Rentetan perulangan hidup berkecimpung secara lembab dalam orbit tujuanku. Aku menginstal pemikiran baru di suatu hari kemudian. Saat itu aku memalsukan psikologi. Sendirian. Benar-benar tidak bisa menyambung halaman nasibku dengan orang-orang di tempat itu. Ya, untuk pertama kalinya keberanianku disemprot aroma hijau kehidupan konvesional.
Aku mengayuh liar sepeda tua kesayanganku siang itu. Matahari menyemprot asam keringatku begitu menyiksa. Tak tahan juga aku namun tetap kucoba menyambut waktu agar tepat. Melawan diriku sendiri adalah yang tersulit saat itu. Hanya agar bisa hadir dengan pakaian hitam putih dengan papan nama di dada. Hari itu adalah hari pertama aku memulai impianku yang ketinggian.
Kau boleh menganggapku bodoh karena tidak membawa mesin jalan beroda itu sebagai seorang remaja yang berkuliah. Tidak, bukan aku tak mau. Aku bahkan tak punya waktu untuk makan dua kali dalam sehari. Kau pasti paham semantiknya. Begitulah isi duniaku yang terlalu bersemangat mengemis takdir siang itu.
Hal pertama yang muncul di kepalaku adalah ketakutan. Ketakutan karena aku datang paling terlambat. Seorang kakak tingkat terlihat gagah menggerayangi diriku bersama penglihatannya. Aku tahu aku kedapatan lemah.
Namun tatapan itu tak kuladeni. Sorot mataku mengarah manis ke arah bangunan kampus hijau yang terlihat belum begitu sesak. Di pikiranku masih penuh ambang keraguan akan nasibku jika mengais ilmu di kampus itu. Sisi bangunan sebelah kanan masih lah kerangka-kerangka. Aku iba dengan definisi pendidikan yang mutakhir.
Aku mengerti. Sangat memahami diriku tak akan bisa lagi
mendapat tempat yang sesuai kesengsaraanku. Semua yang
ada dalam penglihatanku siang
itu adalah lebih dari cukup. Aku pun masuk. Kakak yang tadi ternyata ramah. Ia memimpinku ke lantai dua yang sederhana.
Rambutku masihlah acak-acakkan dan keringatku belum bening. Memaksa kemauan kakak itu agar aku masuk, bisa menjadi ujian rasa malu terbesar dalam hidupku. Meski akhirnya aku layu dan masuk.
Di dalam tak seperti pikiran negatifku sebelumnya. Hawanya sedang dan manusia-manusianya sedikit. Aku mulai resah. Bagiku lebih baik ramai agar tak terlihat lambatnya diriku. Namun biarlah seperti seharusnya. Rasa penasaranku tetap berjalan mulus.
Aku bisa menghitung leluasa jumlah pengajar dan mahasiswa kampus itu dari belakang. Dan kawan-kawanku mahasiswa baru yang lebih dulu datang bahkan tak lebih dari 5 orang. Herannya, aku tak melihat remaja lelaki lain yang ada di deret kursi mahasiswa baru. Saat itu nadiku semakin bergetar lepas.
Baru mulai duduk di kursi belakang, seorang bapak berkulit malam hari menyetorkan suaranya ke arahku. Aku panik. Dipikiranku terpahat keraguan sekaligus keinginan untuk kembali ke kampung. Namun suara itu lebih serasa melengking di hatiku lebih daripada lengkingan kasuari. Lengkingan yang hinggap dan berhasil merayap masuk membuka rongga keberanianku. Dan lagi-lagi aku takluk.
Aku tidak tahu rencana Tuhan siang itu. Kupikir akan dihukum karena kelalaianku akan waktu. Ketika sampai di depan, bapak itu menepuk merdu pundakku. Pelan dan hangat. Semua mata mendarat padaku serempak di ruangan kecil itu. Aku tak sempat berkedip sepersekian detik.
“Nak, hidupmu bukan untuk dirimu saja. Banyak hal yang perlu diberikan sebanyak-sebanyaknya. Kau harus maju ke depan. Duduklah di kursi itu,” katanya sembari menunjuk ke arah kursi kosong di deretan mahasiswa baru. Aku saja yang tidak melihat celah kosong itu. Itu lantaran ledakan kecemasanku berlebihan. Dan acara pun dimulai.
Selama acara, aku masih sempat memikirkan Emak. Yang ada dalam ************ pikiranku kedua kalinya. Emakku itu adalah orang pertama yang ingin sekali aku bisa belajar di Negeri Kangguru, tempat pamanku dulu juga berkuliah hingga Doctoral. Namun paman serta ayahku telah lenyap dari kerak bumi. Emak menjadi satu-satunya Alfa Edison kedua versi wanita dalam hidupku, yang selalu bisa melukis pelangi impian dalam hati dan pikiranku. Dan aku bisa membawa pelangi itu kemana.-mana.
Kau mungkin setuju denganku. Impian itu seperti sebuah ruh kedua pada tubuh seorang manusia. Namun ia tidak menyatu sebagai satu kesatuan dengan tubuh. Impian menempel dalam hati dan pikiran yang tidak bisa diriset siapapun. Impian menjadi ilmu pengetahuan abstrak yang hidup dan bersemayam rapi di dalam diri kita sendiri.
Aku percaya itu. Aku mempercayai kisah nyata dari apa yang kudengar. Ini adalah tentang seorang anak kusir yang berhasil tembus ke negeri Kangguru dan menjadi doctoral. Orang luar biasa itu, aku yakin ada di tengah-tengah bapak berkulit petang hari dan bapak-ibu pengajar lainnya tadi.
Saat tiba dipertengahan acara, seorang berseragam lebih parah dan lebih acak-acakkan daripada aku muncul di pertengahan waktu. Hal yang berbeda terjadi. Ketika semua dosen-dosen keluar ruangan dan berganti tayang dengan kakak-kakak mahasiswa, aku dan remaja lelaki tadi disuruh maju ke depan.
Aku menyaksikan gerak-gerik remaja itu gelisah. Rambutnya yang pendek bergelombang serta kulitnya yang setengah waktu maghrib, menambah porsi dari mimik kegelisahannya di mataku. Yang jelas, aku dan dia terikat kuat oleh tali rumput laut.
Kami mendapat jatah misteri dari permainan yang kakak-kakak mahasiswa berikan. Permainan ini memberi kesan serasa diborgol besi penjara. Permainan itu harus diselesaikan dalam waktu tidak lebih dari menit. Kami diikat tali secara bersilangan. Yang harus kami berdua pikirkan adalah, “Bagaimana melepaskan diri secara bersamaan tanpa harus memutuskan talinya?”
Aku pikir itu gila dan jauh dari logika. Sempat terlintas di pikiranku itu hanyalah tipuan untuk bisa lebih peduli terhadap kebersamaan. Sayangnya tidak. Ketika lima menit habis, kami diberitahukan cara luar sederhana itu. Cara konyol yang menyentuh keegoisanku. Benar-benar tak bisa kuimaginasikan sebelumnya.
Cara melepaskan diri dari tali itu diperlihatkan seorang kakak mahasiswa bertubuh sedang dan berwajah tenang. Di balik wajah tegasnya, ia menyimpan gerakan kepedulian yang lembut.
“Filosofi permainan ini mengajarkan kita tentang menyelesaikan masalah tanpa menambah masalah,” terangnya padat. Para peserta nampak tersenyum kecuali aku yang masih gamang dalam kebingungan dan ketololanku. Masih belum kupahami.
“Ada yang bisa menjelaskan kenapa?” lanjut kakak tadi bertanya.
“Karena masalah memang harus diselesaikan bukan dipikirkan!” seru seorang mahasiswi baru. Semua tertawa.
“Hampir benar.”
“Karena satu masalah saja sudah memusingkan apalagi harus poligami terhadap masalah!” seru mahasiswa baru lainnya yang nadanya terdengar mengibul.
“Kalian ini…”
“Maaf kak, kami terlalu keropos untuk menganalisa filosofi seperti itu,” ucap polos kawan seborgolanku. Dia ternyata imut juga dalam urusan suara. Sementara kakak tadi mulai ingin mengakhiri acara pembuka di hari pertama. Dan ada hal yang ingin kuberitahukan padamu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments