"Apa yang terjadi?" Pendeta Bernadus menyeruak masuk ke dalam perpustakaan, menghampiri kaisar yang duduk terpuruk di meja bacanya dengan tergopoh-gopoh.
"Karena kau tak mendengarkan, pasti kau tidak mengetahuinya," desis kaisar tanpa daya.
"Pastinya," tukas Bernadus.
"Aku baru saja mengatakannya," ungkap Rasmus.
"Lalu? Bagaimana menurutmu? Apakah dia mencintai Douglas?"
"Bukan itu bagian pentingnya," sergah Rasmus.
"Itu perlu," tukas Bernadus. "Apa tak pernah terpikirkan olehmu…"
"Aku egois tanpa batas!" potong kaisar cepat-cepat.
"Lebih buruk," Bernadus menghela napas kasar. "Kuasamu sangat besar," sanggah Bernadus. "Kau tidak diizinkan peduli pada siapa pun. Dan itu sangat buruk."
Kaisar menatap Bernadus dan kembali membeku.
.
.
.
Leazah menyusupkan wajahnya di dada bidang sang jenderal, tangisnya pun meledak. "Aku berdoa setiap malam saat aku masih kecil," ia bercerita sembari tersengak-sengak. "Untuk ayah dan ibuku."
"Shhh… shhh…" Jeremiah menepuk-nepuk punggung Leazah dengan lembut, berusaha menenangkan gadis itu. Lalu menariknya ke dalam dengan sedikit paksaan.
Gadis itu memberontak dalam dekapannya. "Kuharap doaku tak pernah dikabulkan," jeritnya frustrasi.
Jeremiah mendorong kedua bahu Leazah dan mencengkeramnya, lalu membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah gadis itu. "Kau harus berhenti berharap dunia yang sempurna," desisnya memotivasi. "Karena kita hidup di dunia yang seperti ini."
Leazah melemas dan jatuh berlutut.
Jeremiah segera menangkapnya dan memeluknya lagi.
Sebuah kesadaran paling membingungkan seketika muncul mengejutkan Leazah, kesadaran tentang betapa indah dan luar biasanya dipeluk seperti ini.
Entah berapa tahun sudah berlalu sejak terakhir kali ibunya memeluknya.
Leazah menelan ludah dengan susah payah, kemudian menyerah pada rasa gemetar yang hebat. Pelukan sang jenderal terasa menentramkan sekaligus melumpuhkannya.
Tapi tak berlangsung lama.
Lazareth dan Bernadus muncul tak lama kemudian dan mengatakan pada mereka bahwa Leazah harus bersiap-siap.
Lalu keduanya membawa gadis itu, membawa serta Philipus, meninggalkan istana.
Tapi Jeremiah bahkan tidak memiliki keberanian untuk sekadar bertanya, ke mana mereka membawanya.
Dan…
Sebulan kemudian…
Elijah Knight tak pernah kembali. Tidak ke istana, tidak ke barak tentara, tidak ke mana pun di seluruh Arsen.
Ada semacam kekosongan, jauh di kedalaman hati Jeremiah, seperti lubang besar yang gelap dan teramat dalam selepas kepergian Elijah Knight, yang diyakininya sebagai rasa kehilangan yang tak tergantikan oleh apa pun kecuali penciptanya. Dan itu takkan terobati jika Elijah tidak kembali lagi.
Jeremiah menyadari perasaan itu sebagai bentuk lain dari cinta namun tak berani menyimpulkan bahwa dirinya sedang jatuh cinta.
Bagaimanapun dia adalah pria normal yang tidak tertarik pada sesama jenis.
Ini seperti cinta antara seorang kakak pada adiknya, demikian ia menyimpulkan. Mungkin.
Tapi itu terlalu dalam, Jendral!
"Aku hanya merasa kehilangannya, itu saja!" ungkap Jeremiah suatu hari ketika ia mencoba memberanikan diri untuk bertanya mengenai keberadaan Elijah pada Bernadus dan pendeta itu hanya menjawab, "Dia menjalani apa yang seharusnya dia jalani sejak semula," yang kemudian ia simpulkan sebagai "pelatihan khusus."
Dua bulan kemudian…
Satu bulan menjelang perayaan ulang tahun kaisar Rasmus, istana kedatangan tamu istimewa dari Antasena—negara bagian di timur laut Nadia tempat di mana istana kaisar Romanus Agung didirikan.
Istana itu didedikasikan khusus untuk istri Romanus---ibu Rasmus, yang sekarang telah menjadi Balai Perempuan---tempat khusus pembinaan para putri raja dan calon selir.
Kaisar Rasmus mengadakan perjamuan di aula istana untuk menyambut kedatangan tamu istimewanya.
Seorang wanita cantik dalam balutan busana glamor khas putri raja, berjalan anggun memasuki aula digamit pendeta Bernadus.
Dan setengah dari bangsawan dalam ruangan itu merasa seperti tersihir.
Tatapan mereka sekarang terpaku pada sosok paling memukau yang tak pernah mereka lihat kecuali dalam lukisan Dorian.
Terkejut oleh reaksi para bangsawan itu, Jeremiah mengikuti arah pandang mereka, dan ketika ia melihat siapa yang menjadi pusat perhatian mereka, Jeremiah spontan membeku, terpikat oleh sosok bersinar yang baru tiba, terpaku menatapnya bersama-sama dengan para bangsawan yang terperangah tadi.
Tidak heran semua pria terkena sihir.
Wanita itu… begitu indah.
Kulit putih bersinar, wajah lancip arogan dengan hidung mancung yang mendongak sempurna di atas bibir merah merekah tanpa polesan perona, sepasang mata birunya bercahaya di bawah kandil permata di langit-langit, tubuh langsingnya terlihat semampai dalam balutan busana elegan yang tidak berlebihan, namun terlihat begitu mewah.
Ketika ia bergerak ke tengah ruangan, semua orang di tempat itu seolah tenggelam dalam pesonanya. Para pria membungkuk dengan bersemangat dan mata mereka berbinar-binar, sementara para wanita di sana-sini mengerjap antara kagum dan merasa iri.
Gadis itu kelihatannya tidak terlalu peduli dengan puji-pujian dan pandangan kagum maupun iri yang dilayangkan semua orang kepada dirinya, tapi sepertinya ada sesuatu yang menggangu perhatian gadis itu.
Mata biru gadis itu tidak henti-hentinya menyisir kerumunan dengan tatapan mencari-cari yang tajam seperti seseorang yang sedang berburu.
Tapi buruan apa yang sedang dicarinya? Jeremiah penasaran.
Lalu tiba-tiba, secara diam-diam dan tanpa peringatan, gadis itu menatapnya, dan Jeremiah mendapati dirinya hanya membeku di bawah tatapan gadis itu.
Dari seberang ruangan, kehangatan gadis itu seolah menyelimutinya.
Gadis itu membungkuk padanya secara diam-diam. Lalu sebuah senyuman samar tersungging di sudut bibirnya.
Jeremiah langsung terdiam. Tidak bergerak, tidak berkedip, bahkan tidak bisa bernapas.
Terkejut dengan reaksi tubuhnya sendiri, jantung sang jenderal berdetak kencang. Ia belum pernah mengalami reaksi seperti ini sebelumnya saat bertatapan dengan seseorang—kecuali Elijah Knight.
"Para pelayan setiaku di Nadia…" suara kaisar mengejutkan semua orang dari keterpukauan mereka. "Kuperkenalkan tamu istimewa… datang dari Antasena untuk menghadiri perayaan ulang tahun mendatangku, Leazah Bernadeta!"
Seisi ruangan memekik tertahan dan terkesiap. Tidak terkecuali Jeremiah.
Dorian sampai tak berkedip menatap sang putri, seolah-olah sosok itu benar-benar muncul secara ajaib, keluar dari lukisan yang dibuatnya—Elijah Knight!
Leazah membungkuk sekilas dan tersenyum tipis.
Lexath dan Eleazar bertukar pandang. Lazareth melirik ke arah pendeta Bernadus.
Douglas Pierre melompat dari tempat duduknya dan dengan sangat tidak sopannya ia menyodorkan gelas di tangannya kepada pasangannya malam itu. "Aku permisi dulu, Nona!" katanya tanpa menoleh. Lalu bergegas meninggalkan gadis itu.
Gadis itu tergagap dengan ekspresi tersinggung.
"Ah," kaisar tersenyum lebar ketika Douglas mendekat. "Tuan muda Douglas Pierre," ia memperkenalkan pria itu pada Leazah meski tak perlu.
Tapi tentu saja Douglas tidak tahu kalau itu adalah kali kedua kaisar memperkenalkan mereka.
Leazah membungkuk sekilas, memaksakan senyum. Lalu diam-diam melirik Jeremiah dan beradu pandang.
Pria itu mengerjap dan memalingkan wajahnya cepat-cepat ketika Douglas membungkuk ke arah Leazah dengan antusias.
Leazah hampir tak bisa menahan diri untuk tidak menghambur ke dalam pelukan jendral itu seperti sebelum mereka berpisah. Tapi situasinya telah berbeda sekarang.
Jenderal Jeremiah sudah menjadi orang asing lagi sekarang.
"Mungkin kau bisa mengajak berdansa nona muda ini," pinta kaisar pada Douglas.
"Dengan senang hati, Yang Mulia!" Douglas tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar gembira. Lalu membungkuk dan mengulurkan tangannya ke arah Leazah.
Leazah memaksakan senyumnya sekali lagi dan menyambut uluran tangan pria itu. Kuharap kau terkilir, Duke Maranatha yang terhormat! umpatnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Berty Arie
deritanya tiada akhir.. 😂😂
2022-12-03
0