Aku menerima tanggapan menegangkan dari Sir Batak di kemudian waktu, untuk sebuah kehadiran ketua redaksi NTB di bidang jurnalistik dan pencarian berita. Beliau terbuka untuk menghidupkan daya literasi di rumah hijau kami. Mrs yang mendengar tentang pengadaan seminar pertama itu, melonjakkan kesenangannya padaku dalam pesan E-mail pribadi. Entahlah, beliau hanya mendorongku agar bergerak lebih jauh dan cepat.
Dan ilmu berharga dalam seminar pertama kami itu akan kelola sebagai sumber reaksi tulisanku untuk Mus. Meskipun tema pada pagi itu nanti, akan berbeda dari penulisan prosa. Namun kesadaranku muncul gemilang. Bahwa apapun bentuk penulisan itu, semua haruslah sederhana dan jujur dalam metafora.
Sebelum perpisahan terakhir mengakhiri cerita ini, aku akan membawamu pada skenario picisan yang sekiranya akan jadi menggantung. Maksudku, aku akan menceritakan Melbourne pada sambungan kehidupan dari kisah ini di bagian ke-dua. Namun tentu saja, kronologi aku berhasil ke sana sudah kutampilkan dari beberapa keberhasilan Bang Alen, Bang Monday, serta dosen-dosen muda lainnya seperti Mrs Pink.
Ya, di tahun 2019, kampus kami semakin memperat hubungan dengan Australia. Dosen-dosen lulusan Australia menghiasi kesederhanaan yang sudah megah di rumah hijau. Dan semua lulusan yang dulunya alumni rumah hijau yang sempat menjadi asisten dosen itu, adalah putera-puteri Sumbawa asli. Mereka pun pernah merasakan curamnya hidup sepertiku dalam dimensi gelap masa kecil. Dan mungkin kau tetap tidak akan percaya bahwa rumah hijauku sudah berkembangbiak dengan menawan.
Pak Iwan memang menawan dalam urusan seperti ini. Dan sejak aku berdiri di rumah hijau hingga tahun awal tahun 2019, aku sudah menyaksikan banyak perubahan sejarah dan kehidupan kampus itu. Benar-benar ada. Sewaktu-waktu kau bisa mampir kemari dan menemuiku. Dan jika kau memimpikan ingin bisa berkuliah di mancanegara, kau bisa masuk jaringan di sini.
Namun tentu saja, kita senantiasa mencuatkan kecerdasan dan kepedulian di atas rata-rata sebagai syarat internal yang utama. Sebab seperti ucapan Bung Rocky di pertengah kisah ini. Bahwa bukan masalah di mana kau belajar melainkan usahamu ketika kau berada dalam perjuangan itu. Kau boleh belajar di tanah Eifel sekalipun, tapi ketika motivasi terpendam dengan kualitas ledakan supernova tak ada tertancap dalam hati, maka kau hanya akan merasa ilmu itu terbatas untuk dipelajari.
“Dan aku ingatkan padamu sahabatku. Gengsi tidak akan membawa apa-apa pada perubahan hidupmu. Kau setuju, kan?” Mus memberi pernyataan padaku di hari pertama kami bersama dulu.
“Sebagian besar orang-orang hebat dunia sukses bukan karena tempat mereka belajar, melainkan sebab kepedulian besar mereka dengan niat murni untuk memberi sebanyak-banyaknya pada orang lain. Mereka tidak pernah berpikir untuk mengambil kesempatan untuk jalan hidup sendiri dalam zona nyaman. Mereka lebih suka membuat orang lain sukses untuk membuat mereka berkali-kali lebih sukses. Mereka orang-orang yang sukar untuk dimengerti daya juangnya. Tak terlihat. Lembab dalam lumut-lumut kering dan tua. Dan mereka hanya muncul sesekali ke permukaan untuk kemudian menebar kilat motivasi hidup. Sayangnya, kebanyakan di antara mereka dikucilkan dan diremehkan di masa lalu," sambungnya.
^^^
IKATAN, sebuah perekat yang menjepit hati setiap manusia untuk saling berkoneksi. Ia seumpama kolaborasi rasa paling abstrak di antara sekian benda abstraksi. Dari sudut pandangku, itu adalah pentakel-pentakel kehidupan yang bercahaya, ber-aurora, dan bersinar bahagia.
Sejak dulu, aku tidak paham apa itu pendidikan. Memikirkannya saja aku merasa ingin muntah. Satu kata non-konvesional yang menurutku mampu mengekang. ‘aku suka kebebasan’. Aku percaya bahwa mereka yang cerdas adalah mereka yang lebih mampu membaca dan menafsirkan kehidupan lebih dari rata-rata manusia lainnya. Tingkat kecerdasan itu pun diukur dari seberapa sadar dan peduli seseorang dengan dunia.
Seorang pakar filosofi termasuk di antara orang-orang cerdas itu. Aku melihat keberanian semacam itu pada mereka semua yang berani melakukan kebodohan nun berkualitas hanya untuk menantang kapasitas dunia. Mereka tidak peduli kalau saja dunia menertawakan ketololan sederhana yang kerap kali dilampirkan oleh imajinasi mereka.
Bagi manusia di atas rata-rata seperti mereka, yang terpenting hanyalah ‘untuk menjadi berarti buat dunia’. Mementingkan dunia yang menghina mereka adalah kunci para manusia-manusia aneh itu justru mampu menaklukan dunia itu sendiri. Ketika berhasil mencapai puncak tertinggi yang bermodalkan rasa penasaran dan gamang akan resiko kesalahan, mereka akhirnya berhasil dan diakui. Pengakuan itu lah yang akhirnya membuat kegilaan hebat mereka dicintai oleh dunia yang pernah memberi serum kebencian pada mereka.
Sekali lagi, aku resah dengan kosakata kebencian. Waktu aku masih remaja usia 19 tahun, aku berdiri menantang awan. Pagi itu, aku gelisah spektakuler lantaran aku tengah dilanda pilihan hidup untuk mensketsa masa depan. Pilihan hidup yang benar-benar awam untuk usiaku. Bagaimana tidak? Pilihan itu harus memintaku melukai salah satu sayap hidupku. Ibu dan ayahku.
Hari itu adalah hari pertama aku memutusakan akan kuliah di mana. Saat itulah brosur sederhana dari tangan Pak Iwan menarikku ke dalam pendidikan yang sebenarnya. Jauh dari kebencian dan teramat dekat dengan kasih sayang.
Aku berpaling dari awan hitam nasibku. Saat itu, adalah tahun ketidakadilan bagi Bung Super yang baru saja pulang setelah menuntaskan ilmunya di Udayana.
Ketidakadilan pengundang tawa itu lahir ketika kesadaran individu beliau murung. Beliau hanya menyeringai ketika kembali mengambil alih Puket III setelah sebelumnya digantikan sukarela oleh Sir Batak. Namun, bentuk ketidakadilan manis itu, terjadi ketika beliau menderita kebahagiaan. Sebab mengetahui para dosen-dosen muda di tahun itu adalah mahasiswa-mahasiswa paracendekia beliau dulu. Dan beliau sempat berkata, “Generasi mendatang selalu bisa lebih baik secara peniruan jiwa juang dari generasi sebelumnya.”
Makna pengutaraan beliau itu adalah hanya beliau dan sahabatnya Bung Rocky yang belum sempat mencicipi asam pedas kehidupan Australia. Indahnya, mereka haru akan semua tali keberhasilan itu. Seorang dosen juga adalah guru. Guru mana yang tidak bangga ketika anak didik yang sekaligus sahabat-sahabatnya melenggang tinggi ke menara kesuksesan?
Ya, di tahun berkumpulnya kasih sayang kami. aku juga mendengar Bang Alen dan Mondo akan kembali.
Sementara Mrs Pink akan mengalami hal sebaliknya. Dan setelahnya tidak ada lagi yang berkapasitas seperti mereka. Reinkarnasi itu kuingin tetap berjalan. Aku ingin mengajak Picolo untuk bersama-sama meraih angin keberhasilan terbesar itu. Ya, ketika ia pernah berkata kalau ia ingin berada di atas Mondo abangnya, aku selalu berusaha di sampingnya untuk melaju bersama. Aku bahkan menuliskan permohonan restu ketiga setelah ayah dan ibu pada Hajar Aswad. Dan selalu mengomentari impianku itu dengan nada kebawelan.
Dia tetap tidak ingin cintanya diperjuangkan bila aku belum mampu memperjuangkan sahabat dan impianku. Yah, aku selalu mudah jatuh cinta dengan perempuan bijak dan memiliki tingkat kepedulian sosial di atas rata-rata.
Selanjutnya, perjuanganku menuju dinding Melbourne mulai memperlihatkan permulaannya. Gambar kota Melbourne yang sudah sangat renta itu akan segera kucabut, tepat di saat-saat wisuda pertama untuk angkatan II. Mereka adalah ‘Amak Toak, Roger, Raizo, dan kakak-kakak angkatan pertama lainnya. Angkatan I adalah Bang Alen, Bang Monday, dan kawan-kawan. Sayangnya, tidak ada wisuda untuk angkatan I dan hanya ada yudisium saja.
Hal itu mengingat atmosfer kekurangan kami di masa-masa sebelumnya. Ya, yudisium dan wisuda seumpama akad nikah dan resepsinya. Kau mungkin boleh meninggalkan resepsi penuh nostalgia kenangan itu, namun tidak untuk akadnya sebagai syarat sah.
Aku pun mendengar tiupan sangkakala kebahagiaan di suatu malam ketika Pak Iwan memberitahukan, “Sebab ini wisuda pertama dan masyarakat Sumbawa memahami perkembangan kampus STKIP Paracendekia NW Sumbawa, maka akan dijadikan satu antara angkatan II dan III. Tentu bagi yang sudah memiliki syarat kelulusan mutlak.” Dan aku sudah memenuhi syarat itu.
Sebelum persiapan besar-besaran untuk perayaan wisuda kami setelah di yudisium, kami merasa perlu mengadakan seminar pertama kami di rumah hijau. Seperti informasi rencanaku sebelumnya. Fajar Rahmad, menghidupkan paracendekia dalam pelatihan jurnalistik bermakna kepedulian mahasiswa.
Argumentasi terlihat hidup dari para ‘agen of control’ dalam menyambut kalimat metafora seorang pejuang tulisan. Di bulan Juli 2019, STKIP Paracendekia NW Sumbawa terbuka pikirannya oleh tema yang diangkat pagi itu, Seorang jurnalis berjenggot pesisir mulus itu begitu lihai menghidupkan kepedulian mahasiswa. Adapun tema yang diangkat pada acara itu ialah, “Jurnalistik Sebagai Modal Utama Mahasiswa Dalam Mengembangkan Ide yang Kreatif, Inovatif, dan Terampil dalam Menulis.
Acara pagi itu dibuka oleh Ketua Puket II, yakni Sir Batak yang sekaligus menjadi idola kampus hijau seperti sebutannya. Beliau menyuarakan suara tunggal sebagai yang peduli dengan peran seorang jurnalistik sebagai tokoh perubahan juga. Maka melalui kesempatan itu beliau membuka redupan semangat mahasiswa untuk lebih peduli dengan hakikat menulis.
Beliau membuka, “Jika ada mahasiswa yang tidak suka menulis maka tak perlu jadi mahasiswa. Seorang dengan kecerdasan di atas rata-rata tidak menjamin akan dikenang masyarakat atau dunia jika tidak pernah menulis,” begitu buka beliau dan diakhiri tepuk tangan mahasiswa paracendekia.
Tepuk tangan itu menjadi pembuka ideologi untuk mengeluarkan asumsi mereka masing-masing. Dibuktikan oleh dua orang mahasiswa yang mengkritik manis terhadap kesalahpahaman dunia wartawan. Aura seorang Jurnalistik kebanggaan Sumbawa, Fajar Ahmad, yang menjadi narasumber pada acara pagi itu, mengundang nadi dosen kampus tersebut juga untuk bersuara. Adapun yang terpancing pikirannya adalah dosen tertampan sesuai suara mahasiswa.
Beliau adalah dosen yang menjadi “Go Internasional dalam skill Debating”, Sir Handsome alias Pak Furqon. Setelah sekian waktu barulah kudapati ‘nickname’ untuk beliau. Kebanggaan tentunya bagi kampus hijau Sumbawa.
Fajar Ahmad membuka rasa malu mahasiswa dengan membeberkan tulus makna sebuah informasi dan berita. Pengalaman-pengalaman kecil beliau hingga bisa berkeliling dunia pun dikisahkan merdu.
Kisah-kisah beliau sekali lagi dihadiahi antusiasme dan penghargaan dari mahasiswa dalam wujud tepuk tangan yang meriah. Situasi penuh ******** sebelumnya pun lenyap oleh kepedulian besar yang beliau ajarkan.
Sesuai arahan beliau, reinkarnasi kepedulian itu harus mengalir pada mahasiswa. Beliau bersuara pada kesempatan yang lunak, “Menulis berita itu haruslah dengan kalimat sederhana dan tidak perlu muluk-muluk. Artinya, satu tarikan nafas dan utuh sebagai sebuah kalimat,” papar beliau sebagai hal mendasar yang berperan vital dalam sebuah tulisan berita. Beliau menyampaikan bahwa menulis berita itu lebih mudah daripada menulis cerpen atau novel. Menulis berita tidak perlu berlarut-larut seperti kalimat-kalimat prosa.
Terakhir, beliau memberi pesan. “Hoax adalah dosa terbesar yang dibuat oleh wartawan.” Maka beliau menghidupkan kepedulian mahasiswa rumah hijau, STKIP Paracendekia NW Sumbawa, sekaligus merapikan niat mereka. Dari acara itu, beliau sempat menyuarakan harapan agar mahasiswa bisa aktif memainkan hakekat perannya dalam tulisan.
Dan acara itu pun ditutup oleh doa dan sesi foto bersama. Hal itu dilakukan setelah semua peserta seminar disuguhi foto-foto perjuangan beliau menjadi wartwan hingga berhasil keliling mancanegara.
Sehari setelahnya, pesan masuk via E-mail dari Amak Toak. Isinya adalah permintaan agar aku menjadi wakil pembicara menggantikan beliau di acara wisuda itu. Beliau meminang kerelaanku dengan nada seolah aku adalah yang tertua dengan menyeru ‘nicknameku’, dalam bulatan formal. Dan pesan permohonan itu meminjam jenis tulisan ‘Arial Narrow’.
Dariku untuk ketua kelompok 6 Kelana, Big Bos. Salam perjuangan untuk kita semua! Meminta hati besarmu untuk menjadi pembicara dari pihak mahasiswa di acara wisuda dua minggu ke-depan. Di bawah ini kulampirkan puisi bersama dari gadis yang kaucintai. Ia ingin kau membacanya dengan nada seribu pedang setelah berpidato singkat.
Salam hangat dan pelukku, Amak Toak.
Puisi Perpisahan Wisuda, STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Untuk Negeri Tambora, tempat pelangi mimpi-mimpi kami berkibar
Untuk Kampus Hijau kami
sebagai sebuah renungan untuk semua pemberian hatimu.
Sebingkai cahaya untuk raja-raja kecil di negeriku yang kini tengah berjuang merasakan nikmatnya pendidikan.
Untuk Dosen-Dosen kami tercinta
Terakhir dan paling utama, untuk kalian, kakak-kakak kami seperjuangan …
_________
Sebuah nama sebuah perpisahan
Untuk satu ikatan di balik aroma nafas Pendidikan
Kami…
Raja-raja kecil sebagai penyinar masa depan
Kami…
Sekumpulan daun-daun kecil pembawa harapan
Dan semangat kami adalah angin dalam filosofinya sebagai pemberi oksigen ilmu pengetahuan
Lepas … hanya bermodal impian …
mengirim hati kami mencicipi kesederhanaan akan keterbatasan di sini,
di Rumah Hijau kami … STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Di antara manusia-manusia penuh cinta dan karisma …
Kaya akan cita rasa kasih sayang … untuk sekedar menulis kisah dan kebersamaan
serupa lilin-lilin kecil, yang nanti …, cahayanya akan menerangi gelapnya nebula … yang melingkupi rumah hijau nan kecil kami ini
membawanya menuju titik paling benderang dalam abstraknya masa depan
Dan kini …
Sekian lama terlena hampir empat tahun lebih dalam atmosfer kepahitan
Segenggam kebersamaan pelantun masa muda, yang kian menghimpit kalian, kakak-kakak kami seperjuangan
Kalian adalah…
Agen sosial penggerak dunia abal-abal
Tapi lihatlah tanda tanya itu, “ Mengapa negeri pertiwi tak melihat perpisahan sederhana ini?”
Di mana janji-janji pemuda-pemudi tangguh terdahulu?
Apa ini hanyalah waktu para raja-raja kecil negeri ini harus melepas diri saja?
Bukan sekedar perpisahan … tapi jua untuk membangun keridhoan Tuhan
Siapa lagi mereka?
Ialah para tamu kehormatan di tanah ini jua
Tanah Sumbawa sebagai daging merekah, yang membungkus kami dalam kekeluargaan
Lalu raja-raja kecil itu,berbunga menjadi daun-daun yang terus bereinkarnasi …
Menjadi permadani … sekaligus menyisihkan aturan-aturan dunia, yang bahkan tak menjamin rasa kasih sayang!
Tapi kecanggihan cinta menumbuhkan ruh kami di sini
Dan membalut mereka-mereka yang akan segera kami tinggalkan
hingga sebutir cahaya di seberang, tempat kami, kasih dan sayangnya mereka
Untuk menerbangkan almamater merah paracendekia di pundak-pundak kokoh kampus fiksi
Dari kami, suratan perpisahan berwarna
Untuk kami, untuk kalian,
Untuk dunia,
Terimakasih…
Karya: Hajar Aswad
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments