Status Baru

"Kamu harus kuat ya Nduk, Bapak akan mendukung keputusan mu," ucap Bapak saat kami akan pergi ke persidangan.

Ibu tak ikut karena sakit kepala, hanya aku dan bapak yang berangkat.

Sesampainya di sana aku tak melihat Mas Rangga memang aku melarang datang agar prosesnya lancar, ini panggilan sidang yang terakhir sedikitpun tak ada rasa sedih dihati ini mungkin sudah hilang rasa cinta dan kesabaran yang menunggu mas Rangga mencintaiku.

"Keputusan sidang akhir sudah menyatakan bahwa kalian sudah bercerai, langkah apa yang akan kamu lakukan?" Tanya bapak saat kami menaiki angkutan kota.

"Arsila tetep kerja Pak, di pabrik dan satu lagi aku mau ngajak Bapak dan ibu, kita kekota ya?" Ajak ku

Bapak menatapku heran, "Mau ngapain, lagian Bapak lebih senang tinggal di desa daripada di kota." Ucapnya.

"Pak, Arsila mohon ikut dengan ku, aku sudah punya rumah sendiri jadi Bapak dan ibu harus ikut." Paksa ku.

"Kalau Bapak sama ibu mu kekota lalu si Fadil sama dedek siapa yang urus?"

"Aku sudah bilang sama pak lek prapto agar beliau yang mengurusnya, jadi jangan banyak alasan untuk menolaknya."

"Apa ini mau?"

Aku hanya mengangguk dan tersenyum aku ingin membahagiakan kedua orang tua ku, ini waktunya aku membahagiakan nya dengan membelikan rumah dan mobil.

"Pak, kita makan dulu ya, perut Arsila sudah pada demo."

Bapak hanya tersenyum mengangguk.

"Pak, kita berhenti di depan ya?"

"Mau makan siang ya Neng." Jawab bang sopir.

"Iya."

"Wah, kebetulan saya juga mau makan."

Berhubung di mobil hanya ada kita bertiga maka kita pun makan di warung nasi Padang. Kami bertiga beriringan masuk kedalam dan aku memilih duduk di pojokan.

"Pak, kita makan di sana," tunjukku kearah bangku kosong. Bapak manut saja dan duduk.

"Bapak mau pesan apa, biar Arsila pesankan sekalian."

"Samakan saja."

"Sama rendang, dan lalapan daun singkong mau?" Tawar ku.

Bapak hanya pasrah dengan apa yang aku pesan.

"Pak, sedari tadi diam saja, ada apa?" Aku bertanya pada beliau karena semenjak pulang dari kantor pengadilan bapak banyak diam.

Obrolan kami terdiam saat pelayan membawakan pesanan kami.

"Jangan di jawab dulu pak, kita makan saja."

Kutatap wajah bapak yang mulai keriput beliau makan begitu lahapnya apakah bapak tak pernah makan enak? Ya, kami memang jarang sekali makan daging sapi walaupun punya gak mungkin kan kita motong sapi, gak bakalan habis dimakan sendiri, kalau ayam sering.

"Enak Pak rendangnya?" Tanyaku.

"Enak, belikan buat ibu ya?"

Aku hanya mengangguk aku senang melihat bapak bahagia hanya makan rendang saja sudah bahagia.

"Bapak mau nambah gak, biar aku pesanin lagi." Tawarku.

"Boleh, tapi dibawa pulang," kekehnya dengan senyum lebar.

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat bapak seperti anak kecil saja. Setelah makan dan membayar aku pulang menaiki angkot tadi, saat akan masuk dari arah belakang ada seseorang yang memanggil ku.

"Arsila," teriaknya membuat aku menoleh kebelakang.

"Eh, Mas Aripin, mau kemana?" Sapaku.

"Mau kerumah kamu Ar, ada pakdek juga," jawabnya dengan meraih tangan bapak lalu ia cium punggung tangannya.

"Mau kerumah?" Tanyaku heran mau kerumah tapi ada di warteg.

"Iya. Mas mampir dulu mau beli nasi Padang buat ibu," tuturnya.

"Aku sudah beli." Aku menunjukan kantong plastik yang aku bawa.

"Gak, apa apa kita makan lagi," jawabnya dengan senyum.

Bapak menatap mas Arifin tak suka, entah kenapa dulu waktu aku masih berteman dengan nya bapak biasa saja, kenapa sekarang berbeda? Sikap bapak yang dingin membuat mas Arifin kurang nyaman. Itu terlihat dari tatapannya.

"Nduk, ayok pulang kasian ibu mu," Bapak menarik tanganku untuk cepat pulang.

"Mas, kita duluan ya?"

"Eh, bareng aja." Tawarnya yang mendapatkan penolakan dari Bapak.

"Kita naik angkot saja." Ucap bapak datar.

"Maaf, ya Mas. Kita pulang naik angkot saja." Aku jadi tak enak hati padanya, mas Arifin sudah baik padaku andaikan kau tidak bekerja di pabriknya mana mungkin aku bisa membeli rumah dan mobil, dan satu lagi tabunganku lumayan bisa buat modal usaha bila aku resign dari pabriknya.

Mas Arifin mengangguk, ia pun paham dengan situasi seperti ini.

Saat didalam angkot aku bertanya pada bapak. "Pak, kenapa bapak bersikap seperti itu pada mas Arifin? Padahal dulu Bapak senang bila aku berteman dengan nya," tanya ku pelan.

"Sepertinya dia suka sama kamu Nduk. Bapak kapok punya mantu orang kaya." Cetus Bapak.

Deg.

Lemas sudah tubuh ini, niat hati ingin menjalin hubungan yang lebih dengannya kini pupus sudah harapan ku, dengan tidak adanya restu dari beliau.

"M--maksudnya apa Pak."

"Jangan punya pacar atau suami orang kaya. Cukup dia si pencundang Rangga, kalau mau cari calon suami yang biasa saja, yang sederajat dengan kita sama sama wong ndeso."

'harapan tinggal lah harapan, ternyata kamu bukan jodohku Mas' Raung batinku.

Baru saja aku menyandang status janda kembang, sudah memikirkan jodoh, egois. Aku menyunggingkan bibirku.

Tak terasa angkot yang kami tumpangi akhirnya sampai juga di rumah, kulihat ibu berdiri di ambang pintu untuk menyambut kedatangan kami.

"Assalamualaikum," ucap kami.

"Waalaikumsalaaam," jawab ibu.

"Gimana lancar Nduk." tanya ibu dengan mengelus tanganku.

"Alhamdulillah, Bu, lancar."

"Syukurlah kalau lancar."

"Pak, jadi dong kita besanan sama Pak Fatur?" ucap ibu antusias..

"Jadi dong Bu?" penuh semangat bapak menjawabnya.

"Apa Bu? Arsila mau di kawinin sama si Arfa?" tanyaku shock berat, si Arfa kan cowok kemayu, yang benar aja.

"Iya."

"Tidakk!!!" aku berlari menuju kamar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!