Kampus Fiksi

Kampus Fiksi

Prolog

Perpisahan itu pun mampir secara memaksa. Aku turun dari ‘connector’ berwujud bus kampus menuju Universitas Melbourne. Turunan langkah pertamaku terbalas oleh tatapan langit yang resah. Jauh dari negeri khatulistiwa.

Betapa nasi goreng dan ‘gado-gado’ begitu kukenang selama dua tahun menjadi peraup beasiswa di negeri kangguru. Mataku bolak-balik melihat jam di ponsel milenialku. Entah apa rencana gila yang Tuhan tuliskan untukku.

Waktu sepagi ini langit masih bersih dan tiupan kicauan angin dengan ceria menggelitik pori-pori kulitku. Menyiapkan pidato kelulusan dan pulang ke negeri tambora adalah urusan terparah saat ini. Beberapa menit lagi, seorang yang luar biasa akan aku temui.

Ia adalah lelaki yang menyiratkan impian kami di cakrawala Melbourne. Baru saja insting kejantanannya mengiring ke tempatku. Menandai firasatku bahwa ia akan tiba, membuat dadaku berkecamuk, penuh, dan menyala-nyala.

Aku akan menemuinya di sebuah kafe untuk memberikan kertas lusuh dan gambar kota Melbourne yang dulu kujanjikan. Saat di mana sepeda tua mengemas perpisahan sederhana nan kumuh itu, kami berpeluk haru.

Menyisakan aku dan impianku menyaksikan kampus miskin kami dulu tumbuh besar dan sehat. Ya, di negeri Tambora. Dan setelahnya, petualangan cita-cita bertabur asmara itu terselip mesra dalam kisah kami yang telah kutulis. Sementara Mus, telah duduk bisu di kursi santainya di ruang kafe. 

“Aku harus berperan dalam cerita

ini bersamamu dan Hajar, Mus. Menuliskannya menjadi kampus fiksi. Hajar resmi melayang dari harapanku. Kau dan dia sempat menjadi pilihan yang berat. Kau tak akan keberatan jika kutuliskan semuanya sebagai kelanjutan dari keabadian ini. Kau jangan mencaci maki cita rasa keburukan yang aku kelola hingga akhir. Mungkin. Jika aku putar balik waktu, maka saat itu aku memulai dari acara perkenalan kita di hari bersejarah itu. Kau harus bersabar untuk ketidakwajaran yang kutawarkan.”

“Benarkan?” tanya Mus datar.

“Apa?”

“Sebaiknya semuanya dipersulit sejak awal,” sarannya lebih datar lagi. “Itu bisa membuat Hajar perkasa di negerimu meski selama-lamanya tak bisa lagi kaulihat warna suara asam manisnya.”

Aku sedikit terkejut, “Tidak, kita harus jadi penulis yang penyayang untuk kisah ini. Bukankah sebuah cerita perjuangan terkesan memiliki romansa kecil juga yang terselip rapi?"

“Hem …” Mus berekspresi seperti apa aku tak paham bentuknya. Seorang yang dulunya anak Pantai Kencana miskin berdarah ‘sasak’ itu sepertinya memang penuh piramida analisa. 

“Aku hanya ingin impian dan cintaku bisa tersimpan pada Hajar dalam filosofi pendidikan ini."

“Kau gila?”

“Itu harapan besar diriku dalam pengulangan kisah ini."

“Lalu?”

“Entahlah, aku juga tak tega jika harus meninggalkanmu, Mus."

“Tidak.”

“Aku bisa bertemu denganmu dan meraih dinding Melbourne karena lebih memilih persahabatan kita!”

“Kau tidak ingin kembali mengail kisah baru di kampus itu?”

“Aku ingin. Sangat. Tetapi ..."

“Sudahlah. Aku mengerti apa yang sulit kau ucapkan, Big Bos."

Mus entah kenapa menyimpan substansi kepedulian yang samar. “Jangan terburu-buru. Ada cinta yang harus mengorbankan impianmu di sini. Kembalilah pada Hajar setelah semua orang menyayangimu dalam persahabatan aneh itu.”

Yah, itu edisi pertama dari gabungan pikiranku dan Mus. Aku mulai bisa merangkai plot dan menuliskan cerita kampus fiksi, dari penderitaan hidupku sebelumnya di kampus itu. Hajar telah menjadi gadis pemimpi terbaik bersama kisah ini. Aku akan memulai kesederhanaan itu. Kau mungkin tidak akan percaya kalau pendidikan begitu perlu berkasih sayang. Mengalirkan mislah cinta dan plot perjuanganku, sebagai anak Pantai Kencana Miskin dalam filosofi pendidikan.

Aku ingin membuka lagi lembaran-lembaran cerita saat semua manusia belum menjadi dirinya sendiri. Saat saripati semesta meliput bangkai paling wangi yang pernah menusuk udara pernafasan siang itu, siang panas di antara terik-terik di belahan sesi pembukaan penerimaan lilin-lilin kecil di kampus fiksi.

Mereka aku benci begitu dalam jauh hari. Sebelum akhirnya nadiku memutuskan untuk mencintai mereka lebih lebar, dari segala bentuk ilmu pengetahuan yang familiar di kampus-kampus nusantara bergengsi. Begitu gelap nan pekat nebula di atas suasana siang itu, mengalahkan kelelahan pelari maraton dunia sekalipun. 

Saat tangga ketegangan kunaiki bersama gelora rasa penasaran, bagaimana mungkin tempat pendidikan itu begitu terbuka dan diterima masyarakat dengan begitu indah. Dan pemikiran mampir di batok kepalaku hari demi hari, ketika rasa cinta itu membuka mataku yang buta total sebelumnya.

Ketika laskar pelangi menepuk pundak kesadaran orang-orang akan hantu buruk rupa tak kasat mata, tentang dunia pendidikan bersama cita-cita ketulusan mereka ... aku jadi teringat. Sesuatu yang bereinkarnasi dalam alunan kehidupan. Pendidikan sebuah kampus. Kau mungkin tidak akan percaya bahwa apapun bisa tumbuh dan berkembang bebas di sini layaknya kehidupan di luar bumi. 

Aku akan menggiring kalian menuju palung perjuangan cita-cita yang tragis, namun sangat menyenangkan di kalbu. Selama kau punya jiwa rendah, kau bisa bersamaku menyelami romansa tiga dimensi dan molekul-molekul asmara terlarang yang membuat Tuhan murka, hingga menilik serpihan bekas pecahan ketertarikan antara seorang manusia terbodoh, dengan seorang pengajar muda cantik nan berkelas puluhan karat.

Meski itu menjadi unsur penyulut sistem keresahan semata. Yang membuatku silau tanpa melewatkan satu detik pun, ketika langkah kaki sayunya berikrar pasti memasuki ruang perkuliahan di semester itu. Nanti kau bisa nilai sendiri apa prosa hidup yang aku tawarkan padamu. Kuharap kau mengerti dengan gaya metaforaku. Kau harus berhati-hati agar jantungmu awet muda.   

***

Siang itu adalah masa orientasi mahasiswa baru paling membuatku iba. Tak ada kemegahan citra pengundangan tawa bahkan permainannya hanyalah satu tali rafia, yang menyiratkan pelajaran luar biasa dalam menyudahi masalah yang menimpuk kita keras sekali.

Entah pemikiran apa yang ada di dalam kedua kepala itu. Aku coba tetap memahat senyum biasa. Mengganggap mereka juga sama-sama termasuk manusia terpuruk ekonomi sepertiku. Siapapun yang berkuliah di sini, pasti sebagian besar orang-orang pemimpi yang dikecilkan oleh dunia. 

Dan bagi kalian mungkin menetas dari Universitas sekaliber UI, ITB, UNJ, atau di mancanegara sekalipun merupakan prestasi terbesar yang bisa terhias rapi dalam jubah masa depan kalian. Tak pernahkah kalian melirik sedikit ke sisi dunia Pendidikan berstatus perguruan tinggi, yang beraroma lengking kasuari?

Ia menjerit setiap hari meminta kesadaran kalian, agar rongga kepedulian itu tumbuh membahana dan kalian menjadi tahu, bahwa bukan masalah di mana kalian menelan pendidikan, melainkan apa serum perjuangan yang kalian kailkan selama menyongsong fiksi masa depan. Pak Iwan Jazadi, yang jika kutakan adalah manusia paling membuktikan kebenaran pernyataanku sebelumnya. Kalian tahu lulusan kampus kecil dengan sepertiga sisi atas bangunannya hanyalah kerangka tiang-tiang belum matang, bisa menggaet diri ke Melbourne, Australia.

Dan keberhasilannya itu pun masih diiringi tiang-tiang kerangka bangunan pendidikan itu.  Namun, cerita nyata ini tak hanya menawarkan beliau tapi bagaimana cinta terlarang, impian abal-abal, kemerdekaan tanpa kasih sayang, seratus impian tertulis pada selembar lusuhan kertas, dan persahabatan aneh beratribut aroma revolusinoner. 

Di akhir cerita, kalian akan percaya bahwa dunia kecil dengan kapasitas impian terbesar itu ada di sini. Ini lah yang akhirnya kusebut rumah hijau, kampus fiksi dalam cerita kita ini.

Kampus hijauku yang memberikanku cerita kesedihan yang berharga, kesusahan layaknya pengemis jalanan hanya untuk mendapat nilai moral, dan senyuman paling berwarna di antara ikan-ikan di langit aksara hingga kisah ini sampai padamu. Dan kau pasti menyesal karena mengetahui bahwa di sini, di rumah hijauku ini, persahabatan dengan seorang dosen bukanlah hal mustahil. 

Hubungan itu terjalin wangi layaknya orangtua dengan anak-anak mereka, yang setiap hari meminta jatah kasih sayang. Semua hasil luar biasa yang berbuah, bersumber dari kekuatan kasih sayang antara kami dan orangtua kami yang bergelar dosen. Dan aku namakan kampusku itu sebagai Kampus Fiksi. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!