Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.
Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.
Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu sedikit, setidaknya lebih dari sepuluh orang. Dan setidak-tidaknya mereka melebihi populasi angkatanku yang di tahun ke-dua, tersisa 6 orang. Kehausan kampus kami akan mahasiswa, membuka pikiran Pak Iwan memunculkan ide kilat.
Mungkin di kampus kalian para mahasiswa baru akan bersaing untuk dipilih. Namun kompetisi itu ditutup jauh-jauh oleh pola pikir Pak Iwan demi impian bersama untuk kampus hijau kami.
Maksudku, aturan-aturan umum dibinasakan Pak Iwan secara hati nurani. Efeknya, di tahun setelahku, Pak Iwan memberi gratis setahun berkuliah bagi dua program studi itu. Itu menjadi siasat indah dalam harapan memajukan kekuatan bahasa dan kecerdasan matematis pemuda-pemudi Sumbawa. Kami pun melakukan blusukan ke sekolah-sekolah tingkat SMA untuk mencari siswa-siswa yang kesulitan biaya perkuliahan sedangkan hati mereka bersorak ingin sekali bisa belajar di sekolah tinggi.
Namun tidak hanya ke sekolah-sekolah, kami juga
terjun perkelompok untuk mempromosikan bentuk kasih sayang itu ke pemuda-pemudi di desa-desa pedalaman. Pak Iwan tidak peduli mereka adalah anak dari keluarga putus sekolah atapun yang belum sempat lulus namun berhenti di persimpangan jalan.
Bagi Pak Iwan, pengabdian ilmunya semenjak pulang dari negeri kangguru memudahkan beliau melampiaskan nurani manis itu ke penjuru Sumbawa. Masa kecil beliau memudahkan jalan menuju kemenangan itu berlangsung pasti. Beliau kupahami sebagai orang yang paling mengerti Pasal UUD 1945 tentang pendidikan yang layak.
Bahkan aturan kasih sayang itu berlaku abadi hingga sekarang meski kampus hijau kami sudah tumbuh besar dan lebih sehat. Namun proses itu akan kita jalani perlahan-lahan dari sini. Dan blusukan berjamaah itu mengantarkanku pada muara persahabatan teraneh di dunia Pendidikan. Jauh dari aturan kaku dan tidak rasional.
“Kau tuliskan mimpi kejauhanmu itu daun muda!” seru tegas seorang dosen berpakaian batik biru dari arah luar pintu asramaku. Hari itu adalah hari pertama aku mengenal Song Jong Ki dari Bima. Namanya Pak Supriadin. Aku sebut saja ‘Sir Bima’ dalam cerita kita sebab beliau berasal dari kota Bima, di propinsi kami. Jika kau bingung, kami tak memberi ‘nickname’.pada dosen. Itu hanya aturan manis yang berlaku bagi mahasiswa asrama saja.
“Apa maksudnya itu?”
“Kita berburu calon mahasiswa sekarang?”
Beliau lebih bergelora dari penampilannya. Tinggi beliau kurang lebih 167 cm. Dan wajahnya mirip Ronaldo versi suku Dompu. Beliau memanjakanku di kemudian hari dengan gaya memimpin yang unik. Gaya itu kusebut ‘Kegelapan dalam cahaya’. Kau tidak akan pernah bisa membedakan saat beliau serius dan bercanda. Namun beliau selalu mengatakan kalau beliau bisa bercanda yang serius dan serius dalam bercanda. Entahlah, jangan tanya aku.
“Kita akan ke Alas?”
“Iya, lebih cepat.”
“Tapi, Pak …”
“Kita akan ke desa-desa dan
menawarkan kuliah gratis untuk mereka.”
Aku sekalipun tidak pernah iri dengan mahasiswa-mahasiswa angkatan di bawahku yang mendapatkan kenyamanan itu. Sejak tahun 2016, Pak Iwan memberikan ketetapan berharga yang tak terukur harganya. Ketetapan yang akan terus bersemayam di brosur kampus kami. Ini nyata dan kau tak akan menemukan rektor lain yang membuka makna pendidikan secara hakiki seperti beliau. Dan Ibu Iga, isteri Pak Iwan yang bernama lengkap Iga Widari, menjadi bidadari pendukung filosofi pendidikan itu. Jangan salahkan aku, Pak Iwan sendiri yang mengatakan bidadari dulu.
Dan Mustaqim, adik mahasiswaku itu, adalah hasil blusukan yang nyata oleh aku dan Sir Bima. Mustaqim dan keempat kawan barunya bernaung di asrama I. Kamar asrama yang hanya beralaskan semen berlapis karpet hijau itu, hadir sebagai pondasi cerita kami hingga menutup separuh kerangka cerita ini.
Saat itu, persahabatan enam kelana terbentuk …
Aku menempelkan daftar ‘nickname’ untuk adik-adik mahasiswaku. Saat pergantian tayang itu dimulai, Hitler serta kakak-kakak tingkatku sudah kembali ke kampung untuk urusan administrasi wisuda mereka. Adapaun nama-nama penghuni baru yang diketuai oleh Big Boss, sempat memusingkan kepala Pak Iwan ketika sekedar lewat membacanya di pintu luar asrama.
Di sini telah terdaftar dalam hati nurani yang berfungsi, nama-nama pejuang pendidikan di asrama I. Semua nama-nama ini berdasarkan pengajuan pemilik badan dan sudah ditandangi oleh ketua dalam materai 6.000.
Big Boss (Bee)
Picolo (Mustaqim)
Harry Potter (Umar)
Snoopy (Satria Purdawansyah)
Zoro (Indra Kusuma)
Takiya (Jamaluddin Afghani)
Jika ada pertanyaan terkait nama-nama tersebut, lebih lanjut bisa menghubungiku setelah cerita komedi-tragedi ini selesai. Maaf, aku berlebihan. Semua nama-nama itu bertransformasi menjadi sebuah anggota pejuang pendidikan bernama ‘6 Kelana.” Kau akan menemukan persaingan pikiran yang elegan antara Alfa Edison dan Albert Einstein milenial di ruangan I nantinya.
Aku menghukum individu sebagai ketua jika ada yang merusak menara impianku dan juga tulisan Macquire milik Bang Alen di dinding atas asrama. Tentu saja, gambar kota Melbourne dan untaian kalimat-kalimat impian itu bahkan lebih berharga daripada dunia dan segala isinya, termasuk kau. Maaf, tapi aku serius.
Begini …
Hari itu kasus pertengkaran intelektual terkonyol mengalir secara anggun ..
Albert Einstein Milenial di asrama kami ialah adik Bang Monday yaitu Picolo, yang namanya sama seperti Mus, sahabatku yang tersisir kerasnya hidup. Ah, andai Mus masih beriringan denganku, pasti panggilan itu akan bersanding di jiwanya.
Picolo yang telah membuatku membaca bahwa manusia itu benar-benar ada ketika mereka berpikir. Ia menjadi tulang punggung kemistisan di asrama kami. Terkadang sosoknya persis figur penyelamat namun bisa juga menjelma menjadi tokoh tercerdas, bila bicara soal “Mengandai-ngandaikan diri dengan semesta!”
Monday adalah ‘nickname’ untuk Bang Solihin yang seangkatan dengan Bang Alen. Dan mereka berdua sudah lulus. Seperti halnya aku dan Mustaqim dulu, mereka juga perpaduan angin dan api yang serasi. Dan selepas perkenalan singkatku tentang ‘6 Kelana nanti, akan ada pengejaran tubuh yang mengorbankan cinta pada Pertiwi.
"Manusia itu meski kecil, lebih hebat dari total besarnya alam semesta,” ujar Picolo berargumen. Tangannya memegang ponsel Vivo 1808. Harry Potter nampak lemas dan pulas setelah seharian mengocok hati nurani terhadap tugas kuliah semalaman. Sementara aku santai berkaca-kaca di cermin kecil.
“Kenapa pemikiran manusia dikatakan penyebab adanya manusia itu sendiri?” respon Zoro yang kupikir sibuk bermain ‘Mobile Legend’. Tak pernah kudapati pendengarannya sehidup itu ketika sibuk bercinta dengan game online.
Aku yang tengah bercermin pun terpancing untuk berpikir. Masa-masa itu, seolah melahirkan ingatanku tentang Mustaqim yang kini berada di negeri Jiran. Sampai tahun itu, belum juga kuterima janji panggilan telepon darinya.
Penyebab kenanganku tentangnya muncul adalah pemikiran-pemikiran aneh dan penuh retorika jujur dari angora-anggota 6 Kelana. Detik itu aku menjatuhkan cermin karena kerinduan pada sahabatku itu muncul seketika.
“Aku pikir cahaya itu kembali pada alasan penciptaan manusia,” ucapku seraya membersihkan pecahan kaca yang jatuh ke lantai.
“Mr melamunkan apa?”
“Big Boss?”
Picolo dan Zoro tersentuh.
“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”
“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.
“Big Boss selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.
Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak berenkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.
Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, meski itu terkadang di luar kapasitas kami sebagai manusia Tuhan.
Ketika pukul 13.00 melekati hari kami, senyum getir Picolo menyentak pandanganku untuk peduli. Seolah menjadi tatapan seorang dukun ketika melayani pengunjung sesat. Ia mungkin terkadang bisa serupa seonggok manusia dengan PHP, ‘Pemberi Harapan Palsu’ rangking TOP dunia. Bicara mengenai tipu daya intim, ia akan bermakna terbohongi secara halus jika kepanjangangannya telah disingkat. PHP tidak memandang ruang dan dimensi. Bahkan mungkin seorang pejabat juga bisa PHP pada rakyatnya.
Satu hal, asrama II dan III juga tak terlepas dari nama-nama topeng itu. Asrama I adalah kelompok ‘6 Kelana’ karena kami semua suka berpikir kemana-mana. Asrama II adalah kelompok ‘Black Pink’ karena mereka lebih tampan dan polos dari kelompok asrama lain. Terakhir, asrama III adalah kelompok
‘Berandal Syari’ah karena jiwa dan raga begitu mencintai Agama Islam meski wajah-wajah mereka penuh dengan penderitaan alami.
Kalian tak perlu merasa buruk akan nama-nama pengganti kami. Di asrama II dan III, ‘nickname’ mereka jauh lebih parah lagi. Banyak yang mengambil nama tokoh-tokoh perubahan di bidangnya masing-masing seperti Bill Gates, Umar Khatab, Soekarno, Buya Hamka dan lainnya. Bahkan tidak sedikit yang menamakan diri selayaknya tokoh film seperti Lintang di film Laskar Pelangi. Yang lainnya ialah Yoo Sie Jin, IP Man, Mr.Crab, Monkey. D. Luffy, dan adapula Pinocio. Apapun nama penamaan itu, ‘Amak Toak’ milik Bang Ari akan selalu jadi legenda.
Aku menyaksikan sendiri dengan aluanan mata, ternyata anggotaku mengukir sejarah dengan bercerita tentang diri mereka yang beberapa waktu lalu, sempat merasa di beri harapan palsu oleh dosen. Meski sebenarnya itu hanya argumen ketdakrealaan hati jantan mereka.
Siang itu, waktu Picolo mulai merasa heran dengan waktu, ia bertanya padaku, “Big Boss, kau tak menjemput ilmu hari ini? Sekarang jam berapa?”
Mendengar pertanyaan itu, aku langsung berganti tayang ke kamar ganti. Lantas tubuh Picolo yang agak gempal menindaklanjuti sanggahanku dengan lontaran kalimat, “Kita masuk jam satu, Big Boss!”
“Oh?”
“Iya, kita ada pergantian jam, Mr!”
“Apakah Albert Einsten pernah mengajarkan kita kalau waktu bisa diganti?”
“Bisa kok! Caranya tanya tidur lagi dan bangun selepas ashar,” ujar Takiya yang tiba-tiba menampakkan karisma Philipus Brownnya.
Ketika itupula Harry Poter bangun dan menghampiriku. Dengan aura bringasnya, ia menunjukan akan kesambungan tujuan kecil hidupnya, yakni: membangunkan si Philipus Brown kecil. Maka Harry Potter benar-benar tak mengandung cinta, ia menarik kaki Takiya secara vertikal hingga tubuh pecinta wanita itu runtuh ke lantai.
“Bercanda kau jelek, Harry Potter,” gerutu kecil Takiya.
“Haha, hidup adalah untuk saling mengingatkan. Kasur dan lantai juga rendah, apa mungkin sakit?” kata Harry Potter membela diri.
“Picolo, Harry Potter, sekarang jam satu kurang lima!” seruku mengingatkan mereka. Lantas secepat buroq ketiga juniorku itu berlari tergopoh-gopoh ke kamar mandi sambil mencaci diri sendiri karena tak menghargai waktu. Sementara Zoro dan Snoopy telah berangkat 15 menit sebelumnya.
Lima menit bergulir …
“Apa seperti itu definisi mandi?” seruku dengan aksen dibuat-dibuat.
“It is the best broken!” seru Takiya.
“Itu ‘semantic’nya apa?” Picolo membeludak sambil jemari berbulunya setia mengait kancing baju satu sama lain. Aku bahkan menginjak segitiga hijau milik Harry Potter.
“Ngomong opo to brother?” aku merespon Bahasa Inggris Zoro yang kacau sebelumnya.
“Amazing fantastis!” tambah Harry Potter semakin gelap seraya terus mengganti pakaian secepat aliran petir.
“Tak heran kenapa bahasa Inggris disebut-sebut sebagai ‘Bahasa Lebay, group!” Zoro nampak mulai selesai dengan ikat pinggangnya yang berwarna pink fanta.
“Mengapa Bahasa Inggrs harus dilebay-lebay kan?” tanya Picolo cerdas.
“Justru itu lah letak kegilaan bahasanya, Big Boss!” ujar Harry Potter. “Seperti ucapan Mr. Bee, orang gila dan orang sukes itu beda tipis!”
“Apa hubungannya dengan bahasa?” tanyaku kemudian.
“Itu adalah sebuah permakluman di mana IQ mereka memang jongkok di bawah mata jempol kaki, Mr. Bee,” ejek Zoro puas.
“Biar IQ bobrok, yang penting kesetiaanku bisa teruji di zaman manapun ... setinggi langit ke-tujuh!” sanggah Picolo.
Percakapan gila itu cukup membuat sang waktu ternoda. Tanpa disadari, kami nyengir-nyengir sendiri karena hanya untuk berdebat hal konyol nun berkualitas saja, memakai lebih dari lima belas menit.
“Kalian semua penjahat anggun dan tidak beradab!” umpatku kemudian.
Tatapan mereka membisu serempak.
“Iya, kalian telah menghianati Sang Pencipta waktu! Dimana ******** kalian? Atau jangan-jangan, kalian tidak punya ******** selama ini?” ujarku sembari berakting layaknya penyair kelas dunia.
“Jangan puitiss!” ucap mereka berjamaah.
Mendadak kami sadar kalau waktu mulau terkikis. Kami berangkat. Tentu saja rasa iri itu sedikit terbesit. Selalu terjadi, ketika akan berkuliah, aku kembali menjadi sel jantan satu-satunya jika keluar dari asrama. Aku harus mengurusi intelektual para bidadari budiman seangakatanku. Sementara anggota 6 Kelana lainnya memasuki dunia argumentasi secara bersama-sama.
Namun pikiran normalku sirna ketika masih di pintu depan dan belum sempat memakai sepatu, tiba-tiba aku menerima pesan whatsup messangger dari Sir Bima.
“Ampun!”
“Ada apa Big Boss?” Picolo bertanya pertama kali. Aku membiarkan Zoro membaca pesan itu yang ternyata berlaku untuk semua semester.
Hari ini Pak berhalangan masuk. Diganti selasa pagi, oke? Tepat waktu ya?
“Yaahh!!” keluh Picolo dan Harry Potter. Aku kembali nyengir dan menyeringai tak karuan. Perutku sakit dan terus saja kulihat raut anak-anak muda itu bertansformasi menjadi muram.
“Humm … kita sudah keren-keren begini, mandi lima menit, tak makan siang, buru-buru mencari underware yang bahkan tak sempat kucuci, tapi apa? Dosen kita? Pahlawan tanpa tanda biaya ... tega PHP-in kita?”
“Anak lidah kau berlebihan,” aku mengkritik ucapan Harry Potter yang mendadak memakai aksen batak.
Yah, waktu adalah ketidakpastian yang besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments