.
"Dia sendiri berani bertaruh demi sebuah informasi." Lazareth menambahkan. "Informasi ini akan menjadi takdirnya."
Rasmus dan Bernadus bertukar pandang.
Sementara itu, Jeremiah yang termotivasi setelah ia hampir menyerah, melanjutkan investigasi pribadinya mengenai para penyusup yang telah tewas tanpa meninggalkan sedikit pun informasi kecuali sehelai kain.
Tekstil? pikirnya seraya meremas dua helai perca yang disimpannya di antara halaman buku. Tatapannya menghangat ketika wajah angkuh sang putri berkelebat dalam benaknya.
Putri Lea sungguh penuh kejutan.
Siapa sangka si bodoh yang suka merajuk itu memiliki pengetahuan yang luar biasa? Jeremiah terkesan.
Kabar itu sudah lama dibicarakan di balai wanita? Jeremiah tersenyum sinis.
Kau kira aku percaya?
Jeremiah meninggalkan mejanya dan menyelinap keluar, sementara para pelayannya tengah sibuk membersihkan seluruh tempat.
Dua pengawalnya membungkuk di sisi pintu ketika ia melangkah keluar. Lalu saling melirik penuh arti.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi ketika Jeremiah bergegas entah ke mana.
Pria itu pergi tanpa pengawalan.
.
.
.
"Dia akan sedikit sibuk," Douglas meracau di antara kesadarannya yang timbul tenggelam.
Sang Duke Maranatha yang akan datang itu menghabiskan sisa malamnya dengan minum anggur.
Merasa tak puas dengan perjamuan yang diadakan sang jenderal, tak puas pada kebersamaannya dengan sang putri yang hanya menjadi formalitas, Douglas akhirnya mengadakan perjamuan sendiri di kediamannya untuk melanjutkan kesenangannya yang tidak tuntas, terutama kesenangan dengan wanita.
Selalu begitu setiap malam, setiap kali ia merasa suntuk—bahkan di Maranatha.
Douglas bersandar di kepala tempat tidur dengan rambut kusut dan bertelanjang dada, selimut jatuh dari pinggulnya yang telanjang.
Seorang wanita cantik berambut pirang terlelap dengan damai di sampingnya. Wajah cantiknya terkubur dalam bantal, tersembunyi di balik rambutnya.
Lekuk tubuh sensual wanita itu, di bawah cahaya pagi masih membuat Douglas berdecak kagum. Tidurnya yang nyenyak membuat Douglas merasa kesepian.
Sementara itu bukti dari kegiatan yang mereka lakukan tadi malam, masih berceceran di sekitar kamarnya. Pakaian yang berhamburan di mana-mana. Botol-botol kecil berisi minyak dengan wewangian memikat yang Douglas oleskan di kulit mereka. Botol-botol minuman yang kosong. Lilin-lilin yang meleleh menjadi kubangan yang memadat.
Wanita cantik itu telah memanjakan setiap dorongan hasratnya dan memuaskannya dengan sangat baik, namun jika tadi malam ia memang sudah terpuaskan oleh wanita itu, lalu kenapa dia terbangun dengan perasaan yang kosong lagi?
Douglas mengembuskan napas pelan, memandangi wanita itu dengan perasaan hampa.
Douglas menyisir rambutnya yang kusut dengan tangan secara perlahan, mengusap-usap rahangnya yang sudah harus dicukur, tapi bayangan wajah Putri Lea yang angkuh masih bercokol di otaknya.
Wanita sialan, apa sebenarnya yang kurang dariku?
Ketika tiba-tiba Douglas mencium bau masakan, perutnya bergemuruh sebagai tanda ia butuh sarapan. Ia menyingkirkan selimutnya perlahan, berusaha untuk tidak menggangu teman tidurnya.
Douglas bangkit dan mengenakan celana longgar. Saat ia tengah mengikat tali di pinggangnya, ia berhenti sebentar, terkejut mendapati memar ringan bekas gigitan yang ditinggalkan si wanita pirang di perutnya, sebuah gigitan cinta yang terlihat sangat jelas di sekitar pusarnya. Ya, Tuhan. Dia lupa akan hal itu.
Sembari tersenyum sinis, Douglas mengenakan jubah longgar berwarna gelap, kemudian meninggalkan kamarnya tanpa suara, dan menutup pintu di belakangnya.
Duke Maranatha yang akan datang itu memiliki banyak hal yang harus dilakukan, sebenarnya ia sama sekali tak ingin berada di sini saat wanita yang baru saja ia taklukkan itu terbangun, jika saja ia dapat menghindarinya.
Bukannya ia coba menghindari percakapan, tapi ada aturan umum, pengalaman telah mengajarkan kepadanya bahwa semakin ia mengambil jarak, maka semakin mudah perpisahan akan terjadi.
Ia suka menjaga semua hal tetap sederhana, membuat perpisahan yang pasti.
"Selamat pagi, Tuan!" Seorang pelayan pria menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
Douglas buru-buru menyuruh pelayan itu diam dengan mengerling ke belakang bahunya ke arah kamar yang tertutup saat pelayan itu datang menghampirinya dengan tergesa.
Kita tak perlu membangunkan harimau betina.
"Sarapan sudah siap?" Douglas bertanya pelan.
"Ya, Tuan. Air mandi Anda juga. Kami kira Anda akan keluar pagi ini."
"Benar," sahut Douglas, bersyukur pegawainya yang setia mengetahui rutinitasnya. "Kau… hmm, apa kau akan mengurus wanita itu untukku saat dia terbangun nanti? Memastikan kalau dia akan mendapatkan apa pun yang dia butuhkan setelah aku pergi?"
"Tentu, Tuan. Seperti biasanya."
Douglas mengangkat alisnya menanggapi bungkukan pelayannya yang seolah menyindir itu, ia meninggalkan si pelayan yang dibawanya dari Maranatha itu begitu saja, mengarah ke dapur.
"Tuan, apa yang harus saya katakan kepada lady itu jika dia menanyakan Anda?" si pelayan itu mengangguk ke arah pintu kamar Douglas yang tertutup.
"Oh, aku tidak tahu. Katakan saja padannya aku pergi untuk urusan bisnis," jawab Douglas sambil mengangkat bahu. "Jawablah sesukamu, hanya saja pastikan dia sudah pergi saat aku kembali. Ingat, jangan terlalu akrab," Douglas memperingatkan sambil berjalan menyusuri lorong, jubahnya yang longgar berkibar di belakangnya. "Dia menggigit."
Tak lama kemudian, Douglas sudah selesai berpakaian dan juga sarapan, lalu pergi mengunjungi kediaman Putri Lea, sekadar berusaha membunuh waktunya yang luang sementara pelayannya berusaha mengirim si wanita pirang pulang.
Douglas berhenti di ambang pintu kediaman Leazah, mengabaikan dua pelayan sang putri yang membungkuk ke arahnya. Menatap Leila dengan intensitas tatapan yang menyelidik.
Pelayan muda itu tergagap dengan wajah pucat di tengah ruangan, seolah mencoba menghalangi Douglas.
"Di mana Putri Lea?" tanya Douglas dengan curiga.
"Saya mohon maaf, Tuan Duke!" Leila membungkuk. "Tapi—"
Tak ingin berbasa-basi, Douglas menerobos masuk ke dalam ruangan, melewati Leila, kemudian menyibak pintu kamar Leazah.
Kamar itu kosong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments