DERET 14

“Kenapa bisa?” tanyaku pada Hajar di suatu masa setelah kepulangannya.

“Kami tidak gagal. Kami hanya tidak bisa juara. Kakak tidak tahu kualitas lawan-lawan kami dari kampus-kampus elit di sana. Bersyukur kami bisa sampai sejauh itu. Itu adalah partisipasi pertama kampus kita, kan?”

“Bukan itu maksudku.”

“Lalu?”

“Kenapa kau tidak memberitahu kalau adik mahasiswa kita terpilih menjadi Duta Bahasa NTB tahun ini?”

“Oh, si Fajar?”

“Dia adikmu, kan?”

“Iya, hehe. Jadi kakak hanya ingin tahu melalui mulutku saja?”

“Iya, aku pikir dia pacarmu.”

“Tentu saja.”

“Maksudnya.”

“Tentu saja bukan!”

“Hem … baiklah. Jadi adikmu diam-diam mengikuti seleksi itu di Mataram?”

“Benar. Itu menjadi pelengkap sempurna prestasi-prestasi kampus kita, kan. Dia mengalahkan pesaing-pesaing dari kampus elit juga. Itu juga menjadi kesan kampus kita semakin layak diperhitungkan, Big Bos! Ini fakta dan bukti perkataan Pak Umar.”

“Bung Rocky maksudmu?”

“Hehe, iya. Tentang bukan masalah di mana tempat kau belajar, tapi apa yang kaulakukan di tempat kau belajar. Untuk apa juga kita harus menghabiskan dana agar bisa berkuliah di kampus besar jika di sini murah dan berkualitas meski sederhana.”

“Huh .. ya, tapi berkuliah di kampus elit tidak salah, kan?”

“Memang aku menghakimi begitu?”

“Mungkin.”

“Hehe, kakak tetap ingin ke Melbourne?”

“Tentu!”

“Kenapa tidak ke Paris saja? Big Bos bukankah terampil merangkai diksi?”

“Hem, tapi aku merasa tidak pantas ke sana.”

“Kenapa?”

“Karena aku bukan lelaki romantis. Paris dan Eifelnya adalah negeri yang romantis. Yang kupunya hanyalah hati yang setia, tulus padamu. Ini adalah cinta luar biasa dari orang biasa, Hajar.”

“Untuk apa menungguku?”

“Oh?”

“Kakak hanya perlu berjuang dan meraih tanganku jika sudah berhasil nanti. Aku tidak ingin diperjuangkan. Aku hanya ingin Big Bos berlari untuk cita-cita kakak sendiri lalu mengirim angin keberhasilan itu ke telingaku di kehidupan yang lain.”

“Hem …”

“Kakak sudah mulai merangkum cerita kampus fiksi itu?”

“Belum.”

“Mau aku bantu?”

“Memang kau bisa menulis? Menulis itu berbeda dari menjiplak tulisan di papan tulis. Kau harus benar-benar menuangkan tulisan yang ada di kepalamu berdasarkan imajinasi dan fakta.”

“Iya, aku tahu. Big Bos ceritakan saja padaku semua tulisan di kepala kakak.”

“Belum boleh.”

“Kenapa?”

“Belum saatnya.”

“Hem …ya sudah.”

“Kau bisa melihatnya dalam wujud lengkap jika aku bisa membawamu ke Melbourne nanti.”

“Big Bos, aku …”

“Aku pergi!”

“Ke mana?”

“Menemui Sir Kopi dan Mrs Pink!”

“Siapa mereka?”

“Pak Hakim dan Mrs Dita. Aku ingin meminta bantuan mereka mengenai curhatanku untuk mading kampus.”

Dan aku melambai bahagia padanya. Aku mencari dua keping manusia berjiwa seni itu di ruangannya dan meminta saran satu persatu untuk penerbitan tulisanku di Mading. Aku juga meminta rancangan nasehat pada Mrs Pink untuk mereview naskah kampus fiksi yang sudah hampir selesai kutulis.

Sir Kopi menjadi panggilan untuk seorang yang berparas bijak layaknya manuskrip kuno berjalan seperti Pak Hakim. Beliau adalah dosen mata kuliah umum untuk Agama Islam. Sedangkan Mrs Pink adalah hasil pemberian nama untuk seorang dosen muda nan cantik yang hampir selalu memakai hijab merah muda seperti Mrs Dita.

Beliau adalah dosen awet muda yang memang masih segar untuk dinikahi lelaki manapun. Aku sempat memiliki kasih sayang pada Mrs Pink layaknya lelaki pada wanita.

Perasaan tak wajar itu mekar di kalbu jantanku ketika masih duduk di semester tiga. Aku sering berkirim pesan dengan beliau dan melarangnya untuk berbahasa formal dan beliau iba saja padaku. Aku kemudian memutuskan untuk tidak menafsirkan ketertarikanku, melampaui batas seorang mahasiswa.

Pak Iwan sempat menceramahiku dulu ketika mengetahui ada kedekatan tak wajar antara dosen dan mahasiswa. Sedangkan Sir Batak selalu memberiku jempol silam yang kemungkinan bentuk dukungan beliau tentang asmara kupu-kupu itu. Ya, beliau memang terkadang lebih bergairah dengan asmara-asmara mistis yang terjadi di rumah hijau kami lebih dari dosen lainnya. Dan Mrs Pink di tahun setelahnya, menjadi yang kesekian kalinya berhasil menembus langit Australia. Diiringi juga oleh asisten-asisten dosen lainnya seperti Mrs Intan, Mr Syafrudin serta isteri beliau Mrs Elli.

Saat itu, tahun 2018 menyambut kepulangan Mrs Elli sebagai dosen killer yang manis di kampus kami. Kejadian ini terjadi ketika aku pertama kali merasakan kuliah sendiri di semester enam. Lima kawan hawaku meminta izin untuk sebuah organisasi di luar kampus.

“Kau jangan meniru orang-orang kebanyakan, Bee! Namamu boleh berarti ‘lebah’ tapi kau jangan seperti hewan. Lebah saja bisa menghargai ketika bekerjasama dengan lebah-lebah lainnya,” terang Mrs Elli di menit-menit kesendirianku yang mencekam di ruang Laboratorium bahasa.

Yah, saat itu kami sudah memiliki monitor untuk persentase mahasiswa-mahasiswi seperti seharusnya. Rumah hijau kami pun sudah lengkap sebagai sebuah bangunan pendidikan hingga lulus ke lantai tiga. Membuat spanduk besar dari hasil pola pikir Sir Batak, harus dinaikan lagi ke dinding luar sebelah kanan lantai tiga.

“Maksudnya apa, Mrs?”

“Orang-orang sekarang ini semuanya ‘ass war wab!”

“Oh?”

“Padahal di antara mereka ada yang mengaku mahasiswa dan tokoh-tokoh instansi. Tapi etika dan akhlak dalam berbahasa untuk urusan membuka salam … tidak muncul di benak mereka. Mereka gemar menyingkat salam dan menyamakannya dengan kata-kata sehari di pesan ponsel.”

Sejak saat itu aku jatuh cinta pada daya protes beliau yang jujur. Maksudku, hatiku merasuk pada keganasan ideologi beliau yang mencerminkan kepedulian tulus. Dan saat waktu tersisa separuh jam, kawan-kawanku muncul dan menyelamatkanku dari ruang kesendirian itu.

Sebetulnya tak hanya sekali aku harus berkuliah sendiri mengingat kawan-kawan seangkatanku adalah manusia-manusia sibuk dan berjiwa ke mana-mana. Aku juga pernah sendiri sebagai mahasiswa di mata kuliah Mrs Intan dan Sir Bima. Aku memang tak mungkin meninggalkan ruang introver itu. Sebab aku menjadi ketua tingkat yang harus selalu membawa berita acara sebagai daftar hadir paracendekia, untuk kemudian diserahkan pada Pak Khairul, Ustadz Adi Hidayat rumah hijau. Beliau juga adalah dosen mata kuliah umum Agama Islam seperti Sir Kopi.

Namun beliau di sisi lain bekerja sebagai pengurus semua yang berhubungan dengan kertas resmi di kantor kampus. Ya, meski sebetulnya berkuliah sendiri itu mungkin dilarang di kampus-kampus elit kalian. Tapi sudahlah, aku lanjutkan.

Setelah meninggalkan pembicaraan dengan Hajar dan menerima hasil review serta poin arahan dari Mrs Pink dan Sir Kopi, curhatan ilmiah itu tertempel setia di mading ‘Green Castel.' Aku sengaja memakai jenis tulisan ‘Agency FB” untuk menarik kerakusan tatapan paracendekia yang membacanya nanti. Meski mungkin itu adalah pengakuan dan karangan paling buruk di jagat Sumbawa.

“Aku Ingin Belajar Dari Angin”

Untuk Kampus Hijauku, sebagai sebuah renungan untuk semua pemberian hatimu …

Bingkai cahaya untuk raja-raja kecil di negeriku yang kini tengah berjuang merasakan nikmatnya Pendidikan …

Untuk dosen-dosenku tercinta di Green House …

Untuk ke-enam sahabatku, anggota 6 kelana …

Sebuah Quote dari Albert Einstein dan didedikasikan pada saat pemakaman Mahatma Gandhi. "Generation to come will scarce believe that such a one as this, ever in flesh and blood walked up on this Earth." (Generasi mendatang akan sulit mempercayai bahwa sesuatu yang menakjubkan ini pernah ada dalam darah dan daging, serta berjalan di atas muka bumi).

IKATAN, mencengkram erat makna dari sebuah hubungan. Benda abstrak yang terselip rapi dalam balutan cinta mahluk bernama manusia. Dan semua bisa nampak lebih mudah dan lebih indah beberapa jengkal melalui sudut pandang hati. Seonggok daging di bagian paling tak kasat mata.

Aku mengerti betul di antara kita, masih ada tembok dan jurang penyekat hubungan batin itu.

Ia jatuh terendap hingga kasih sayang perlahan-lahan lenyap di tempat ini. Beberapa waktu ini, aku mampu menyaksikan semua kejadian hasil filtrasi dari kebencian. Entah apa sebabnya aku tak akan pernah bisa paham. Tapi aku sadar, secerdas apapun kita, selama kita tidak bisa saling merangkul satu sama lain, maka dunia hanya menertawakan kebodohan kita setiap hari.

Benar. Aku menulis seperti ini sebab semangatku kian terkikis oleh tindak-tanduk mungil kalian yang meresahkan kebersamaan di sini. Adik-adik paracendekia. Selaksa laskar pelangi yang sempat booming beberapa tahun lalu, seharusnya menjadi acuan bahwa pendidikan kita juga demikian terbebani. Ketika orang-orang di luar sana lebih banyak meremehkan perguruan tinggi ini, Tuhan justru mengulurkan tangannya beberapa waktu ini, kan?

Apa di antara kalian masih tidak percaya dengan kekuatan impian? Setiap hari, nadiku dibombardir oleh ketiadaan rasa toleransi dari mulut-mulut awam kalian. Tapi, aku tidak pernah sudi untuk berhenti menyayangi. Aku terlalu banyak mencicipi sebuah kalimat yang bertuliskan, “Sahabat, selamat tinggal, aku pergi dulu untuk membawa rasa bangga sebagai manusia Bumi Pertiwi. Di kota itu, Melbourne, aku akan sangat jauh dari kalian dan kebersamaan akan kenikmatan proses mengejar impian itu akan terbayar lunas.”

Kalimat terakhir itu lahir dari mulut keriting seorang anak Pantai Kencana Miskin. Dia telah hadir jauh di rumah hijau ini jauh sebelum kebanggaan prestasi, satu persatu kita cicipi. Sahabatku yang meski hanya berusia dua minggu di sini kala itu, denyut intelektual dan nadi akhlaknya mengubah drastis pola imaginasi pemikiranku. Melalui curhatan ilmiah ini, aku ingin membayar lunas keinginannya agar aku menceritakan harapannya pada kalian semua. Dia mungkin tak sekaya Philipus Brown atau segenius tokoh Lintang dalam film Laskar Pelangi.

Dia penuh kekurangan sepertiku. Namun dia tak pernah sekalipun mengail jalan kemudahan. Dia selalu berjuang dengan kekuatan seadanya. Dan ruh kecerdasannya masih bersemayam di rumah hijau ini.

Aku merasa tersindir ketika kalian, junior-juniorku banyak yang memutuskan untuk meninggalkan rumah hijau ini. Bukankah keterbatasan justru membuat mata hati kita jauh lebih bisa mencuatkan kreatifitas untuk mengubah kehidupan? Tak perlu kalah dengan keadaan.

Orang-orang besar adalah mereka yang membuat keadaan bertekuk lutut, bukan membiarkan keadaan yang mengatur mereka.

Setelah hampir empat tahun kalian menghadirkan kisah di sini, apa kalian tak merasakan adanya rasa kekeluargaan? Aku adalah manusia yang sebetulnya memiliki prinsip bahwa pendidikan itu tidak penting. Tapi karena aku mengetahui pendidikan itu tidak penting lantaran aku menjalani pendidikan, malah membuatku sadar bahwa pendidikan memang penting.

Di luar sana, ada anak yang setiap hari berjalan kaki, mengayuh sepeda tua, atau menyeberangi jembatan tali hanya untuk merasakan nikmatnya pendidikan. Aku dan sebagian kalian bukankah tak jauh dari semua itu? Lantas, bagaimana mungkin kita bisa berprinsip untuk berhenti memotong jalur dan sketsa masa depan kita sendiri? Wahai paracendekia sepencari ilmu di sana, apa kau tetap setia pada keinginanmu untuk berhenti melayangkan cita-cita?

Sejak kecil, aku hobi menjadi pengamat kehidupan. Lantas alasan itu lah, aku bisa dengan mudah mengetahui radar perang dingin di tempat kita ini. Aku merindukan kebersamaan itu. Aku mendambakan keberanian dulu. Masa-masa di mana rumah hijau kita masih berkembang dan kita masih lah kupu-kupu manja di dalam kepompong kekeluargaan. Aku sangat ingin kita semua kembali berkobar di jalan bernama “Pendidikan Berfilosofi Kasih Sayang”.

KETIKA pertama kali aku berdiri di rumah hijau ini, aku begitu cepat merasakan kehangatan sebuah nilai kekeluargaan. Secuil pengorbanan kecil-kecilan untuk teman dan sepercik penghargaan terhadap hal-hal yang berbau kebersamaan. Namun secara perlahan, semua kenikmatan abstrak itu mulai meleleh, mengering, dan menguap ke atmosfer pertikaian.

AKU yang setiap hari berusaha menulis kata-kata yang mungkin aku sendiri tak pernah percaya kalau aku sedang menulis. Dosenku yang kadang-kadang bertanya, “Apa kau masih menulis?” Tentu aku tak tahu caranya menulis. Ya, aku hanya menuliskan ukiran kapasitasku sendiri. Ketika ada yang mengatakan, “Tulisan ini tujuannya apa?” Itu cukup membuatku murung dan terkadang nyaris membuatku menyerah.

KETIKA dosenku yang paling sederhana itu berkata, “Orang yang paling berpengaruh terhadap hidup kalian adalah diri kalian sendiri.” Maka dari itu aku percaya, mereka yang berpangkat dan bergelar lebih tinggi tidak akan sanggup membuatku terbang ke langit tertinggi sebuah keberhasilan. Hanya diri kita sendiri. Tentu saja dengan keberanian kita untuk bermimpi hingga Tuhan memeluk mimpi-mimpi itu, membuat segala kemustahilan itu bereinkarnasi menjadi kepastian.

Dan untuk para juniorku, apa kalian tidak berpikir betapa sedihnya Bang Alen dan Mondo kembali dari negeri kangguru, mendapati kalian telah gugur? Padahal sebelum keberangkatannya, ia telah banyak memberi kekuatan kata-kata pada kalian dari pertama kali sejak hati kalian berpangku di sini. Dan untuk kalian dosen-dosenku yang telah berhasil membuktikan kekuatan impian itu dengan berhasil menampilkan di langit seberang. Kalian membuktikan bahwa keterbatasan dan impian adalah kekuatan untuk membuat kemustahilan bermetamorfosa menjadi nyata.

KETIKA sebuah hubungan dosen dan mahasiswa tumbuh menyerupai ayah dan anak, aku haru sangat dalam. Ia adalah pria penuh semangat yang suaranya paling menggelegar ketika sedang main tenis meja. Ia sederhana namun memancarkan cahaya ketulusan. Mengajak jalan-jalan, membelikan makanan, dan berbicara seperti hubungan manusia pada dasarnya. Seperti itu lah seharusnya ilmu pengetahuan menjadi nyaman untuk dinikmati. Hubungan yang membuat segalanya menjadi lebih bersinar untuk dilihat dan dikenang. Ia dosen muda yang selalu mengajariku caranya untuk senantiasa tetap bergelora, membimbingku caranya untuk tidak menyerah, dan mendidikku caranya bermimpi. Terimakasih, padamu dosen yang setiap hari menyayangi dan memperhatikanku.

KETIKA seorang dosen wanita sudah seperti ibu sendiri, maka mahasiswa mana yang tidak betah? Ia adalah dosen sekaligus pendidik moral rumah hijau ini. Ia memberikan kesan bahwa, ini bukan hanya perguruan tinggi, tapi juga sebuah wadah untuk saling mengenal kehidupan.

KEMUDIAN, saat pertama pendidik baru berparas ceria itu mulai berstatus sebagai dosenku, ia memancarkan aura kecerdasan dan ketulusan sebagai seorang pendidik sejati. Jilbab merah mudanya yang membuatku jatuh hati, tak lain adalah semangat murni kewanitaannya. Semangatnya persis seberkas pelangi usai langit menumpahkan gelapnya hujan. Ia adalah satu-satunya wanita yang membuatku mampu merasa menyesal karena berpredikat mahasiswa.

Dan aku haru rela untuk tidak berharap apa-apa sesuai arahan Pak Iwan, Big Bos yang sebenarnya. Namun sekali lagi, terkutukkah seorang mahasiswa bila jatuh hati pada orang yang menafkahi ilmu padanya setiap hari? Untungnya, Hajar Aswad hadir seumpama ‘buroq’ yang dalam sekedip pertemuan, memberiku harapan nyata menuju tragedi asmara yang relevan.

TERAKHIR, untuk ke-6 sahabatku di asrama, kalian yang memiliki masing-masing biji zarah kecerdasan, tetaplah seperti itu. Kita punya ikatan. Ikatan itu lah yang selamanya tidak akan pernah hilang kecuali kita sendiri yang merusaknya. Kata-kata khas kalian yang masih bersenandung ria di relung nurani kejantananku, “It is the best broken, amazing fantastis. kemerdekaan tanpa cinta, dan MAN PIKIR, adalah kata-kata gila nun berkualitas kalian sebagai maksud untuk menaklukan dunia ini.

Maka belajarlah dari angin! Jangan pernah menyerah untuk mengejar bola-bola impian dan membuat kehidupan yang lebih baik di tanah air tempat kita berpijak ini, SAHABAT. Tidak perlu resah akan ketidakmungkinan. Karena di dunia ini tak pernah menelurkan kepastian. Maka untuk itu lah alasan mimpi berkeliaran tulus di dahi hidup kita. Mimpi untuk membuat ketidakmungkinan dan ketidakpastian itu menjadi pasti dan nyata.

Senantiasa melakukan hal-hal yang mustahil untuk menjadi orang besar yang berguna bagi sesama, bangsa, negara, dan juga dunia.

Dare to dream! Keep study hard! And do not forget each other is the key to master and reach our future comes true.

TERIMAKASIH SEMUA!

I LOVE YOU ALL SO MUCH

BY: THE STUDENT WHO ALWAYS DOES THE IMPOSSIBLE THING

****

Di hari-hari menggelora berikutnya, aku lebih sering berkontak batn dengan Mrs Pink sebelum keberangkatan beliau ke Queensland. Sama seperti kampus yang memberi jaringan beasiswa bagi Bang Monday. Ini bukan seperti apa yang kaupikirkan. Aku hanya berkutat dalam labirin urusan bernama ‘menulis’.

Mengikuti hampir setiap detik ilmu menulis dari Mrs Pink seakan melenyapkan kemaluanku untuk bangkit. Maksudku bangun dari pesimisme untuk menghasilkan lebih banyak tulisan. Aku kian hari menyukai beliau sebagai daftar ilmu prosa berjalan. Semakin yakin ketika aku telusuri, Mrs Pink ternyata menghidupkan ‘novela’ singkat di blog pribadinya. Dan aku bisa menebak beliau yang selain pengidola Kim Tae Yoon, di benak merah muda beliau juga hadir sosok pemeran ‘Boy’ di Sinetron ‘Anak Jalanan.”

Asumsiku kian kokoh ketika di setiap sub judul novelanya, hadir deretan tokoh-tokoh familiar di wajah perfilman Indonesia. Beliau mengambil karakter berdasarkan apa yang tertera di alam nyata. Dan kian waktu kedekatan itu menimbulkan sensasi gosip paling mematikan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!