Kini kami bertiga duduk di meja makan untuk sarapan pagi. Kulihat wajah Mas Rangga kusut sepertinya belum disetrika ah, bukan urusanku salah sendiri tidur di sofa nyaman juga di kasur. Dasar suami tak tau di untung.
"Ga, kamu kenapa sakit?" Tanya Mama yang melihat wajah anak kesayangan kusut semrawut.
Yang ditanya malah gelagapan mungkin bingung mau jawab apa.
"Semalam Mas Rangga tempur di sofa makanya lemas gitu, iya Mas," ceplosku tanpa senyum habis suami macam Mas Rangga harus digituin biar perang dunia sekalian sama mamanya. Karena mama Darmi tak mau anaknya itu tidur bersama ku, katanya sih, gak mau punya cucu dari wanita kampung dan tak berpendidikan tinggi. Anak sama ibu sama-sama gendeng biarlah aku dibilang menantu durhaka juga, habis mereka duluan meremehkan aku tepatnya anak wong ndeso.
Lah, wong kita sama-sama makan nasi bukan berlian hadeehh orang kayah kelakuannya aneh-aneh.
Ucapanku sukses membuat Mama mertua melototi Mas Rangga.
"Narsih! Jangan asal ngomong kamu!" Bentaknya.
"Jangan ngeles Mas, kayak bajai saja." Ucapku tak kalah kerasnya biarpun asalku dari ndeso tapi aku pintar jangan samakan aku dengan cerita novel yang peran wanitanya lemah dan cengeng.
"Emang nyata. Apa susahnya jujur saja aku gak mengapa bukan begitu Mama?" Tanyaku pada Mama.
Kutatap wajah yang tak muda lagi dan banyak garis besar di bawah kantung matanya.
'bingung, bingung deh. Mau cari alasan atau jawaban apa gak bakalan mempan so, belangnya sudah keliatan, rupanya Mama juga sekongkol dengan mas Rangga mereka menginginkan aku menjadi sapi perahnya atau ATM berjalannya, kasian amat.' batinku merasa puas melihat wajah keduanya kalang kabut emang enak.
"Emm... itu...anu," jawabnya gugup.
"Anunya siapa mah," ujarku seraya menahan tawa.
"Narsih! Jangan menertawakan Mama kamu pikir kamu siapa? Aku aja anaknya gak berani membentak Mama?" Mas Rangga membela mamanya tak terima aku gituin.
"Siapa juga yang me nertawakan Mama, Mas? Hahaha...nah, yang ini baru tertawa," sahutku sambil tertawa lepas.
"Sudah! Jangan pada ribut! Mama pusing, di jam segini kalian ribut, kapan sarapannya Rangga? Kamu juga Narsih."
"Ini jam setengah delapan Mama? Lagian yang ngajak debat siapa hayoo?"
Biarlah mereka menganggap aku benar-benar katrok dan kampungan tepatnya sih menjatuhkan harga diri gak juga. Hanya ingin membuat mereka lebih jengkel, sebal padaku biar mudah untuk aku balik hina mereka.
Mas Rangga mengebrak meja lalu pergi. Membuat Mama terkezut melihat kelakuan anaknya.
"Rangga gimana kalau piring dan gelas pecah? Inikan barang branded," sungut Mama.
Lah, piring biasa dibilang branded, dimana-mana banyak. Heran sama mamer Darmi ( Mama mertua)
"Ma, piring kayak gini nih banyak di toko ntar aku beliin satu gros khusus buat Mama itung-itung hadiah dari menantu terjelek dan terhina ini." Aku menepuk dada membanggakan diri sendiri walaupun hati ini sakit. Sakitnya tidak berdarah yang mati sekalipun akan terasa sakit bila kita terlalu meresapi rasa sakit ini maka dari itu kita buat happy ajalah salalala, mirip lagu aja hehehe.
"Siapa bilang kamu jelek dan hina, siapa orangnya nak, biar Mama kruwes mulut lemesnya."
Andai tau orangnya siapa, apa mau Mama meng kruwes bibirnya sendiri? Gak mungkinlah kan, sakit.
"Ayo, kita sarapan nak, mubazir kalau gak di makan ntar nangis nasi goreng nya."
Hah. Yang ada orangnya kali, yang nangis sedaritadi kelaparan karena perut Mama berdendang minta jatah dikira aku Bu deg apa.
"Aku ambilkan ya ma?" Mama mengangguk. " Segini cukup," tanyaku.
"Terlalu sedikit, tambahin satu centong lagi," pinta Mama. Memang benar bahwa nasi goreng yang berada di piring hanya setengah centong saja, sengaja aku ngasih nya.
"Ma, tau gak, kalau makan nasi goreng kecap Suir ayam dan sosis bisa membuat seseorang meninggal? Apa lagi usia mama tak semuda dulu?" Aku sengaja aku menakuti nya biar aku yang kenyang lagian orang kayah masak nasi sendulit amat, dasar pelit.
"Masak sih, kok, Mama baru dengar ya? Kamu kata siapa?"
"Kata dokter ahli jantung," jawabku asal.
"Dokter ahli gizi Narsih? Beda lagi dengan dokter jantung ya buat ngobatin orang yang sakit jantung," timpalnya.
"Mama, dokter jantung dan dokter gizi kan satu kelompok ya, pasti semua dokter Taulah orang sama-sama memiliki titel doctor," sengaja aku mengatakan kata doctor. Seketika wajah Mama cemberut sambil menyendokan nasi kemulutnya sesekali ia melirik kearah ku, tepatnya pada piring nasiku yang penuh oleh nasi goreng nya.
"Kalau sudah selesai, beresin semuanya dan cuci piringnya Mama gak mau melihat barang kotor di westafel." Perintahnya lalu melengos pergi entah kemana.
Aku hanya mengangguk sambil memonyongkan bibirku, sebal ia, masak baru satu hari disini Mama sudah berani memerintah? Kan lucu, beda jauh sama cerita novel, hihihi.
Selesai mencuci aku berjalan menuju ruang tengah samar-samar aku mendengar ucapan ibu dan anak yang bikin aku geli soalnya keduanya curhat tentang aku yang menurutnya menyebalkan.
"Ga. Awas aja kalau kamu tidur sama Narsih, lalu punya anak." Ancam Mama.
"Mama gak mau punya cucu dari wanita ndeso," imbuhnya lagi.
"Siapa juga yang mau tidur sama dia, amit amit harus punya anak dari wanita bod*h." Ujar suamiku yang luknut. Rasanya ingin aku kruwes mulut lemesnya yang membuat sakit hati.
'Idih. Sok. Kepedean aku juga ogah punya anak dari lelaki munafik dan mertua jilid macam kalian.' batinku dengan menahan sesak di dada.
Seandainya aku tau niat mereka menikahi ku hanya untuk dijadikan ATM berjalannya sudah aku tolak mentah-mentah namun semuanya sudah terjadi mau apa. Kini aku harus main cantik dengan mereka.
"Ma, para pembantu sudah Mama pulangkan ke rumahnya masing-masing?" Tanya Mas Rangga dan mama anggukan kepala.
Sial. Ternyata aku bukan dijadikan ATM berjalannya tapi pembantu juga. Bapak kenapa engkau harus punya firasat yang buruk. Ingin aku menangis namun semuanya sudah tak ada gunanya lagi.
"Tenang Ga, dengan adanya Narsih kita akan untung berlipat ganda yang pertama dia akan mengembalikan modal yang sudah kita berikan pada mereka dan kedua dia jadi Art gratis, ide Mama berlian bukan?"
Mas Rangga mengacungkan jempol ke atas dengan senyum manis. Dasar manusia tak tau malu uang yang sudah dikasih malah diminta lagi, jujur hati ini dongkol banget.
Tiba tiba terbesit ide cemerlang aku langkahkan kaki ini menuju ibu dan anak laki nya seketika obrolannya terhenti saat menantu kesayangannya datang.
"Lagi ngomongin apaan? Kayaknya serius banget," ujarku seraya ikut duduk di samping Mas Rangga.
"Gak ada apa-apa," sahutnya dengan garuk-garuk kepalanya.
"Kok, ada aku jadi diam semua? Apa aku mengganggu?" Tanyaku dengan wajah memelas.
"Siapa bilang gak kok," sahut Mama mertua dengan mengelus tanganku.
Bulsit.
"Mas, katanya mau ke pabrik buat aku kerja. Aku ingin cepat-cepat kerja biar cepat lunas bayar utangnya," kataku dengan menekankan kata utang.
"Maafkan Mama ya sayang, bukannya kita gak ikhlas tapi--" ucapnya tergantung.
"Modalnya dapat ngutang juga gitu, jadi aku harus yang bayar." Aku manggut-manggut.
"Bukankah kalian orang kayah, masak uang segitu ngutang? Malu dong."
Yes. Keduanya saling tatap dan merasa tidak nyaman atas apa yang aku katakan.
"Bukan begitu, iya kan, Ga? Mama hanya ingin kalian berdua hidup bahagia kedepannya."
Bahagia apaan. Baru sehari jadi mantu aku sudah makan ati teroos. Lama-lama jadi kurus ini badan.
Sudah satu bulan aku bekerja di sebuah pabrik kerupuk milik kenalan Mas Rangga, ya, lumayan gajinya bisa buat healing kamana aja. Tuk menghilangkan rasa stres.
"Mbak Arsi." Sapa salah satu karyawan.
"Iya, ada apa?" Sahutku dengan senyum.
Arsi nama panggilan aku di sini mereka begitu ramah dan sopan tua maupun muda kita memanggilnya dengan sebutan Mbak, tidak seperti suami dan mertua julid bila memanggilku dengan sebutan Narsih padahal namaku cantik kayak orangnya, hehehe memuji diri sendiri walaupun kenyataannya sudah cantik bin pintar.
"Di panggil oleh pemilik perusahaan bos kerupuk."
"Oh." Jawabku. "Sekarang bos-nya di mana?"
"Di ruangnya atuh Mbak, Mbak Arsi mah becanda Mulu," ia berkata dengan senyum.
"Aku serius nanya Mbak. Satu bulan kerja di sini belum pernah melihatnya," akupun mengiyakannya karena aku belum ke ruangannya bos. Wujudnya seperti apa aku gak tau, apa genteng atau jelek.
Terdengar suara kasak kusuk dari para karyawan. Aku mendekat dan bertanya pada nya.
"Ada apa?"
"Tau nggak Arsi, ternyata bos kita ganteng banget. Biasanya yang kesini bukan beliau."
"Ya Allah gantengnya gak ketulungan."
"Aku dijadikan istri yang ke delapan juga mau."
"Menjadi selingkuhan nya juga mau."
Astaghfirullah, nauzubillah mereka sama saja merendahkan diri memangnya gak ada cowok yang ganteng lagi di dunia ini? Pastinya banyakan? Bukan bos juga kali. Aku gelengkan kepala seraya mengusap dada.
Perlahan pintu aku ketuk tanpa lama suara dalam ruangan memerintahkan aku masuk.
"Masuk!"
Suara itu terdengar tak asing bagi aku, tapi dimana? Dan siapa? Dengan gelisah ku langkahkan kaki ini menuju meja bertuliskan Direktur, sayang wajahnya tak terlihat karena ia membelakangi ku.
Dalam posisiku sekarang membuat aku bingung harus apa, beberapa menit hanya ada kesunyian tanpa suara.
Ini bos aneh banget, bukannya dia memanggil aku masuk tapi di cuekin aja, bibirku kelu tuk sekedar basa-basi kuberanikan diri bertanya dengan suara terbata bata, maklum tegang ini pertama kalinya bertemu langsung dengan bos pemilik perusahaan kerupuk.
"A-ada apa Pak. Bapak memanggil saya?" Tanyaku gugup dengan wajah tertunduk dan kedua tanganku saling bertautan takut.
Suara deheman kecil membuat wajah ini terangkat ke atas dan terkejutnya aku ketika melihat siapa yang berdiri tepat di depan ku seorang lelaki mapan dan menyandang gelar bos lelaki yang sudah pergi meninggalkan aku, di kala itu sebelum kepergiannya ia pamit untuk bekerja menjadi orang sukses.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments