"Mas, kapan mau cari kerja? Kita harus makan, bayar listrik dan ini itu! Jangan diam saja! Itu akibat keenakan nganggur karena istri kucel mu yang nyari duit," judes gendis.
"Lama lama kamu cerewet juga. Kalau gak mau kerja seperti Narsih sudah diam!" Bentak Rangga. Tak ada kemesraan di antara kedua nya, Bu Darmi yang melihatnya membuatnya pusing kepala, di tambah ia di cari cari tukang sayur karena hutangnya banyak, setiap pagi Bu Darmi harus ngumpet, bila pak Ujang keliling menjajakan dagangannya.
"Kamu berani membentak saya Mas! Selama kamu di rumah saya, apa yang kamu dan mama lakukan? Gak ada! Bisanya ongkang-ongkang kaki sudah kayak tuan rumah saja. Ingat Mas yang punya rumah ini saya! Semua kebutuhan mama dan kamu semua saya, sampai sampai warisan saya jual, aku bukan Narsih yang harus menuruti keinginan kalian."
"Gendis! Kukira kamu itu gadis baik. Heh. Ternyata aku tertipu dengan kecantikan yang menyimpan kejahatan." Erang Rangga.
"Wanita mana Mas, yang mau dan Nerima suaminya pengangguran dan menghabiskan uang istrinya." Teriak gendis dengan melemparkan pas bunga ke lantai menimbulkan suara keras, membuat Bu Darmi mengelus dada.
"Kenapa hidup kami seperti ini ya Allah, apakah ini karma, karena aku dan Rangga sudah memperlakukan Narsih seperti pembantu," batinnya dengan menyusut air mata yang mulai basah.
Penyesalan hanyalah penyesalan tak bisa di putar lagi, untuk apa disesali karena sekarang Arsila sudah hidup bahagia dengan berkecukupan.
"Sekarangkan sudah tau siapa aku! Terus mau kamu apa!" Kesalnya.
"Nyesel, udah ngebuang Narsih!" Imbuhnya lagi.
"Iya. Aku menyesal sudah menikahi seorang wanita culas macam kamu!" Sahut Rangga tak kalah geramnya membuat gendis melotot ke arah Rangga.
"Brengsek kamu Rangga!" Raung nya.
Begitulah setiap hari selalu ada keributan yang terjadi, hal sepele juga yang jadi pemicunya. Penyakit jantung Bu Darmi sering kumat, namun tak berani mengatakannya pada Rangga, Bu Darmi tau kalau anaknya tak punya uang untuk biaya kerumah sakit.
Semakin hari gendis berani membentak dan memaki suaminya hanya Rangga takbekerja.
Rangga terdiam saat gendis berlalu meninggalkan ia yang duduk pasrah.
"Narsih, kamu dimana," lirihnya mengapa tiba-tiba Rangga mengingat mantan istrinya yang ia campakkan apakah ada penyesalan yang mendalam? Entahlah hanya dia yang tau.
*
*
Hacim. Arsila bersin bersin tangannya menggosok gosok pelan hidungnya yang merasa gatal. "Siapa sih, yang lagi ngomongin aku? Gatel lagi," gerendel nya dengan bersin lagi.
"Nduk, kamu masuk angin," tanya ibu dengan membawa secangkir teh hangat dan di letakkan di atas meja.
",Gak tau Bu, kayaknya ada yang ngomongin aku deh."
"Kayak peramal saja," kekeh ibu.
"Nduk, kita jalan jalan ke taman yuk," ajaknya gak biasanya ibu ngajakin aku ke taman.
"Pasti mau baksonya mang Amun ya?"ledekku.
"Hem, habis baksonya bikin nagih." Ujar ibu.
Akhirnya kami pergi ke taman bapak gak mau ikut alasannya taman itu khusus untuk anak-anak. Aku bahagia karena Bapak maupun ibu akhirnya mau aku ajak kekota.
Sedang asyiknya makan bakso dengan obrolan ringan sangatlah cocok, apalagi di cuaca dingin. Tak sengaja mata ini melihat seorang pria yang sangat aku kenal. Dirinya berpakaian lusuh rambut acak-acakan mirip gembel, mana Rangga yang dulu, berpenampilan rapi, gagah dan tampan sekarang berbanding terbalik. Apakah sumpah yang dulu aku ucapkan jadi kenyataan? Bila benar sumpahku menjadi nyata alangkah jahat nya aku padanya, ya, lelaki itu adalah mantan suami ku mas Rangga, ada apa dengan dirinya? Aku jadi ngeri-ngeri sedap, lain kali aku gak boleh berkata kepada siapapun apalagi mengeluarkan sumpah serapah.
Saat ku tatap wajahnya, ada rasa iba, seharusnya aku membencinya nyatanya hati ini tak sekejam ibu tiri. Rasa empati padanya masih ada.
"Nduk, itu bukannya Rangga?" Tunjuk ibu.
Aku mengikuti arah telunjuk ibu. "Arsila udah liat, kasian banget ya Bu."
"Narsih?" Tanyanya heran. "Ini benar kamu? Aku gak salah liatkan."
Aku hanya tersenyum tipis. "Iya, aku. Tapi namaku bukan Narsih tapi Arsila Darwanti."
"Maaf." Lirihnya hampir tak terdengar.
"Kamu sekarang menjadi wanita yang cantik," ucapnya dengan seulas senyuman.
'baru tau, kalau aku cantik,bukan saja cantik mas, tapi kaya,' sombongku dalam hati.
"Mas, kamu disini sedang apa? Kok, bawa map," tanyaku.
Mas Rangga menyentak napas panjang lalu ia menjawabnya dengan ragu.
"Mas, cari kerjaan tapi ada yang mau menerima saya." Raut wajahnya begitu mengkhawatirkan sekali, ternyata ada hikmahnya juga dia nikah sama gendis mau kerja. Yang menjadi pertanyaan ku ada apa dengan rumah tangga nya.
"Oh," jawabku cuek.
"Kamu jauh lebih mandiri dan cantik."
"Memang dari dulu aku cantik, kamu saja tak pernah melihatnya, yang kamu lihat duit, dan duit." Sindirku membuat dirinya menundukkan wajahnya.
"Sudahlah Mas, jangan kau ingatkan masa lalu biarlah berlalu toh, aku sudah ikhlas, malah aku bersyukur bisa lepas dari kamu," tunjukku dengan mencebikan bibirku.
Mas Rangga hanya terkekeh kecil. "Ku kira bukan kamu, seandainya tak ada ibu mungkin aku gak akan kenal. Bagaimana ibu sehat," tanya Mas Rangga pada ibu.
"Sehat!" Judes ibu dengan membuang wajahnya ke samping.
Mas Rangga diam bergeming ditariknya tangan yang hendak menyalami ibu.
Ibu seperti anak kecil yang sedang merajuk.
"Bu, jawabnya jangan judes judes dosa."
"Gak apa apa Ar, memang aku yang jahat terhadap kamu, wajar bila ibu marah," timpalnya.
"Syukurlah kalau sudah sadar dari mati surinya." Aku tertawa menatap wajah ibu yang melototi aku.
Suara ponselnya membuat diriku menghentikan celotehan recehku.
"Iya, saya pulang! Seharusnya kamu itu mendukung suami, bukannya menghinaku." Bentaknya.
Ngapain dia marah sama istri di tempat umum, ada apa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments