Toxic

Di kamar ini yang menjadi saksi sejarah kisah rumah tangga ku yang kujalani, pernikahan macam apa? Rasanya ingin berteriak memaki diri sendiri setiap malam tidur berteman kesunyian malam guling ini yang menjadi teman tidurku, setiap malam hanya belaian angin yang menembus kulitku.

Untuk apa aku harus memperjuangkannya sedangkan mas Rangga tak mau menjalani biduk rumah tangga denganku. Rasa sesak di dada semakin terasa bila malam mulai menyapa, malam ini adalah malam pengantin suamiku dan aku hanya meratapi nasibku sendiri yang selamanya sendiri.

"Aku wanita hebat dan kuat, pasti aku bisa hidup tanpa mas Rangga toh, selama ini hampir enam bulan aku tidur sendiri tanpa belaiannya, ayok! Arsila pasti kamu bisa." Aku menyemangati diri sendiri.

Aku berjalan menuju lemari pakaian jati disana aku mencari berkas berkas yang bisa aku jadikan persyaratan untuk menggugat mas Rangga, dan tak lupa aku masukan buku nikah, itu syarat utamanya.

Tak lupa aku masukan ke koper tak ku sisakan sedikit pun barang barang yang aku beli hasil jerih payahku aku tak Sudi bila barang barang ku tertinggal di sini walaupun sehelai saja.

Klinting.

Hp butut ku berteriak-teriak seperti nya ada panggilan masuk dan tak lama pesan singkat pun ikutan masuk, dengan malas ku raih hp butut yang teronggok di meja, saat melihat dan membacanya membuat emosiku ingin meledak saja, dengan kesal aku balas pesan tersebut.

["Aku gak punya duit! Lagian kamu tau, setiap gajian aku gak pernah pool."]

Seenak jidatnya minta duit, duit.

["Mas, kekurangan duit, buat bayar kontrakan dan makan sehari hari, tolonglah Mas janji kalau sudah kelar urusannya disini Mas akan menjadi kan kamu istri yang baik dan aku akan memberikan hakku sebagai suamimu."]

["Aku gak mau memberikan duit buat kamu sama istri mudamu enak saja kamu Mas, aku yang capek capek kerja sedangkan kamu yang menikmatinya dengan wanita lain. Dan. Satu lagi tunggu surat cere dari aku. Aku gak butuh belaian kamu.]

Tak lama kemudian ia menelpon ku, suara hp butut ku semakin meraung-raung ingin segera di angkat, gak ada niatan untuk mengangkat telponnya melihat siapa yang nelpon aku sudah enek mendengar suara nya.

Ku lemparkan ke sembarang arah, masa bodo dengan hpnya kalau rusak besok beli HP baru, setelah aku lempar tuh hp butut masih saja meraung-raung membuat diri ini luluh akhirnya aku angkat.

"Halo!" Ketusku.

"Narsih! Bukannya bersyukur aku mau menyentuhmu, belagu! Kayak cantik saja. Wajar jika suami menikah lagi, aku orang terkenal pastinya banyak orang yang mengundangku ke berbagai acara," jawabnya membuat hati ini semakin benci darahku mengalir lebih panas dari biasanya. Bila dia ada disini di depanku mungkin bodem mentah ini sudah mendarat di pipi mas Rangga.

"Dan satu lagi memangnya kamu sanggup menjadi janda, rugi tau kalau kamu minta cere, di luar sana banyak sekali wanita cantik yang ingin memiliki aku, kalau kamu maksa silahkan ajukan dengan senang hati akan aku tandatangani surat cere nya. Asal kamu yang menanggung biaya perceraian kita."

Rupanya dia nantangin aku, hei, Ferguso aku gak kere, aku banyak duit kamu saja tak pernah tau, justru kamu dan ibu mu yang akan menyesal telah membuang berlian demi kerikil berlumur lumpur.

Kalian akan kejang kejang melihat aku sudah punya rumah bagus dan juga mobil atau kalian akan mohon mohon ingin kembali padaku. Ya, selama ini aku bekerja di pabrik kerupuk milik Mas Arifin gajinya lumayan gede separuhnya aku tabung dan sisanya biasalah aku sumbangkan kepada suami mertua dan maduku, di bilang gak baik lagi. Kurang baik apa aku sudah pintar cantik dan baik hati pula.

"Kenapa diam, gak punya duit kan, udah tau biayanya mahal, be lagu," pungkasnya mengejek ku, 'gue bukan gak sanggup, tapi lagi mikirin gimana nasib kalian semua tanpaku,' aku tersenyum sinis membayang nasib mereka.

"Jangan remehkan seorang wanita yang kamu sakiti Mas, justru kamulah yang pantas aku kasihani, tanpa aku kamu gak akan menikah dengan pelakor. Kami itu kere tak beruang," cibirku.

"Tutup mulutmu, dia bukan pelakor gendis cinta pertamanya aku."

"Wow, rupanya kamu menikahi sepupu sendiri," sindirku.

"Tunggu aku di rumah!" Perintahnya penuh emosi.

"Aku tak akan pernah menunggumu di rumah, sebelum kamu sampai aku sudah pergi meninggalkan rumah berasa ne raka bagiku."

Sambungan telpon putus, mungkin mas Rangga ingin segera bertemu dengan ku sebelum aku benar benar pergi dari rumah.

Baiklah aku akan menunggunya sebagai pertemuan terakhir antara kami berdua anggap saja ini hadiah untuk nya, aku akan berdandan secantik mungkin, agar dia gelempar gelempar seperti ikan kekurangan air.

Di tempat lain, seorang wanita berpenampilan seksi yang sedang merajuk pada suaminya, siapalagi kalau bukan gendis.

"Mas, kami bilang gak cinta sama Narsih," rajuknya dengan mencebikan bibirnya.

"Mas ngomong seperti itu agar dia mau ngasih duit sama Mas, kan sudah mas katakan berapa kali kalau mas gak cinta dengannya, bukankah dari awal kita sudah sepakat bukan?"

Gendis anggukan kepala, "mas boleh kesana, tapi ingat, kalau sudah dapat uang nya langsung pulang dan jangan tidur dengannya aku gak rela berbagi suami apalagi itu," bibir gendis menunjukkan barang pribadi Rangga.

"Hahaha iya sayang, yang ini spesial hanya untuk istri mas yang tercinta," ujarnya seraya mengecup kening gendis.

"Ga, mau kemana?" Tanya Bu Darmi.

"Biasa mah, mau minta duit." Terang Rangga.

"Minta yang banyak." Bu Darmi mertua yang tidak berperasaan sudah mengizinkan anaknya menikah lagi tanpa memikirkan perasaan Arsila, dimana hatinya bukankan dia juga seorang perempuan?

"Mah, dia tau darimana kalau aku menikah? Kan, tak satupun tetangga kita yang tau?" Tanya Rangga heran kenapa Arsila bisa tau tentangnya.

"Palingan dia gertak sambal saja, dah ah, pokoknya kamu biasa aja dan yakin kan dia, Ga?" Tanyanya ragu.

"Apa Mah," sahut Rangga.

"Apa gak kamu cerein dia aja, toh kamu sudah nikah sama gendis, mantu idaman Mama," ucapnya memuji gendis membuat hidungnya kembung kempis merasa tersanjung.

" Iya Mah, tapi biayanya mahal. Biarkan dia saja yang menceraikan aku, kan bebas biaya." Keluarga ini benar-benar tidak tahu malu.

"Yang penting kuras dulu dompetnya Mas," timpal gendis dengan senyum.

"Kamu emang pinter?"

"Siapa dulu!"

"Gendis." Ucap mereka dengan gelak tawa.

keluarga toxic, memang tidak ada malunya, meminta uang kepada orang lain. walaupun Arsila menantunya namun tak pantas di perlakukan seperti itu. Di mana hati Bu Darmi sebagai wanita.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!