DERET 2

Di kampus hijauku itu, calon mahasiswa maupun mahasiswi baru tidak diharuskan menyelesaikan tes sebagai syarat penerimaan. Aku bahkan terharu saat jauh hari sebelumnya, rektor kampus hijau, lulusan Australia, dengan bangga menerima anak pantai kencana miskin sepertiku. Emakku sampai bersujud lama dan hampir lupa bangkit. Sempat kupikir Emak sudah dipanggil Ilahi andai saja tak kucubit lengan keriputnya.

Aku masih ragu di awal-awal penerimaan itu. Bayangkan saja, kampus yang kutahu bercecer bumi khatulistiwa semuanya adalah karena kecerdasan dan dukungan materi. Kekuatan nurani dari filosofi pendidikan sebenarnya, mulai bisa kumaknai bahkan sejak dari semester pertama aku berkuliah.

Beliau, Pak Iwan, kusadari sebagai segelintir manusia berhati perkasa yang paham makna itu. Segala kekurangan dan keterbatasan hidup beliau dalam bukunya, “Anak Kusir Jadi Doktor” mungkin menjadi senjata yang memudahkan dalam memahami orang lain. 

Saat itu di bulan September di tahun  2015, aku belum menemukan papan nama kampus hijauku itu. Satu-satunya nama yang menjelaskan semua itu adalah sebuah brosur. Aku bahkan siswa paket C di salah satu Sekolah Menengah Atas di desa Utan. Tidak terakui. Namun Pak Iwan tidak memperdulikan itu. Setelah pertengah tahun barulah aku menyadari filosofi luar biasa yang beliau siratkan tanpa harus berucap. 

Sebelum itu, aku akan setengah pelan berkisah. Ketika di kemudian hari ada sepotong sayap berharga merayapi hidupku pelan-pelan. Seorang lelaki bersama kumis manisnya di sebuah asrama kosong yang rapi. Ia akan menjadi Plato kedua yang pernah terpahat di batang memoriku. Aku bahagia bahwa di hari-hari hingga usai, ia adalah power ranger berhati merah muda dengan intuisi kasih sayang di atas rata-rata. 

Namanya beliau adalah Alen. Bukan nama resmi dari Kartu Tanda Penduduk atau Akte Kelahirannya yang berharga. Nama aslinya baru kudapatkan terang-terangan ketika beliau menembus langit Melbourne, Australia. Waktu itu adalah perpisahan pertama yang mencekam nuraniku sebagai peserta didik. 

Aku mengenal Bang Alen di asrama pria sebagai pria sedingin kutub utara. Itu menjadi asumsi pertamaku tentangnya. Sebenarnya tidak, ia lebih hangat dan merunduk ke bawah lebih daripada musim semi di Norwegia. 

Sekelas diriku yang hanya mengerti kecerdasan emosional tidak akan menjangkau mulus inteligensinya. Ia seperti Lintang di Film Laskar Pelangi versi dewasa menurutku. Aku serius. Menurutmu, apakah hal biasa seorang anak sawah dan berkuliah di kampus hijauku yang baru setengah jadi, bisa mengalahkan efisiensi IQ lulusan Jakarta dalam perolehan skor TOFL? 

Kau mungkin mengira aku berlebihan. Namun jika kau mengira kekagumanku akan sosok Plato kedua itu hanyalah kibulan, maka kau yang berlebihan. Sebab dunia di kampus hijauku yang sederhana benar-benar mengajarkan makna pendidikan sebenarnya. Lebih daripada kampus elit manapun di ketika bumi ini. Aku serius. 

Saat itu aku seorang bermuka bahagia dan berwajah polos akan pengetahuan. Sangat buruk analisaku dalam hal linguistik. Ya, di kampus hijauku yang merupakan sekolah tinggi, hanya berisi dua program studi. Meski di sini minim jurusan untuk Sekolah Tinggi, jenisnya adalah pilihan paling mengerikan untuk semua kategori otak manusia. Rumah hijauku menawarkan Bahasa Inggris dan Matematika. 

Notabene diriku seorang pemimpi kelas cakrawala, aku lurus saja memilih Bahasa Inggris. Serupa jalan yang ditempuh Bang Alen. Waktu itu, saat aku masih memulai semester, aku duduk di bangku ayunan sederhana di sebuah Taman Kanak-Kanak. Taman Kanak-Kanak itu letaknya di depan asrama pertama yang kutumpangi. 

Aku jelaskan dulu bayangan denah abstrak tentang kampus hijauku sebelum cerita emosional dan penuh serpihan filosofi asmara kita dimulai. Aku mengatakan semua sebagai sebuah kesatuan kasih sayang dan kepedulian dalam pendidikan.

Asrama pria dan putri berhadapan. Di samping kiri asrama pria adalah rumah Pak Iwan dan isterinya Ibu Iga Widari yang kata beliau bermakna bidadari. Nanti aku sempatkan konteks perjuangan dua dosen sekaligus guru kehidupanku itu dalam membangun kampus hijauku.

Aku lanjutkan. Di samping kanan asrama putri adalah perpustakaan. Perpustakaan itu memang kecil dan tidak terlalu representatif dalam hal koleksi buku. Saat pertama kali memaku diri di asrama nomor 1 dan berkenalan dengan seorang ‘Bang Monday’ (nickname), hal pertama bertengger di semu pikiranku adalah perpustakaan kecil itu.

Aku masuk dan Bang Monday mengikutiku di hari pertama bersama. Ia adalah mahasiswa semester akhir saat itu. Di dalam perpustakaan, entah bidadari desa mana yang meliput dirinya begitu feminim sebagai penjaga. Aku yakin Bang Monday sudah tahu semua nama. Sayangnya aku awam untuk mengerti situasi fundamental seperti itu. Dan nona itu hanya memahat senyum. Itu memang etika perpustakaan. 

Aku bukan tipe mudah melayang. Terlebih aku belum menargetkan apapun sejak awal. Aku hanya mengikuti rasa penasaran. Awal. Yang kulakukan bahkan mencari buku tentang Melbourne. Dan ketemu. Nona bernama Eka yang ternyata mahasiswa jurusan Matematika itu tak perlu bahasa verbal dariku. Ia paham gerak-gerikku yang stres mencari hal yang belum waktunya bagiku. Aku tak peduli.

Bahkan jam kuliah pertama belum kudapatkan, deretan kalimat asing menggerogoti kornea mataku. Satupun kata tak dimengerti.

Namun sekali lagi, aku

tak memusingkan ketidakmengertian.

Bagiku, impianku agar Emak bahagia dan tidak terbebani pendidikanku, adalah cita-cita terbesar. Lebih besar daripada ‘blackhole’ berukuran miliaran kali matahari. 

Aku meminjam buku pertama kali selama kuliah dengan bacaan tak selevel diriku saat itu. Baik, sekali lagi aku tidak peduli. Terserah kau percaya atau tidak. Di hari pertama aku berkuliah di kampus sederhana itu, ada hal terbesit di celah pikiranku.

Hanya sepuluh orang mahasiswa seangkatanku waktu itu. Dan hanya aku dan lelaki kebal yang datang lebih terlambat daripada aku sewaktu masa orientasi,yang menjadi pejantan tangguh di situ. 

Namanya Mustaqim. Sebuah harapan menuju jalan lurus. Sayangnya tidak. Dia akan menjadi orang pertama yang menanamkan harga perpisahan untukku. Menciptakan atmosfer baru di luar kendaliku saat akhirnya aku menjadi lelaki satu-satunya hingga mendekati sedimentasi waktu yudisium. Aku selalu dimulai dengan hujan. 

“Aku tidak mengerti situasi konvensional seperti ini, Bee!” Mus mengarahkan gerutunya padaku. Ya, aku memanggilnya Mus. Aku sudah cukup dekat dengannya saat hari orientasi mahasiswa baru. ,Masalah filosofi tali rumput laut itu kau cari sendiri saja. 

“Ke mana kau bicara?” lototku mulus.

“Pada kau lah!” katanya berlagak ganas. “Kita harus merubah mindset orang-orang Sumbawa yang tidak tahu jalan terbaik untuk menghormati waktu.

“Aku tak sepakat dengan beceknya pikiran kau, Mus,” sambutku datar. “Aku tak suka hal-hal berat di luar kepala.”

Mus mengganti bola mata ke arah kanan.

“Kau ini, kita perlu bermimpi memajukan tanah Tambora ini agar tidak kalah dari orang-orang mata sipit itu. Kita bahkan dibuat K.O oleh tikus-tikus dalam negeri sendiri.”

Saat itu, pemikiran dan impian heroiknya menstimulasiku untuk berideologi terbuka. Artinya menerima pikiran orang lain untuk dipelajari. Menjadi hobi teraneh dalam diriku. Namun bereinkarnasi menuju gairah yang mendorong legit impianku.

Dari kesenangan mempelajari orang lain, aku jadi senang melukis cerita. Merasakan diriku seperti Tuhan yang mengendalikan semua hati manusia dan mengetahui plot hidup mereka. Yah, menjadi Tuhan fiksi sepuas-puasnya. Aku suka menulis. Timbul sederhana dari biji kalimat mematikan Mus tentang pola pikir dan perubahan.

“Bu Iga datang!” ucap wanita termanis di angkatanku ketika isteri Pak Iwan itu melangkah mantap sebagai pembawa perubahan kecil yang besar.

Kami serempak menjadi boneka India yang pesimis di kursi masing-masing. Aku penasaran dengan perbedaan bersekolah dan berkuliah. Aku memimpikan selalu bisa berkuliah. Dan Pak Iwan menjelma menjadi sepotong sayap lainnya selain Bang Alen yang memahami makna pendidikan. Warna maksudku adalah pendidikan yang layak. Sistem Pendidikan di Indonesia ternyata belum lah berada pada garis layak meski guru-guru besar tak sedikit jumlahnya.

Analisa ini timbul ketika Bang Alen berwujud seorang yang baru menempuh sebuah perjuangan warna-warni di negeri kangguru. Belum waktunya kuceritakan. Ia mengajarkanku sebuah filosofi pendidikan tidak akan menghasilkan manusia robot. Nanti aku lanjutkan hal ini. Kau bisa paham maksudku dan melihat sistem pendidikan kita saat ini. 

Ibu Iga mengekspresikan dirinya tidak sebagai dosen. Paduan bahasa verbal maupun non-verbalnya jelas terasa di kalbu sebagai orangtua. Ada kasih sayang yang mengalir tersirat di ruangan kelas. Mata kuliah khusus masalah pendidikan hingga perkembangan peserta didik adalah bidang beliau. Tentu sebagai pendukung seorang calon sarjana pendidikan seperti kami selain bahasa Inggris.

Dan beliau akan benar-benar menjadi ibu keduaku hingga habis masanya. Kasih sayang, itulah sumber pendidikan. Kau tak percaya? Aku pun ragu awalnya. Semua menjadi yakin ketika Mus menjawab pertanyaan Bu Iga dengan refleksi pikiran tak biasa layaknya Socrates.

“Pendidikan yang layak juga bermakna layak dalam hal menghargai intelegensi peserta didik. Angka tidak menjamin apapun. Seberapa besar kita sanggup mengajari orang lain ilmu pengetahuan, tidak akan cukup untuk membuat kita selalu lebih cerdas daripada mereka.

Selalu ada kebahagiaan dalam belajar sebagai sumber sekaligus target pengetahuan secara makna pendidikan. Bukankah begitu harapan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara?” terang Mus elegan. Bibir pikiranku komat-kamit memahami daya pikirnya.

Mus menghipnotis semuanya di hari pertama. Dari dirinya, aku belajar bahwa kepedulian adalah syarat terbesar kesuksesan. Bukan kecerdasan. Dia juga mengasumsikan padaku sebuah label kampus hijau kami. Label tidak mencerminkan siapa dirimu. 

Sejak saat itu hingga tiba perpisahan masa, Mus selalu bisa menjadi Socrates remaja yang menerangi mendung kelas kami yang jumlahnya kerdil. Kepekatan intelegensi diiringi oleh cahaya pemikirannya dari hari ke hari.

Aku selalu merasa ia jauh meski bersamaku hingga separuh perjuangan. Hingga hari perpisahan itu tiba, dia selalu memainkan tokoh intelegensi terbaik untukku pelajari sampai menutup permulaan impian. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!