DERET 5

Selayaknya roket NASA yang meluncur ke luar semesta, impianku terlalu tinggi untuk meraih kebebasan dan sahabatku di masa depan. Jika aku tidak bisa ke Melbourne, maka aku tidak akan bisa menyaksikan Socrates remaja itu lagi dalam peralihan takdirku.

Di waktu-waktu berharga aku cicipi, teman-teman dari UTS sudah akan meninggalkan kampus fiksi. Rektor UTS memberitahu kalau asrama megah mereka telah siap sedia.

Meski hanya setahun, aku menganggap mereka seperti keluarga catur yang berbahagia dan berderet rapi. Suasana pagi itu diliputi mendung kesedihan tanpa bola-bola air mata. Ya, mereka semua berhamburan di halaman kampus dan akhirnya membuat aura kampus hijau kami muram. Sepi.

Keesokan harinya sebuah cerita hadir lebih baru.

Saat masih di hari libur semester genap untuk setahun pertama. Aku diselimuti wajah-wajah filosofi unik dengan variasi kecerdasan yang langka. Saat-saat itu pula, cinta itu mekar dan bertebaran di langit Sumbawa. Ah, cinta!

Ya, cinta itu menjadi harapan keduaku setelah Melbourne. Cerita ini selanjutnya, tidak hanya tentang impianku dan perjalanan kampusku menuju muara kebesaran, melainkan cintaku di negeri seberang. Bukan cinta abal-abal sebagai anak remaja. Ini melebihi cintamu pada cerita saat aku mulai merangkai kisah. Bertahanlah.

Kau akan menemukan bahwa cinta itu tidak butuh pengorbanan, tapi pengorbanan dan perjuangan itu lah yang memerlukan cinta. Aku mendesak kalian untuk iba padaku dan terus membaca. Haha.

Namun sebelum ke sana, aku menginginkan kau hadir dalam benang merah cerita ini di suatu malam. Aku melambungkan pikiran ke rumahku di dekat Pantai Kencana. Emak dan ayah menepi di sisi khayalanku di hari sebelum libur semester genap tiba. Meski begitu, aku memang merindukan dua sayap hidupku itu.

Ikatan, sebuah perisai pengikat yang mencengkram erat makna dari sebuah hubungan. Benda abstrak yang terselip rapi dalam balutan cinta mahluk bernama manusia. Dan semua bisa nampak lebih mudah dan lebih indah beberapa jengkal melalui sudut pandang hati. Seonggok daging di bagian paling tak kasat mata.

Pagi itu, fajar di langit Sumbawa mulai lenyap. Ayah tengah sibuk menghubungkan seekor kuda dengan dokarnya menggunakan tali. Raut wajahnya nampak tak peduli dengan dunia yang larut dalam kegilaan materi. Tidak jauh dari posisinya, seorang wanita tua berlari tergopoh-gopoh seraya melukis senyum getir. Itu adalah ibuku.

Ayah nampak telah siap dengan pekerjaan kecilnya. Ia mengacung jemari besarnya padaku dan juga ibu. Kami pun menyeringai bersamaan.

Di balik awan, lapisan-lapisan atmosfer seolah-olah bercerita mengenai situasi pagi itu. Pagi yang sekiranya akan diperjuangkan oleh manusia yang menjalin hubungan keluarga ini. Seorang anak dari ayah yang adalah seorang kusir dokar. Dua mahluk dari sekian banyak keluarga miskin di pulau yang mungkin termasuk paling kecil rangking ekonominya di Indonesia.

Namun itu tidak membuat kami dikalahkan oleh dunia dengan mudah. Tentu saja, orang-orang seperti ayah dan ibu justru bisa berbicara lebih banyak tentang kekuatan akan keterbatasan. Lebih lihai berkumandang mengenai hinanya memanipulasi sejarah, penistaan antar sesama, perang dingin antar negara, maupun kebohongan-kebohongan dunia yang sejatinya ditutup-tutupi.

Mereka adalah manusia yang sebetulnya lebih paham nilai-nilai hati, kekuatan nurani, sehatnya logika pola pikir, dan bahkan abstraknya masa depan mungkin mudah terlukis di kening-kening polos mereka. Dan waktu beberapa jam setelahnya kami berada di kecamatan Alas setelah bermanja di dalam bus.

“Bee, kita berangkat! Ini adalah hari pertama dan terakhir kau di rumah sebelum aktif kuliah lagi. Nanti ayah akan membelikan novel kesukaanmu kalau ternyata nilai IPK awalmu membara,” ucap ayah bersemangat. Lantas aku terkikik kecil menyaksikan nyala api semangat ayah.

“Bukankah ayah tidak suka jika aku membaca tulisan-tulisan yang selain buku-buku kuliah?” aku muram kecil seraya tetap fokus melihat ayah mengontrol tali dokar. Aku memandang curam ke kiri dan ke kanan. Jalanan kota Alas menjadi yang pertama mampu menibruk keperkasaan hati mungilku sebagai seorang pejuang sehari.

Sekiranya hidup seperti itu jauh lebih merdeka daripada memiliki pangkat namun terhina lantaran menjadi manusia pemakan harta negeri sendiri. Ya. Meski tidak semua orang berpangkat tumbuh serupa hewan ‘Bolshevisme’.

Namun ruang lingkup kedamaian adalah saling menghargai. Dunia terisi cinta. Cinta mengisi kalbu manusia. Manusia melengkapi manusia yang lainnya. Itulah definisi kehidupan terindah nun menggugah jiwa-jiwa yang haus akan firasat untuk berkeinginan tanpa batas.

“Sekali-kali lah Bee, kaubilang pengen jadi penulis besar!” ayah seolah bercahaya merespon pertanyaan murungku sebelumnya.

Jiwaku lagi-lagi terasa mekar. Kalimat ayah seperti sumbu paling aktif guna mengobarkan dimensi cita-citaku. Aku melirik ayah sesekali. Tangannya bergetar. Ia menampakkan muka dalam kali ini.

“Bila sudah dewasa nanti, aku ingin ajak ibu dan ayah ke Mecquarie atau Melbourne. Aku ingin kuliah di sana. Aku ndak pengen jadi pejabat. Aku cuma ingin keliling dunia dan jadi orang besar yang berguna buat bangsa ini juga dunia, Pak!” ujarku setengah bergumam.

Ayah linglung. Mungkin ia berpikir kalau aku terlalu jauh menggambar rel imaginasi. Entah perasaan seperti apa yang timbul di benak seorang ayah bila mendengar puteranya berkata soal melawan dunia. Ayah nampak seolah mulai berkomat-kamit. Bibirnya bervibrasi kecil sebelum akhirnya bersua.

“Bee, kamu ndak akan dosa kok kalau punya mimpi segede itu. Tapi bagi bapak sendiri, apa mungkin bapakmu yang cuma kusir dokar bisa nyekolahin kamu setinggi itu? Australia lagi! Ke Jakarta aja bapak gak yakin mampu, apalagi ke Mosqouito!”

“Mecquarie pak, kalau yang itu artinya nyamuk!”

“Iya, itu maksud bapak.”

“Bee kan gak maksa toh? Bee cuman bermain dalam khayalan tingkat tinggi aja.”

“Kerjamu mengkhayal aja mana bisa ke Australia!”

“Loh, bukannya mengkhayal itu yang bikin kita itu diakui sebagai manusia? Kan ada tuh yang ngomong, 'Aku berpikir maka aku ada', gitu Pak.”

“Siapa yang ngomong gitu? Kami gak mikir aja tetap ada kok Bee. Yang ciptain badanmu itu bukan otakmu, tapi Tuhanmu.”

“Justru itu, Pak ... alasan Tuhan ngasih kita otak supaya kita bisa mikir tentang Dia!”

“Ya sudah, kalau pulang nanti, minta doa ibumu, kalau ayah yang doa nanti kurang berwarna di mata Allah.”

“Jadi bapak setuju kalau aku sana?”

“Kayak katamu dulu kan Bee, manusia itu harus berani bermimpi dan senang melakukan hal yang mustahil.”

Di persimpangan jalan. Ayah terpaksa berhenti ketika sebuah keributan kecil tengah terjadi. Kami turun dari dokar. Semua saling memperhatikan was-was. Lantas ayah turut campur karena takluk oleh kekhawatirannya yang lebih tinggi.

“Apa di negeri ini sudah tidak ada kasih sayang?”

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!