Kini Arsila berada di depan cermin dengan dress selutut berwarna peach rambut nya ia cipol asal menambah kecantikannya.
"Aku cantik, kalau Mas Rangga melihatku cantik maka ia gak mau aku cere, jangan lihat kan kecantikan kamu Ar, tahan." Arsila memperingatkan diterima nya sendiri.
Takut ketahuan akhirnya Arsila Menganti pakaian dengan daster batik, temannya sehari hari di rumah soalnya nyaman dipakai.
Tok tok suara pintu diketuk dari arah depan.
"Datang juga aku kira gak jadi," gerutu Arsila.
Tap tap Arsila berjalan dengan lebar suara ketukan semakin keras.
"Sabar." Seru Arsila.
Ceklek
Pintu terbuka dan siapa yang datang lelaki yang karismatik dan gagah berdiri di ambang pintu dengan tangan ia lipat di atas perut.
"Lama sekali!" Ketusnya dengan menatap Arsila dari atas sampai bawah.
"Aku dari kamar, gak dengar! Aku kira gak jadi datang."
"Maksud kamu apa? Jelas aku datang untuk menagih hutang yang belum kamu lunasi, sekarang mana duitnya." Datang datang nodong minta duit.
"Sekarang saya tanya. Yang mau nikah sama saya siapa."
"Jangan banyak drama mana duitnya saya mau pulang, disini lama lama bisa bosan liat kamu gak bisa dandan kerjaannya dasteran," ejeknya.
"Ya udah Sono pulang!" Usirku minta duit sambil ngomel-ngomel dasar benalu hidupnya nyusahkan orang.
"Apa kamu gak dengar? Narsih? Kalau saya kesini minta duit, duit." Ucapnya penuh penekanan dengan kata duit.
Lama lama capek juga ngadepin lelaki macam Mas Rangga, dengan malas aku berjalan menuju kamar untuk mengambilkan uang yang ia minta, aku capek bila harus berdebat dengan dia.
Ku ambil dompet yang ada di tas selempang dan cepat keluar dari kamar aku mau mas Rangga melihat barang-barang yang akan aku bawa pulang.
"Ini duitnya di amplop itu ada duit sebesar tujuh jutaan itu lebih cukup. Ambilah dan cepat pergi dari sini tunggu surat cere dari aku." Dengan kasar aku berikan uang tersebut di tangannya.
"Baik." Jawabnya tanpa malu ia ambil amplopnya sebelum pergi ia membalikkan badannya dan menatap wajah ini.
"Setelah cere dari aku apa ada lelaki yang akan menikahi mu? Siap siap keluarkan duit banyak. Sepeserpun aku gak akan mengeluarkan uang nya."
Aku bertepuk tangan dan tersenyum mengejek padanya. "Jelaslah gak punya duit, kerja juga enggak! Bisanya ngemis dengan istri yang tak di anggap, istri yang di anggapnya ATM berjalan." Wajahnya seketika merah padam menahan amarah yang membuncah setelah apa yang aku katakan.
"Kamu!" Tunjuk nya dengan geram.
"Jangan marah bro, santai, ini faktanya," ucapku dengan menepuk pundak nya seraya senyum sinis. Dengan kasar ia menepis tangan ku membuat aku meringis.
"Kamu gak berhak ada dirumah Mama, cepat tinggalkan rumah ini." Usirnya.
"Iya, iya, Mas Rangga? Aku sedang pesan angkot karena barangnya banyak. Lagian rumahku lebih gede bisa aku pake buat sepak bola." Sahutku santai.
"Jangan bilang kalau kamu mau merampok barang barang yang ada disini, HAH!"
"Barang barang yang ada di sini untuk apa aku bawa? Sedangkan aku sudah punya yang lebih bagus dari isi rumah ini, dan kamu akan menyesal telah membuang aku, selamat jadi gembel." Hinaku.
Tak ada sepatah pun yang keluar dari mulut mas Rangga. Dia berlalu meninggalkan rumah dan menyalakan kuda besinya dengan emosi, kulihat beberapa kali ia memukul-mukul stang motor nya.
Aku tersenyum puas melihat wajah Mas Rangga seperti tadi.
"Assalamualaikum?" Ucapku saat tiba di rumah ibu.
"Waalaikumsalaaam." Jawab ibu dan bapak.
Ceklek.
"Ya, Allah Pak, ini anak kita Arsila," tangis ibu seraya memelukku erat.
"Kamu kemana aja Nduk." Tanya bapak. "Kamu sehat nak."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum ada rasa bersalah karena tak mendengarkan nasehat beliau.
"Ayok masuk," ajak ibu dengan menggandeng tanganku. Ibu mendudukkan ku di bangku kayu yang usang tak layak dipakai.
"Awas jatuh." Ibu berucap dengan tangannya menggenggam erat tangan ku seakan-akan tak mau berpisah lagi dariku.
Ku bingkai wajah ibu yang tak muda lagi.
"Maafkan aku Bu, Pak," aku bersujud di kaki mereka tak terasa kedua bola beningku berembun.
"Kami sudah tau kelakuan suami dan mertua kamu Nduk," tanya bapak lagi.
"Iya Pak, mereka jahat, sudah membudakanku, aku dijadikan ATM bersama oleh mereka, aku menyesal sudah membangkang terhadap kalian berdua," jawabku dengan sesegukan air mata ini sudah tak bisa aku bendung lagi.
"Ibu dan bapak sudah memaafkan kamu Nduk, sudah jangan menangis, tak pantas kamu tangisi lelaki seperti Rangga, sekarang langkah apa yang akan kamu ambil." Ibu menguatkan ku agar tetap sabar menjalani takdirku.
Disaat seperti ini hatiku terasa damai, bila anaknya dalam kesusahan mereka merangkul dan menenangkan, aku bangga menjadi anaknya. Pengorbanan seorang ibu tak akan pernah luntur sepanjang masa .
"Sekarang aku akan menggugat cerai dengannya Pak, tapi mas Rangga gak mau mengeluarkan biaya nya" jelasku.
"Bapak sudah tau tentang keluarga Rangga, jauh, jauh sebelum kamu mengenalnya. Tapi sudahlah jangan kamu sesali, ini semua harus jadi pelajaran kedepannya." Nasehat Bapak tapi maksudnya apa, ada apa dengan Bapak kenapa tak menjelaskannya padaku.
Ya. Semenjak aku menikah bapak dan ibu tak pernah berkunjung ke rumah mas Rangga, itu yang menjadi pertanyaan ku, sampai saat ini.
"Sebenarnya ini ada apa Pak, Bu." Ku beranikan diri untuk bertanya jangan sampai rasa penasaranku selalu menghantui.
Beberapa kali bapak menarik nafas dalam-dalam sedangkan ibu hanya diam dan menunduk, sebenarnya ada apa? Pertanyaan itu yang selalu aku pertanyakan.
"Tolong jawab pertanyaan aku Bu, pak," ucapku dengan mengguncangkan lengannya.
Bapak dan ibu saling tatap ada keraguan di wajah Bapak, sedetik kemudian ibu mengaguk.
"Nduk, setelah kamu mendengar jawaban dari kami, kamu jangan marah sama kami."
"Iya."
"Dari dulu Bapak dan mertuamu pak Darsono musuhan." Terangnya membuat aku kaget dan membolakan mataku.
"Kenapa bisa musuhan?"
"Karena Bapak cemburu, kesal, karena Pak Darsono adalah mantan ibumu Nduk."
Mendengar jawaban dari bapak rasanya ingin berteriak ternyata ibuku menjadi rebutan dua orang bersahabat menjadi musuh karena wanita.
Pantas saja Bapak melarang aku pacaran sama Mas Rangga ternyata dulunya ada kisah kasih yang kelam.
"Oh, dulunya ibu itu primadona di kampung ini. Aku bangga punya ibu," ledekku dengan senyum menggoda.
"Diam kamu!" Ucap ibu dengan mata melotot. Ngeri juga liat ibu seperti ini.
"Sudah jangan bahas lagi bikin kepala Bapak pusing saja!"
"Iya Pak." Akupun nurut kata Bapak diam.
"Nduk, kalau kamu gak punya duit buat gugat si Rangga, Bapak akan jual si parida saja, mudah mudahan duitnya cukup." Ucap bapak.
Aku menatap gak percaya, segitunya Bapak sangking tak mau berurusan dengan mereka sehingga merelakan si Farida untuk dijual.
Masyaalloh, begitu sayangnya padaku.
"Pak, kalau si Farida di jual, bagaimana nasib si Fadil, kasian dia harus kehilangan istrinya." Sahutku bagaimana pun aku gak mau menyusahkan mereka lagi.
"Bapak ikhlas melepas si Farida. Soal si Fadil Bapak bisa Carikan istri buat dia."
"Pak, kalau si Farida di jual lalu yang menyusui dedek siapa?" Tanya ibu.
"Si dedek udah gede, udah bisa makan sendiri. Ibu mau nasib anak kita di gantung?" Bapak balik bertanya.
Ibu menggeleng cepat, "Gak mau Pak, ibu ingin anak ibu cere sama Rangga dan akan ibu jodohkan dengan anaknya pak Koswara," cetus ibu.
'kenapa jadi seribet begini?' batinku berontak tak terima urusan yang ini belum juga kelar, udah mau main jodoh jodohin.
"Ih. Ibu! Aku mau di jodohin aku masih trauma dengan kasus pernikahan. Kita kan bahas Farida, kenapa larinya keperjodohan?" Ketusku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments