NovelToon NovelToon

Kampus Fiksi

Prolog

Perpisahan itu pun mampir secara memaksa. Aku turun dari ‘connector’ berwujud bus kampus menuju Universitas Melbourne. Turunan langkah pertamaku terbalas oleh tatapan langit yang resah. Jauh dari negeri khatulistiwa.

Betapa nasi goreng dan ‘gado-gado’ begitu kukenang selama dua tahun menjadi peraup beasiswa di negeri kangguru. Mataku bolak-balik melihat jam di ponsel milenialku. Entah apa rencana gila yang Tuhan tuliskan untukku.

Waktu sepagi ini langit masih bersih dan tiupan kicauan angin dengan ceria menggelitik pori-pori kulitku. Menyiapkan pidato kelulusan dan pulang ke negeri tambora adalah urusan terparah saat ini. Beberapa menit lagi, seorang yang luar biasa akan aku temui.

Ia adalah lelaki yang menyiratkan impian kami di cakrawala Melbourne. Baru saja insting kejantanannya mengiring ke tempatku. Menandai firasatku bahwa ia akan tiba, membuat dadaku berkecamuk, penuh, dan menyala-nyala.

Aku akan menemuinya di sebuah kafe untuk memberikan kertas lusuh dan gambar kota Melbourne yang dulu kujanjikan. Saat di mana sepeda tua mengemas perpisahan sederhana nan kumuh itu, kami berpeluk haru.

Menyisakan aku dan impianku menyaksikan kampus miskin kami dulu tumbuh besar dan sehat. Ya, di negeri Tambora. Dan setelahnya, petualangan cita-cita bertabur asmara itu terselip mesra dalam kisah kami yang telah kutulis. Sementara Mus, telah duduk bisu di kursi santainya di ruang kafe. 

“Aku harus berperan dalam cerita

ini bersamamu dan Hajar, Mus. Menuliskannya menjadi kampus fiksi. Hajar resmi melayang dari harapanku. Kau dan dia sempat menjadi pilihan yang berat. Kau tak akan keberatan jika kutuliskan semuanya sebagai kelanjutan dari keabadian ini. Kau jangan mencaci maki cita rasa keburukan yang aku kelola hingga akhir. Mungkin. Jika aku putar balik waktu, maka saat itu aku memulai dari acara perkenalan kita di hari bersejarah itu. Kau harus bersabar untuk ketidakwajaran yang kutawarkan.”

“Benarkan?” tanya Mus datar.

“Apa?”

“Sebaiknya semuanya dipersulit sejak awal,” sarannya lebih datar lagi. “Itu bisa membuat Hajar perkasa di negerimu meski selama-lamanya tak bisa lagi kaulihat warna suara asam manisnya.”

Aku sedikit terkejut, “Tidak, kita harus jadi penulis yang penyayang untuk kisah ini. Bukankah sebuah cerita perjuangan terkesan memiliki romansa kecil juga yang terselip rapi?"

“Hem …” Mus berekspresi seperti apa aku tak paham bentuknya. Seorang yang dulunya anak Pantai Kencana miskin berdarah ‘sasak’ itu sepertinya memang penuh piramida analisa. 

“Aku hanya ingin impian dan cintaku bisa tersimpan pada Hajar dalam filosofi pendidikan ini."

“Kau gila?”

“Itu harapan besar diriku dalam pengulangan kisah ini."

“Lalu?”

“Entahlah, aku juga tak tega jika harus meninggalkanmu, Mus."

“Tidak.”

“Aku bisa bertemu denganmu dan meraih dinding Melbourne karena lebih memilih persahabatan kita!”

“Kau tidak ingin kembali mengail kisah baru di kampus itu?”

“Aku ingin. Sangat. Tetapi ..."

“Sudahlah. Aku mengerti apa yang sulit kau ucapkan, Big Bos."

Mus entah kenapa menyimpan substansi kepedulian yang samar. “Jangan terburu-buru. Ada cinta yang harus mengorbankan impianmu di sini. Kembalilah pada Hajar setelah semua orang menyayangimu dalam persahabatan aneh itu.”

Yah, itu edisi pertama dari gabungan pikiranku dan Mus. Aku mulai bisa merangkai plot dan menuliskan cerita kampus fiksi, dari penderitaan hidupku sebelumnya di kampus itu. Hajar telah menjadi gadis pemimpi terbaik bersama kisah ini. Aku akan memulai kesederhanaan itu. Kau mungkin tidak akan percaya kalau pendidikan begitu perlu berkasih sayang. Mengalirkan mislah cinta dan plot perjuanganku, sebagai anak Pantai Kencana Miskin dalam filosofi pendidikan.

Aku ingin membuka lagi lembaran-lembaran cerita saat semua manusia belum menjadi dirinya sendiri. Saat saripati semesta meliput bangkai paling wangi yang pernah menusuk udara pernafasan siang itu, siang panas di antara terik-terik di belahan sesi pembukaan penerimaan lilin-lilin kecil di kampus fiksi.

Mereka aku benci begitu dalam jauh hari. Sebelum akhirnya nadiku memutuskan untuk mencintai mereka lebih lebar, dari segala bentuk ilmu pengetahuan yang familiar di kampus-kampus nusantara bergengsi. Begitu gelap nan pekat nebula di atas suasana siang itu, mengalahkan kelelahan pelari maraton dunia sekalipun. 

Saat tangga ketegangan kunaiki bersama gelora rasa penasaran, bagaimana mungkin tempat pendidikan itu begitu terbuka dan diterima masyarakat dengan begitu indah. Dan pemikiran mampir di batok kepalaku hari demi hari, ketika rasa cinta itu membuka mataku yang buta total sebelumnya.

Ketika laskar pelangi menepuk pundak kesadaran orang-orang akan hantu buruk rupa tak kasat mata, tentang dunia pendidikan bersama cita-cita ketulusan mereka ... aku jadi teringat. Sesuatu yang bereinkarnasi dalam alunan kehidupan. Pendidikan sebuah kampus. Kau mungkin tidak akan percaya bahwa apapun bisa tumbuh dan berkembang bebas di sini layaknya kehidupan di luar bumi. 

Aku akan menggiring kalian menuju palung perjuangan cita-cita yang tragis, namun sangat menyenangkan di kalbu. Selama kau punya jiwa rendah, kau bisa bersamaku menyelami romansa tiga dimensi dan molekul-molekul asmara terlarang yang membuat Tuhan murka, hingga menilik serpihan bekas pecahan ketertarikan antara seorang manusia terbodoh, dengan seorang pengajar muda cantik nan berkelas puluhan karat.

Meski itu menjadi unsur penyulut sistem keresahan semata. Yang membuatku silau tanpa melewatkan satu detik pun, ketika langkah kaki sayunya berikrar pasti memasuki ruang perkuliahan di semester itu. Nanti kau bisa nilai sendiri apa prosa hidup yang aku tawarkan padamu. Kuharap kau mengerti dengan gaya metaforaku. Kau harus berhati-hati agar jantungmu awet muda.   

***

Siang itu adalah masa orientasi mahasiswa baru paling membuatku iba. Tak ada kemegahan citra pengundangan tawa bahkan permainannya hanyalah satu tali rafia, yang menyiratkan pelajaran luar biasa dalam menyudahi masalah yang menimpuk kita keras sekali.

Entah pemikiran apa yang ada di dalam kedua kepala itu. Aku coba tetap memahat senyum biasa. Mengganggap mereka juga sama-sama termasuk manusia terpuruk ekonomi sepertiku. Siapapun yang berkuliah di sini, pasti sebagian besar orang-orang pemimpi yang dikecilkan oleh dunia. 

Dan bagi kalian mungkin menetas dari Universitas sekaliber UI, ITB, UNJ, atau di mancanegara sekalipun merupakan prestasi terbesar yang bisa terhias rapi dalam jubah masa depan kalian. Tak pernahkah kalian melirik sedikit ke sisi dunia Pendidikan berstatus perguruan tinggi, yang beraroma lengking kasuari?

Ia menjerit setiap hari meminta kesadaran kalian, agar rongga kepedulian itu tumbuh membahana dan kalian menjadi tahu, bahwa bukan masalah di mana kalian menelan pendidikan, melainkan apa serum perjuangan yang kalian kailkan selama menyongsong fiksi masa depan. Pak Iwan Jazadi, yang jika kutakan adalah manusia paling membuktikan kebenaran pernyataanku sebelumnya. Kalian tahu lulusan kampus kecil dengan sepertiga sisi atas bangunannya hanyalah kerangka tiang-tiang belum matang, bisa menggaet diri ke Melbourne, Australia.

Dan keberhasilannya itu pun masih diiringi tiang-tiang kerangka bangunan pendidikan itu.  Namun, cerita nyata ini tak hanya menawarkan beliau tapi bagaimana cinta terlarang, impian abal-abal, kemerdekaan tanpa kasih sayang, seratus impian tertulis pada selembar lusuhan kertas, dan persahabatan aneh beratribut aroma revolusinoner. 

Di akhir cerita, kalian akan percaya bahwa dunia kecil dengan kapasitas impian terbesar itu ada di sini. Ini lah yang akhirnya kusebut rumah hijau, kampus fiksi dalam cerita kita ini.

Kampus hijauku yang memberikanku cerita kesedihan yang berharga, kesusahan layaknya pengemis jalanan hanya untuk mendapat nilai moral, dan senyuman paling berwarna di antara ikan-ikan di langit aksara hingga kisah ini sampai padamu. Dan kau pasti menyesal karena mengetahui bahwa di sini, di rumah hijauku ini, persahabatan dengan seorang dosen bukanlah hal mustahil. 

Hubungan itu terjalin wangi layaknya orangtua dengan anak-anak mereka, yang setiap hari meminta jatah kasih sayang. Semua hasil luar biasa yang berbuah, bersumber dari kekuatan kasih sayang antara kami dan orangtua kami yang bergelar dosen. Dan aku namakan kampusku itu sebagai Kampus Fiksi. 

DERET 1

Rentetan perulangan hidup berkecimpung secara lembab dalam orbit tujuanku. Aku menginstal pemikiran baru di suatu hari kemudian. Saat itu aku memalsukan psikologi. Sendirian. Benar-benar tidak bisa menyambung halaman nasibku dengan orang-orang di tempat itu. Ya, untuk pertama kalinya keberanianku disemprot aroma hijau kehidupan konvesional.

Aku mengayuh liar sepeda tua kesayanganku siang itu. Matahari menyemprot asam keringatku begitu menyiksa. Tak tahan juga aku namun tetap kucoba menyambut waktu agar tepat. Melawan diriku sendiri adalah yang tersulit saat itu. Hanya agar bisa hadir dengan pakaian hitam putih dengan papan nama di dada. Hari itu adalah hari pertama aku memulai impianku yang ketinggian.

Kau boleh menganggapku bodoh karena tidak membawa mesin jalan beroda itu sebagai seorang remaja yang berkuliah. Tidak, bukan aku tak mau. Aku bahkan tak punya  waktu untuk makan dua kali dalam sehari. Kau pasti paham semantiknya. Begitulah isi duniaku yang terlalu bersemangat mengemis takdir siang itu.

Hal pertama yang muncul di kepalaku adalah ketakutan. Ketakutan karena aku datang paling terlambat. Seorang kakak tingkat terlihat gagah menggerayangi diriku bersama penglihatannya. Aku tahu aku kedapatan lemah.

Namun tatapan itu tak kuladeni. Sorot mataku mengarah manis ke arah bangunan  kampus hijau yang terlihat belum begitu sesak. Di pikiranku masih penuh ambang keraguan akan nasibku jika mengais ilmu di kampus itu. Sisi bangunan sebelah kanan masih lah kerangka-kerangka. Aku iba dengan definisi pendidikan yang mutakhir.

Aku mengerti. Sangat memahami diriku tak akan bisa lagi

mendapat tempat yang sesuai kesengsaraanku. Semua yang

ada dalam penglihatanku siang

itu adalah lebih dari cukup. Aku pun masuk. Kakak yang tadi ternyata ramah. Ia memimpinku ke lantai dua yang sederhana. 

Rambutku masihlah acak-acakkan dan keringatku belum bening. Memaksa kemauan kakak itu agar aku masuk, bisa menjadi ujian rasa malu terbesar dalam hidupku. Meski akhirnya aku layu dan masuk. 

Di dalam tak seperti pikiran negatifku sebelumnya. Hawanya sedang dan manusia-manusianya sedikit. Aku mulai resah. Bagiku lebih baik ramai agar tak terlihat lambatnya diriku. Namun biarlah seperti seharusnya. Rasa penasaranku tetap berjalan mulus.

Aku bisa menghitung leluasa jumlah pengajar dan mahasiswa kampus itu dari belakang. Dan kawan-kawanku mahasiswa baru yang lebih dulu datang bahkan tak lebih dari 5 orang. Herannya, aku tak melihat remaja lelaki lain yang ada di deret kursi mahasiswa baru. Saat itu nadiku semakin bergetar lepas.

Baru mulai duduk di kursi belakang, seorang bapak berkulit malam hari menyetorkan suaranya ke arahku. Aku panik. Dipikiranku terpahat keraguan sekaligus keinginan untuk kembali ke kampung. Namun suara itu lebih serasa melengking di hatiku lebih daripada lengkingan kasuari. Lengkingan yang hinggap dan berhasil merayap masuk membuka rongga keberanianku. Dan lagi-lagi aku takluk.

Aku tidak tahu rencana Tuhan siang itu. Kupikir akan dihukum karena kelalaianku akan waktu. Ketika sampai di depan, bapak itu menepuk merdu pundakku. Pelan dan hangat. Semua mata mendarat padaku serempak di ruangan kecil itu. Aku tak sempat berkedip sepersekian detik.

“Nak, hidupmu bukan untuk dirimu saja. Banyak hal yang perlu diberikan sebanyak-sebanyaknya. Kau harus maju ke depan. Duduklah di kursi itu,” katanya sembari menunjuk ke arah kursi kosong di deretan mahasiswa baru. Aku saja yang tidak melihat celah kosong itu. Itu lantaran ledakan kecemasanku berlebihan. Dan acara pun dimulai.

Selama acara, aku masih sempat memikirkan Emak. Yang ada dalam ************ pikiranku kedua kalinya. Emakku itu adalah orang pertama yang ingin sekali aku bisa belajar di Negeri Kangguru, tempat pamanku dulu juga berkuliah hingga Doctoral. Namun paman serta ayahku telah lenyap dari kerak bumi. Emak menjadi satu-satunya Alfa Edison kedua versi wanita dalam hidupku, yang selalu bisa melukis pelangi impian dalam hati dan pikiranku. Dan aku bisa membawa pelangi itu kemana.-mana. 

Kau mungkin setuju denganku. Impian itu seperti sebuah ruh kedua pada tubuh seorang manusia. Namun ia tidak menyatu sebagai satu kesatuan dengan tubuh. Impian menempel dalam hati dan pikiran yang tidak bisa diriset siapapun. Impian menjadi ilmu pengetahuan abstrak yang hidup dan bersemayam rapi di dalam diri kita sendiri.

Aku percaya itu. Aku mempercayai kisah nyata dari apa yang kudengar. Ini adalah tentang seorang anak kusir yang berhasil tembus ke negeri Kangguru dan menjadi doctoral. Orang luar biasa itu, aku yakin ada di tengah-tengah bapak berkulit petang hari dan bapak-ibu pengajar lainnya tadi.

Saat tiba dipertengahan acara, seorang berseragam lebih parah dan lebih acak-acakkan daripada aku muncul di pertengahan waktu. Hal yang berbeda terjadi. Ketika semua dosen-dosen keluar ruangan dan berganti tayang dengan kakak-kakak mahasiswa, aku dan remaja lelaki tadi disuruh maju ke depan. 

Aku menyaksikan gerak-gerik remaja itu gelisah. Rambutnya yang pendek bergelombang serta kulitnya yang setengah waktu maghrib, menambah porsi dari mimik kegelisahannya di mataku. Yang jelas, aku dan dia terikat kuat oleh tali rumput laut.

Kami mendapat jatah misteri dari permainan yang kakak-kakak mahasiswa berikan. Permainan ini memberi kesan serasa diborgol besi penjara. Permainan itu harus diselesaikan dalam waktu tidak lebih dari menit. Kami diikat tali secara bersilangan. Yang harus kami berdua pikirkan adalah, “Bagaimana melepaskan diri secara bersamaan tanpa harus memutuskan talinya?”

Aku pikir itu gila dan jauh dari logika. Sempat terlintas di pikiranku itu hanyalah tipuan untuk bisa lebih peduli terhadap kebersamaan. Sayangnya tidak. Ketika lima menit habis, kami diberitahukan cara luar sederhana itu. Cara konyol yang menyentuh keegoisanku. Benar-benar tak bisa kuimaginasikan sebelumnya.

Cara melepaskan diri dari tali itu diperlihatkan seorang kakak mahasiswa bertubuh sedang dan berwajah tenang. Di balik wajah tegasnya, ia menyimpan gerakan kepedulian yang lembut.

“Filosofi permainan ini mengajarkan kita tentang menyelesaikan masalah tanpa menambah masalah,” terangnya padat. Para peserta nampak tersenyum kecuali aku yang masih gamang dalam kebingungan dan ketololanku. Masih belum kupahami. 

“Ada yang bisa menjelaskan kenapa?” lanjut kakak tadi bertanya. 

“Karena masalah memang harus diselesaikan bukan dipikirkan!” seru seorang mahasiswi baru. Semua tertawa. 

“Hampir benar.”

“Karena satu masalah saja sudah memusingkan apalagi harus poligami terhadap masalah!” seru mahasiswa baru lainnya yang nadanya terdengar mengibul.

“Kalian ini…”

“Maaf kak, kami terlalu keropos untuk menganalisa filosofi seperti itu,” ucap polos kawan seborgolanku. Dia ternyata imut juga dalam urusan suara. Sementara kakak tadi mulai ingin mengakhiri acara pembuka di hari pertama. Dan ada hal yang ingin kuberitahukan padamu. 

DERET 2

Di kampus hijauku itu, calon mahasiswa maupun mahasiswi baru tidak diharuskan menyelesaikan tes sebagai syarat penerimaan. Aku bahkan terharu saat jauh hari sebelumnya, rektor kampus hijau, lulusan Australia, dengan bangga menerima anak pantai kencana miskin sepertiku. Emakku sampai bersujud lama dan hampir lupa bangkit. Sempat kupikir Emak sudah dipanggil Ilahi andai saja tak kucubit lengan keriputnya.

Aku masih ragu di awal-awal penerimaan itu. Bayangkan saja, kampus yang kutahu bercecer bumi khatulistiwa semuanya adalah karena kecerdasan dan dukungan materi. Kekuatan nurani dari filosofi pendidikan sebenarnya, mulai bisa kumaknai bahkan sejak dari semester pertama aku berkuliah.

Beliau, Pak Iwan, kusadari sebagai segelintir manusia berhati perkasa yang paham makna itu. Segala kekurangan dan keterbatasan hidup beliau dalam bukunya, “Anak Kusir Jadi Doktor” mungkin menjadi senjata yang memudahkan dalam memahami orang lain. 

Saat itu di bulan September di tahun  2015, aku belum menemukan papan nama kampus hijauku itu. Satu-satunya nama yang menjelaskan semua itu adalah sebuah brosur. Aku bahkan siswa paket C di salah satu Sekolah Menengah Atas di desa Utan. Tidak terakui. Namun Pak Iwan tidak memperdulikan itu. Setelah pertengah tahun barulah aku menyadari filosofi luar biasa yang beliau siratkan tanpa harus berucap. 

Sebelum itu, aku akan setengah pelan berkisah. Ketika di kemudian hari ada sepotong sayap berharga merayapi hidupku pelan-pelan. Seorang lelaki bersama kumis manisnya di sebuah asrama kosong yang rapi. Ia akan menjadi Plato kedua yang pernah terpahat di batang memoriku. Aku bahagia bahwa di hari-hari hingga usai, ia adalah power ranger berhati merah muda dengan intuisi kasih sayang di atas rata-rata. 

Namanya beliau adalah Alen. Bukan nama resmi dari Kartu Tanda Penduduk atau Akte Kelahirannya yang berharga. Nama aslinya baru kudapatkan terang-terangan ketika beliau menembus langit Melbourne, Australia. Waktu itu adalah perpisahan pertama yang mencekam nuraniku sebagai peserta didik. 

Aku mengenal Bang Alen di asrama pria sebagai pria sedingin kutub utara. Itu menjadi asumsi pertamaku tentangnya. Sebenarnya tidak, ia lebih hangat dan merunduk ke bawah lebih daripada musim semi di Norwegia. 

Sekelas diriku yang hanya mengerti kecerdasan emosional tidak akan menjangkau mulus inteligensinya. Ia seperti Lintang di Film Laskar Pelangi versi dewasa menurutku. Aku serius. Menurutmu, apakah hal biasa seorang anak sawah dan berkuliah di kampus hijauku yang baru setengah jadi, bisa mengalahkan efisiensi IQ lulusan Jakarta dalam perolehan skor TOFL? 

Kau mungkin mengira aku berlebihan. Namun jika kau mengira kekagumanku akan sosok Plato kedua itu hanyalah kibulan, maka kau yang berlebihan. Sebab dunia di kampus hijauku yang sederhana benar-benar mengajarkan makna pendidikan sebenarnya. Lebih daripada kampus elit manapun di ketika bumi ini. Aku serius. 

Saat itu aku seorang bermuka bahagia dan berwajah polos akan pengetahuan. Sangat buruk analisaku dalam hal linguistik. Ya, di kampus hijauku yang merupakan sekolah tinggi, hanya berisi dua program studi. Meski di sini minim jurusan untuk Sekolah Tinggi, jenisnya adalah pilihan paling mengerikan untuk semua kategori otak manusia. Rumah hijauku menawarkan Bahasa Inggris dan Matematika. 

Notabene diriku seorang pemimpi kelas cakrawala, aku lurus saja memilih Bahasa Inggris. Serupa jalan yang ditempuh Bang Alen. Waktu itu, saat aku masih memulai semester, aku duduk di bangku ayunan sederhana di sebuah Taman Kanak-Kanak. Taman Kanak-Kanak itu letaknya di depan asrama pertama yang kutumpangi. 

Aku jelaskan dulu bayangan denah abstrak tentang kampus hijauku sebelum cerita emosional dan penuh serpihan filosofi asmara kita dimulai. Aku mengatakan semua sebagai sebuah kesatuan kasih sayang dan kepedulian dalam pendidikan.

Asrama pria dan putri berhadapan. Di samping kiri asrama pria adalah rumah Pak Iwan dan isterinya Ibu Iga Widari yang kata beliau bermakna bidadari. Nanti aku sempatkan konteks perjuangan dua dosen sekaligus guru kehidupanku itu dalam membangun kampus hijauku.

Aku lanjutkan. Di samping kanan asrama putri adalah perpustakaan. Perpustakaan itu memang kecil dan tidak terlalu representatif dalam hal koleksi buku. Saat pertama kali memaku diri di asrama nomor 1 dan berkenalan dengan seorang ‘Bang Monday’ (nickname), hal pertama bertengger di semu pikiranku adalah perpustakaan kecil itu.

Aku masuk dan Bang Monday mengikutiku di hari pertama bersama. Ia adalah mahasiswa semester akhir saat itu. Di dalam perpustakaan, entah bidadari desa mana yang meliput dirinya begitu feminim sebagai penjaga. Aku yakin Bang Monday sudah tahu semua nama. Sayangnya aku awam untuk mengerti situasi fundamental seperti itu. Dan nona itu hanya memahat senyum. Itu memang etika perpustakaan. 

Aku bukan tipe mudah melayang. Terlebih aku belum menargetkan apapun sejak awal. Aku hanya mengikuti rasa penasaran. Awal. Yang kulakukan bahkan mencari buku tentang Melbourne. Dan ketemu. Nona bernama Eka yang ternyata mahasiswa jurusan Matematika itu tak perlu bahasa verbal dariku. Ia paham gerak-gerikku yang stres mencari hal yang belum waktunya bagiku. Aku tak peduli.

Bahkan jam kuliah pertama belum kudapatkan, deretan kalimat asing menggerogoti kornea mataku. Satupun kata tak dimengerti.

Namun sekali lagi, aku

tak memusingkan ketidakmengertian.

Bagiku, impianku agar Emak bahagia dan tidak terbebani pendidikanku, adalah cita-cita terbesar. Lebih besar daripada ‘blackhole’ berukuran miliaran kali matahari. 

Aku meminjam buku pertama kali selama kuliah dengan bacaan tak selevel diriku saat itu. Baik, sekali lagi aku tidak peduli. Terserah kau percaya atau tidak. Di hari pertama aku berkuliah di kampus sederhana itu, ada hal terbesit di celah pikiranku.

Hanya sepuluh orang mahasiswa seangkatanku waktu itu. Dan hanya aku dan lelaki kebal yang datang lebih terlambat daripada aku sewaktu masa orientasi,yang menjadi pejantan tangguh di situ. 

Namanya Mustaqim. Sebuah harapan menuju jalan lurus. Sayangnya tidak. Dia akan menjadi orang pertama yang menanamkan harga perpisahan untukku. Menciptakan atmosfer baru di luar kendaliku saat akhirnya aku menjadi lelaki satu-satunya hingga mendekati sedimentasi waktu yudisium. Aku selalu dimulai dengan hujan. 

“Aku tidak mengerti situasi konvensional seperti ini, Bee!” Mus mengarahkan gerutunya padaku. Ya, aku memanggilnya Mus. Aku sudah cukup dekat dengannya saat hari orientasi mahasiswa baru. ,Masalah filosofi tali rumput laut itu kau cari sendiri saja. 

“Ke mana kau bicara?” lototku mulus.

“Pada kau lah!” katanya berlagak ganas. “Kita harus merubah mindset orang-orang Sumbawa yang tidak tahu jalan terbaik untuk menghormati waktu.

“Aku tak sepakat dengan beceknya pikiran kau, Mus,” sambutku datar. “Aku tak suka hal-hal berat di luar kepala.”

Mus mengganti bola mata ke arah kanan.

“Kau ini, kita perlu bermimpi memajukan tanah Tambora ini agar tidak kalah dari orang-orang mata sipit itu. Kita bahkan dibuat K.O oleh tikus-tikus dalam negeri sendiri.”

Saat itu, pemikiran dan impian heroiknya menstimulasiku untuk berideologi terbuka. Artinya menerima pikiran orang lain untuk dipelajari. Menjadi hobi teraneh dalam diriku. Namun bereinkarnasi menuju gairah yang mendorong legit impianku.

Dari kesenangan mempelajari orang lain, aku jadi senang melukis cerita. Merasakan diriku seperti Tuhan yang mengendalikan semua hati manusia dan mengetahui plot hidup mereka. Yah, menjadi Tuhan fiksi sepuas-puasnya. Aku suka menulis. Timbul sederhana dari biji kalimat mematikan Mus tentang pola pikir dan perubahan.

“Bu Iga datang!” ucap wanita termanis di angkatanku ketika isteri Pak Iwan itu melangkah mantap sebagai pembawa perubahan kecil yang besar.

Kami serempak menjadi boneka India yang pesimis di kursi masing-masing. Aku penasaran dengan perbedaan bersekolah dan berkuliah. Aku memimpikan selalu bisa berkuliah. Dan Pak Iwan menjelma menjadi sepotong sayap lainnya selain Bang Alen yang memahami makna pendidikan. Warna maksudku adalah pendidikan yang layak. Sistem Pendidikan di Indonesia ternyata belum lah berada pada garis layak meski guru-guru besar tak sedikit jumlahnya.

Analisa ini timbul ketika Bang Alen berwujud seorang yang baru menempuh sebuah perjuangan warna-warni di negeri kangguru. Belum waktunya kuceritakan. Ia mengajarkanku sebuah filosofi pendidikan tidak akan menghasilkan manusia robot. Nanti aku lanjutkan hal ini. Kau bisa paham maksudku dan melihat sistem pendidikan kita saat ini. 

Ibu Iga mengekspresikan dirinya tidak sebagai dosen. Paduan bahasa verbal maupun non-verbalnya jelas terasa di kalbu sebagai orangtua. Ada kasih sayang yang mengalir tersirat di ruangan kelas. Mata kuliah khusus masalah pendidikan hingga perkembangan peserta didik adalah bidang beliau. Tentu sebagai pendukung seorang calon sarjana pendidikan seperti kami selain bahasa Inggris.

Dan beliau akan benar-benar menjadi ibu keduaku hingga habis masanya. Kasih sayang, itulah sumber pendidikan. Kau tak percaya? Aku pun ragu awalnya. Semua menjadi yakin ketika Mus menjawab pertanyaan Bu Iga dengan refleksi pikiran tak biasa layaknya Socrates.

“Pendidikan yang layak juga bermakna layak dalam hal menghargai intelegensi peserta didik. Angka tidak menjamin apapun. Seberapa besar kita sanggup mengajari orang lain ilmu pengetahuan, tidak akan cukup untuk membuat kita selalu lebih cerdas daripada mereka.

Selalu ada kebahagiaan dalam belajar sebagai sumber sekaligus target pengetahuan secara makna pendidikan. Bukankah begitu harapan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara?” terang Mus elegan. Bibir pikiranku komat-kamit memahami daya pikirnya.

Mus menghipnotis semuanya di hari pertama. Dari dirinya, aku belajar bahwa kepedulian adalah syarat terbesar kesuksesan. Bukan kecerdasan. Dia juga mengasumsikan padaku sebuah label kampus hijau kami. Label tidak mencerminkan siapa dirimu. 

Sejak saat itu hingga tiba perpisahan masa, Mus selalu bisa menjadi Socrates remaja yang menerangi mendung kelas kami yang jumlahnya kerdil. Kepekatan intelegensi diiringi oleh cahaya pemikirannya dari hari ke hari.

Aku selalu merasa ia jauh meski bersamaku hingga separuh perjuangan. Hingga hari perpisahan itu tiba, dia selalu memainkan tokoh intelegensi terbaik untukku pelajari sampai menutup permulaan impian. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!