"Mama, kok, diem aja." Kata si sulung soalnya di antara mereka dia yang paling gede.
Jelas aku diam, ibunya juga bukan.
"Ini anak ganteng banget masa iya anaknya si Arfa?" Ucapku menyakinkan.
"Anak manis, anak pinter, kamu anaknya siapa?" Tanyaku dengan senyum imut.
"Anak papa? Itu papa kita ada di sana," jawabnya dengan menunjuk ke arah papanya.
Ih. Gemes gemes, ini tiga bocah ditanya anak siapa, malah jawab papa kita ada disana, untung saja mereka ganteng ganteng kalau gak udah aku hih.
"Mama, ayok kita ke papa?" Rengek si bontot.
'kapan aku kawin sama bapak kamu?' batinku dengan senyum senyum sendiri membayangkan seandainya mereka anakku.
"Nduk, sini!" Teriak Bapak dengan melambaikan tangannya. Mau gak mau aku menghampiri tamunya bapak, saat mata ini tertuju kepada seorang pria yang berkulit hitam manis apa iya dia Arfa.
"Sini duduk." Perintahnya dan akupun duduk di samping bapak.
"Ibu mana?" Bisikku.
"Lagi buat minuman."
"Pak, gak salah liat, masa jodohku kulitnya gelap," lirihku membuat dirinya menatapku.
'kalau dia Arfa, kenapa hitam, sedangkan ketiga anaknya putih kayaknya ada yang gak beres tapi apa kalau si Arfa aku kenal walaupun hitam lah, ini gak sama sekali aku kenal.' batinku merasa aneh.
Semua orang juga akan berpikiran sama denganku bapaknya gelap masak anaknya putih.
Ibu datang dengan membawa nampan berisi empat gelas teh manis dan sepiring bakwan jagung, tapi tunggu dulu yang satu gelas lagi buat siapa?
"Kok, gelasnya empat Bu, satunya buat siapa?"
Ibu dan bapak saling tatap lalu ibu tersenyum padaku. "Buat nak Arfa," terangnya.
Jadi ini orang bukan Arfa, lalu Arfa kemana? Dan dia siapa.
"Jadi dia bukan Arfa?"
"Bukan Mbak, saya-" ucapnya ragu.
Kenapa sih, mereka semua, bikin aku penasaran saja.
"Mama...kapan Mama pulang kerumah?" Seru mereka serempak.
Etdah, ini bocah suka mengadi Ngadi emaknya bukan di suruh pulang ke rumahnya lagi.
"Assalamualaikum?" Ucap seorang pria dari luar.
"Waalaikumsalaaam," jawab kami serempak.
Pria tersebut masuk kedalam, memang pintunya terbuka jadi aku gak perlu membuka pintu nya lagi. Kedua bola mataku membulat sempurna melihat ketampanan orang yang selama ini aku ejek yang tak lain adalah si Arfa, Masyaalloh lelakiku ini tampan dan manis ah, kalau yang ini mau banget! Di nikahin sekarang juga gak nolak.
"Baru datang Nak," tanya ibu dengan sumringah.
Arfa tersenyum lalu meraih tangan ibu bapak dan mencium punggung tangannya.
"Iya, Pak, Bu." Jawabnya dengan menatapku.
Ah. Yang ini aku mau, gak pake nolak lagi, di tatap seperti itu jantung ku mendadak lemah gak karuan gara gara mata elangnya menembus jantungku.
Gak papa nikah sama dia yang sudah punya buntut aku terima.
"Bu, ini Arsila?" Tanyanya heran. Ibu hanya anggukan kepala.
"Hai, Arsila apa kabar." Tanyanya basa basi.
"Baik, ini beneran kamu Fa, berubahnya beda banget." Jawabku sambil menyalami tangannya.
Buset dah, ini tangan Alus banget gak kasar, dulu saat kami masih di desa jangankan liat si Arfa berdandan kayak gitu mandi saja jarang dia. Aku masih ingat ketika Bu Ani ibunya si Arfa memintaku jadi mantunya.
"Nak Arsila, mau gak jadi mantunya ibu, jadi istri Arfa," pintanya yang langsung aku jawab dengan alasan untuk menolaknya.
"Bu, Arsila gak mau jadi mantu Ibu," jawabku seketika Bu Ani diam.
"Kenapa?"
"Takut di suruh ngarit rumput buat sapi, kan, sapinya banyak." Jawabku saat itu, yang belum tau kalau Arfa sekarang ganteng banget. Bila mengingat semuanya itu bikin aku tersenyum kecut, sudah menolak Arfa mentah mentah.
Sekarang mah, di minta jadi mantunya langsung aku iyakan. Biarkanpun duda beranak.
"Tangannya di lepas dong," bapak menyenggol lenganku membuatku tersipu malu ketahuan menghayalkan Arfa jadi suami ku.
"Papa, ini Mama Kw kita?" Celetuk anak sulungnya.
Arfa terkejut saat anaknya memanggil ku dengan sebutan Mama Kw, Arfa menatapku tak enak.
"Ray, gak boleh ngomong seperti itu lagi ya Nak," nasehatnya dengan senyum.
"Kenapa papa marah sama kita, Ray gak salah, kan, memang Mama itu Mama Kw kami! Bukan Mama beneran," sahutnya.
Ini bocah pintar sekali menjawab pertanyaan papanya.
Aku tersenyum pada anaknya yang di panggil namanya Ray.
"Namamu siapa?" Aku bertanya padanya namun ia menatapku heran sungguh menggemaskan.
"Namaku Ray, dan adikku yang ini namanya Riko dan Raka," ujarnya sambil menunjuk kedua adiknya.
Ih. Gemes gemes pingin tak uwel uwel pipinya.
"Sayang, kalian bisa main dulu sama Om Akbar," pintanya pada buah hatinya.
Ketiga anaknya manut dan keluar bersama seorang pria yang namanya Akbar.
"Ar, temenin nak Arfa ibu sama Bapak mau keluar dulu sebentar." Keduanya berlalu dari hadapanku, kalian berdua memang pengertian sama aku.
Kini hanya tinggal aku dan dia, ada rasa canggung diantaranya sudah bertahun-tahun tak jumpa dan sekarang kami di pertemuan setelah menjadi duda janda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments