DERET 13

Kau ingin mendengar seberapa mengerikannya tangisan jagat raya itu? Huf, sebuah akhir diriku di ufuk usia. Aku merana tiada henti-henti. Semakin menguras tenaga dan menjebakku di sisi semesta. Aneh? Wajar saja, ini kiasan yang aku sendiri tak paham maknanya. Bukan lantaran terpautnya hati, kita jadi salah tingkah akan gerak gerik manusia lain. Eksperimental apanya? Mana bisa kita memikirkan rekayasa Tuhan yang berkeliaran di mana-mana!

Akan aku ceritakan secara acak-acak tak karuan mengenai pengalamanku sebagai pengamat kehidupan. Ini sebelum berita kepergian beberapa paracendekia kampusku hadir sinis di telinga. Aku berharap kalian tidak stress dan kecewa di ujung jalan cerita ini. Kau boleh menganggap kisah yang akan kubawa ke langit Melbourne ini, hanya curhatanku mengenai keterbatasan di sisi lain dunia pendidikan semata. Yang jelas, ini caraku mengeksplor kepedulian terhadap diriku dan juga dunia.

Pagi itu, sebentar aku beralih bola mata ke lelaki penjual sayur. Bapak berwajah lembab dan sabar itu baru saja datang. Ya, hanya kampus kami yang ringan dan nyaman untuk dimasuki seorang tukang sayur mayor. Itu juga lantaran asrama paracendekia menjadi bagian wilayah kampus kami.

Suara ‘ngek’ panjang dari balon hitam yang dibuat dari ban menjadi pengundang para mahasiswi asrama, menampilkan jati diri mereka. Dari yang anggun secara syar’i hingga bercadar.

“Bagus, kan? Tim kampus kita dua-duanya masuk semifinal,” ucap seorang adik mahasiswi ketika aku mengalah sebagai lelaki dalam urusan perbelanjaan kebutuhan memasak.

“Sayangnya, mereka harus berhenti sampai di situ. Aku dengar mereka sedang melampiaskan kegagalan ke final dengan berlibur di sana beberapa hari.” Informasi itu merayap cepat ke telingaku layaknya virus ‘endemik’.

Namun aku lebih memilih mendengar langsung dari Hajar. Dan aku menumpahkan kepenatan dengan memilih-milih sayur. Walau aku sebetulnya sangat malas mengolah makanan. Sementara Zoro tengah berduet mesra di Bali dengan Hajar sebagai satu tim, aku meminta Snoopy dan Takiya untuk urusan mengatur makanan.

Biasanya selalu ada permintaan polos dariku pada Zoro sebagai juru masak handal. Sayangnya, ia tengah berjuang di padang penderitaan.

Dilema hilang tak payah kucari. Apa tidak ‘pungo’? Memang Sir Bima dan Pak Furqon memang mendampingi anak-anak debat itu di Bali. Namun setelah kutelusuri langsung dari Picolo, berita kekalahan itu benar.

Picolo menginformasikan melalui pesan di ponsel. Aku selewengan lalu seakan nada wajahku berubah drastis. Aku kehilangan tensi darah seketika. Dilansir dari manapun, sehebat apapun aku bercerita berita aktual padamu, aku hanya ‘stay cool’ memasang mimik ala Putri Indonesia seakan benar-benar bersamamu.

Aku berlari ke arah ruang ‘security’ di dekat gerbang depan kampus. Aku menemui Pak Rahmat dan menanyakan kekalahan itu sekali lagi. Aku masih tidak percaya. Aku lebih meleleh jika bergumam tentang tukang sayur itu pada Pak Rahmat. Tergila-gilanya aku dengan informasi itu bukan lantaran Hajar, melainkan memang kini aku tengah menjalani misi pencarian reinkarnasi. Apa yang tersirat dalam sel otakmu jika mendengar kata reinkarnasi? Mungkin hanyalah sebuah takhayul yang mengkaitkan realita dan ilusi semata.

Itu seperti sampah yang memang harus dibuang pada tempatnya. Kalau dipikir, sampah saja memiliki tempat, mengapa para koruptor itu malah senang mengambil jatah mahluk Tuhan yang lainnya? Benar-benar ‘pungo’. Jagat raya pasti menangis. Ini tragedi. Dan reinkarnasi yang kumaksud tadi tak lain adalah misi peralihan tulisan pada kekesalanku atas adik-adik paracendekia. Pak Amin, seorang bergelar S.Ag yang sehari-hari juga menolong Pak Iwan membersihkan lingkungan dan peralatan kampus, memberitahuku tentang kepergian beberapa dari mereka. Beliau duduk bersama Pak Rahmat pagi itu di ruang sekuriti.

Kekesalanku pada beberapa adik-adik paracendekia menambah denyut kekecewaanku. Padahal di tahun itu, kampus kami sudah diberikan tanggungjawab untuk Bidik Misi. Yang artinya, pengurus daerah Sumbawa setempat meminta pihak kami untuk mencari calon paracendekia setiap tahunnya mulai saat itu, untuk dibiayai penuh selama empat tahun.

Aku yang notabene secuil onggok daging di situ tak pernah mendapat kenikmatan sedemikian indah sejak awal. Aku bukannya iri pada adik-adikku itu. Aku justru bersyukur rumah hijau kami sudah dihargai. Dan penghargaan serta kepercayaan atas beasiswa Bidik Misi pada pihak kami, semakin melejitkan intensitas blusukan calon paracendekia yang biasa kami perbuat.

“Yang paling membuatku khawatir adalah, mereka tidak pernah lagi mau mengurusi hutang-hutang pajaknya buat negara. Selain itu, kita sering bertengkar sama Pak RT kampung sebelah gara-gara gak pernah mau kalah debat. Mereka akan menyerupai ‘apes’ versi manusia bila diajak debat. Debat apa saja ia akan kuladeni,” terang Pak Amin bersama filosofi uniknya.

Beliau selalu menjadi kawan bicaraku di separuh waktu

kehidupanku di rumah hijau.

Meski keseharian beliau adalah mengajar mata pelajaran PAI di MTS Majdiyah kampus kami, beliau tidak gengsi bekerja membantu Pak Iwan sebagai pekerja yang mengurusi pemotongan rumput hingga kebersihan kampus.

“Ia menganggap orang-orang berseragam itu sama saja dengan yang lain. Kebanyakan orang menyimpan respek pada orang-orang semacam itu sebagai yang lebih berilmu. Dan aku pun tak setuju fakta di balik itu semua. Yah, semua wanita selalu berubah oleh pengalaman hidup bila sudah bergelar ibu. Dan secara hakiki, semua ibu-ibu itu bisa jadi lebih mengerikan daripada tampang raja hutan ketika sudah menerkam mangsanya, “ lanjut Pak Amin.

“Namun, yang paling membuat gila adalah, aku tidak terlalu paham caranya mengelola uang dalam rumah tangga. Istriku pernah khawatir menjadi kaum hawa yang tidak layak jadi pasangan hidup untuk ukuran standarisasi seorang istri. Untungnya saja ia hanya ada dalam khayalan tingkat tingginya saja. Perbandingannya adalah, ia mendapat jatah rasa sakit sembilan bulan sepuluh hari, sedangkan aku hanya 5-10 menit kala di sunat. Tuhan memang Maha Adil.”

Aku sebetulnya hampir tak pernah paham filosofi pembicaraan beliau. Namun telingaku dibuat senang mendengar prosa kalimat beliau yang tidak biasa. Kalimat beliau jujur dan selalu membesarkan hati lawan bicaranya.

“Tukar kepala, bukan pikiran. Aneh. Jagat raya akan jadi mengenaskan bila pola pikir manusia sudah terkontaminasi dengan materi dan aturan yang terlalu diagung-agungkan. Dulu juga sempat ketika beberapa tahun ibuku menjanda, rasa frustasi merajalela dan berterbangan memenuhi ruang imajinasi kewanitaannya. Hidupnya seolah sudah tidak bisa berkecimpung lagi dengan impian dan harapan meski untuk sekedar bernostalgia. Masa lalu dan masa kini hanya satu saja terpancar dalam pandangan hidupnya,” balasku mencoba menyambung pikiran dengannya. Meski hatiku masih luka oleh berita kekalahan Hajar dan kawan-kawan.

Aku pun berterimakasih pada tukang sayur kesayangan bibi kantin itu. Ia memang benar-benar lelaki bergenre polos namun penuh warna cemara kehidupan. Biaya hidup yang berlebihan ditanggung bibi kantin serta kebutuhan perut sehari-hari putrinya, tidak menjadi sisi hitam.

“Apa akan ada dunia tanpa peperangan lagi, Pak?” tanya Pak Rahmat yang duduk di samping Pak Amin dan tiba-tiba merubah genre situasi. Pak Amin tak merespon. Dia sibuk mengganti pandangan ke arah bibi kantin yang tengah bercengkerama dengan sayur-mayur, yang akan siap terombang-ambing oleh skill memasaknya nanti.

Setidaknya seperti itu alam pikiran Pak Amin yang kubaca. Beliau lantas meminta aku dan Pak Rahmat menerima tawaran traktirannya untuk minum kopi di kantin. Dan diskusi aneh itu kembali berlanjut ketika bokong-bokong bersahaja kami menduduki kursi panjang berwarna cokelat terang.

“Kalau hati saling menyatu, bukan lantas manusia-manusia yang masih doyan angkat senjata itu akan bisa saling memahami satu sama lain!” umpat tukang sayur sebelumnya yang menerima panggilan bibi kantin untuk mampir. Paracendekia memiliki ‘nickname’ untuk bibi kantin yaitu ‘Timbok’. Bunyi huruf ‘k’ sama dengan bunyi huruf ‘k’ pada kosakata ‘Amak Toak’.

“Lalu, kenapa hati diciptakan, Pak?” tanyaku pada Pak Amin mencoba berlagak penasaran.

“Karena sebagai manusia yang paling penting bukan apa yang kita pikirkan, melainkan tentang hal-hal yang kita rasakan. Aturan memang penting sebagai rel kehidupan. Tapi kasih sayang bisa lebih dari itu. Kasih sayang membuat kita bisa melihat hal-hal imajiner di luar rel tersebut. Dan karena itu lah hati yang menyatu saja tak cukup membuat semua orang di dunia ini berhenti memikirkan kebencian hanya untuk sebuah keinginan akan peperangan,” jelas Pak Amin membuatku naik dahi oleh bahasanya yang begitu tinggi dan sulit untuk dimengerti.

“Big Bos itu pahamnya Hajar saja, Pak. Dia mana tahu soal hati. Apalagi peperangan. Bahasa sampean ketinggian. Big Bos itu fobia ketinggian!” canda Timbok sekaligus menyudahi perbincangan metafora itu. Dari pernyataan Timbok, kesalahpahaman paracendekia tentang hubunganku dan Hajar.

Sejak hari itu, aku jadi mulai berpikir dan terpengaruh untuk membaca realitas kehidupan ini aslinya. Dunia ini memang dipenuhi rantai-rantai disambiguisasi yang tak berujung. Penuh kebencian. Dari dulu sampai masa teknologi, langit-langit semesta mungkin hampir setiap hari menjerit. Dan kesimpulannya, manusia adalah lemah. Sama seperti kelemahanku yang dipengaruhi rasa sayang padaku Hajar.

Meski aku sudah berjanji akan membawanya ke Melbourne menemaniku, aku masih berpikir cara untuk memeluk sahabatku di negeri seberang dan merangkai semua isi cerita kampus fiksi untuknya. Aku bahkan belum menyuarakan tentang dirinya pada paracendekia sesuai permohonan imutnya dulu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!