DERET 10

Setiap bulan Ramadhan kami selalu berkumpul untuk sidang akhirat di mushola kampus kami. Maksudku ‘mudhakaroh’. Dan khusus untuk Ramadan di tahun 2017 waktu itu, kami membicarakan sebuah pentas seni. Kampus kami mengadakan pentas seni pertama dalam sejarah pembangunan.

Menjelang ahir pertengahan 2017, sebelum pengiriman mahasiswa tim debat ke Bali dan perencanaan pesta seni itu mengundang daya tarik tokoh-tokoh Sumbawa, kami sekeluarga rumah hijau harus berkumpul untuk masa akreditasi. Masa itu memakan banyak tenaga. Semua hasil dari penyatuan energi selama seminggu waktu tentu saja berbuah manis. Kampus kami akhirnya mendapat akreditasi B.

Para ‘supervisor’ yang adalah para professor dari Universitas Mataram, hadir sebagai penilai semua syarat-syarat akreditasi. Meski saat itu, kerangka bangunan masih dalam tahap pembangunan, poin B itu bertengger kokoh di organ-organ kampus kami. Meski sayangnya, itu hanya berlaku bagi Program Studi Bahasa Inggris. Untuk Prodi Matematika masih lah bertahan pada akreditasi C. Namun itu tidak memupus kekeluargaan atau semangat bersatu kami untuk perubahan.

Hingga tiba masa pemilihan Presiden Mahasiswa yang baru untuk tahun 2017-2018, aku dipromosikan sebagai calon. Namun aku meminta pada Sir Batak sebagai Ketua Puket III pengganti Pak Suparman, untuk memilih calon berdasarkan kepekaan nurani masing-masing. Alasannya, aku teringat pesan Mus untuk menyelesaikan cerita impian kami dan menceritakan tentangnya pada adik-adik mahasiswa. Sebagai pribadi ‘introvert’ aku merasa sangat tidak bijak dalam mengolah orang lain untuk dipimpin. Saat itu, salah satu anggota 6 Kelana mengajukan diri. Ia adalah Zoro.

Kau bisa memahami? Ketika kita sudah sampai di bagian yang belum apa-apa ini, aku sudah menyusun ‘manuskrip’ cerita kampus fiksi pada saat itu. Aku hanya selalu setia dengan mimpiku dan Mus. Kami akan reinkarnasi diri kami seperti Bang Alen dan Monday di episode masa depan. Jika Mus tak bisa kutemui maka Picolo akan menjadi pendampingku menjumpainya. Picolo juga sempat berkata padaku, “Aku akan berada di atas kakakku, Big Bos!”

“Apa hidup selalu sesuai dengan keinginan kita, Picolo?” aku mencoba menyindir semangatnya dalam bentuk tes psikologi amatir. Waktu itu kami duduk di gubuk kecil di dekat kampus kami.

“Aku tidak peduli!” balasnya kemudian dengan nada gesit. “Kita boleh gagal seribu kali, tapi jangan pernah menyerah walau hanya sekali!”

Aura merah Picolo membungkam sanubariku. Tak pernah kusaksikan ia layaknya permata hijau di Laut Merah.

“Picolo, apa kau tahu bahwa aku juga memiliki sahabat bernama mirip denganmu dulu?”

“Benarkah? Lalu Big Bos, apa hubungannya denganku?”

“Ya ampun, kau ini tidak pernah peka rupanya. Kapan-kapan, kau harus menemaniku mengirimi puisi aneh untuk pembicara terbaik di seleksi debat lalu.”

“Kawan semesterku?”

“Hajar Aswad!”

“Bukan.”

“Oh?”

“Itu hanya nama sebutan seperti kita saja.”

“Lalu?”

“Kau bisa tebak lah!”

Picolo terbesit dan mulai serius,

“Via!”

“Via Vallen?”

“Bukan …”

“Via. Ya, hanya itu.”

“Hanya itu?”

“Iya, tentu saja.”

“Hem, baiklah. Aku akan tetap memanggilnya Hajar.”

“Jadi, kapan puisinya dibuat?”

“Sekarang.”

“Bisa dalam semenit?”

“Aku sudah biasa.”

Dan puisi itu membulir lepas ke udara kerinduanku pada sosoknya. Ya, aku benar-benar tak bisa membohongimu sekarang. Aku jatuh cinta pada kebijaksanaan dan kecerdasan gadis itu. Ketika sekali berjumpa di bandara, suaranya mirip seperti ‘native speaker’ untuk suara wanita di ‘listening’ tes TOFL ataupun ‘IELTS’. Dan itu adalah tipe suara wanitaku. Kau boleh menertawakanku sekarang.

Sebelum hari menuju perjuangan asmara itu tiba, aku akan sedikit menceritakan apa yang perlu dirincikan di sini. Kau perlu bersabar sedikit untuk penderitaan yang akan kualami. Baik, aku mulai.

Setelah kabar pergantian Puket III itu bersarang liar di telingaku, saat itu pula kesedihan hinggap di pangkal nuraniku. Pak Suparman … meninggalkan rumah hijau kami sementara untuk kelanjutan pendidikan tingginya menuju doctoral. Hari itu kami mendapat ide dari beliau untuk rancangan kegiatan mahasiswa. Kami mengikuti kontes menulis tulisan ilmiah dan membuat tim untuk Program Hibah Bina Desa (sekarang berganti menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa).

Kekayaan Pulau Ngali akan teripangnya, melahirkan keberhasilan yang semakin melejitkan nama rumah hijau kami di kanca nasional. Perubahan bentuk berburu dari menyelam ke pengembangbiakan bertajuk jangka panjang menjadi tema yang kami angkat. Dosen pembimbing kami adalah Pak Umar, sahabat Pak Suparman. Pengalaman asam manis menjadi seorang anak pesisir di Pulau Ngali, membuat Pak Suparman mudah memberi masukan nyata pada kami dari jarak jauh. PHBD pertama saat itu diikuti Zoro, Tridayani, Roger, dan juga aku.

Kami hanya bermodalkan nekad dan pengalaman nyata yang sederhana. Bahkan ketika kami turun kaki langsung ke Pulau Ngali, kami mendapat sesosok ayah sebagai narasumber di situ. Beliau adalah nelayan sekaligus ayah dari dosenku yang memiliki ide untuk proposal kami itu. Siapa sangka seorang yang dulunya adalah anak pesisir miskin itu kini telah bermetamorfosa menjadi lelaki berprestasi hingga jenjang doktoral. Dan kala itu, Bung Super, sebutan untukku pada beliau, tengah memulai pendidikan S3 di Universitas Udayana Bali.

Bung Super mungkin tak sehebat Bang Alen yang juga adalah mahasiswanya. Namun Kepekaan beliau untuk berkasih sayang terhadap anak didiknya, merasuk lembut ke dalam tiap-tiap inci pikiran kami. Filosofi kasih sayang dalam pendidikan itulah yang juga menjadi ruh Bang Alen menuju Macquarie. Dan ruh filosofi itu berakar dari Pak Iwan, ayahanda kami bersama.

Kau ingat, perkataan sahabatku Mus di mata kuliah Bu Iga ... di semester awal dulu? Mus juga pernah mengumandangkan ruh filosofi pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara dan harapan beliau. Ya, Socrates remaja itu seakan selalu hadir dalam tiap langkah ceritaku di rumah hijau.

Dan ruh itu juga yang mengantarkan kami meraih juara dalam pengakuan proposal PHBD pertama. Kami membuka pencarian daftar nama kampus di internet untuk penerimaan proposal oleh pemerintah. Kampus kerdil kami yang belum matang berhasil meraup puncak. Kami pun didanai sesuai jumlah yang tertera pada rancangan proposal kami. Dana itu bertotalkan Rp 45.000.000.

Tridayani sebagai satu-satunya kepingan kaum hawa, mengurus rencana manajemen dana itu. Kami membuat jaket kegiatan pertama kami dalam seri nasional. Jaket hitam lengkap dengan nama di dada dan lambang STKIP Paracendekia NW Sumbawa, juga akan terpakai di seminar nasional pertama kami di Bali. Seminar itu untuk mempertanggungjawabkan proposal kami di hadapan orang-orang penting itu.

Teripang, telah menghidupi akal pikiran kami saat itu sebagai unsur kesegaran ide. Teripang adalah timun laut yang lebih disangka orang-orang sebagai jenis tanaman laut. Teripang menjadi kekayaan alam Sumbawa sebagai hewan laut yang juga dibutuhkan konsumen-konsumen di Australia untuk pengolahan makanan dan juga obat herbal. Perburuan liar akan teripang oleh sebab harganya yang mahal, membuat keberadaannya semakin dikhawatirkan.

Itulah alasan tema proposal dari pikiran langsung anak Pulau Ngali yang kini menjadi dosenku itu, berhasil menghentikan perburuan liar pada teripang. Lalu sisa dana itu masuk ke dalam ketiak kantong kami masing-masing. Aku memakainya untuk membayar SPP semester lima dan biaya asrama yang hanya seratus ribu per bulannya.

Jika aku beralih pada pengadaan pentas seni itu, maka akan sangat jauh dari titik cerita kita sekarang. Kau harus menelan manis sebentar sebelum benar-benar masuk ke dalam kekejamannya. Kau bisa menganggap kalimatku sebagai lawakan.

Dan dalam urutan kejadiannya, seminar PHBD dan keberangkatan tim debat pilihan dari hasil karantina selama sebulan harus diputuskan sejalan. Maksudku, ketidakrelaan itu mulai terjadi sebulan kemudian. Dan sebelum ke sana, aku akan menyuguhi alur dewasa dari cerita sebagai sebuah urutan.

***

Setelah rehat beberapa hari usai kembali dari Pulau Kecil itu, aku mengajak Picolo untuk menemukan si Hajar Aswad diam-diam. Waktu kuliah untuk semester Picolo adalah pukul 02.00 siang. Jadi rencana itu berlangsung di sore hari ketika mega-mega dilintasi burung-burung sawah yang eksotis.

Aku berpikir hanya perlu menitipkan puisi itu pada Picolo. Mengingat dia sekelas dengan gadis itu. Tapi aku ingin gadis itu menerimanya dari telapak tanganku yang sunyi dan apa adanya. Sorenya pun, aku menanti di gubuk kecil di samping kampus kami. Aku mengirim pesan pada Picolo untuk membawa gadis itu ke tempatku. Namun harapan itu hanyut oleh buah rencana Zoro sebagai Presiden Mahasiswa.

“Big Bos, perkuliahan kami usai. Tapi ketua BEM kita meminta berkumpul sekarang di lapangan,” kata Picolo di telepon.

“Baik, kita ke sana.”

Dalam perkumpulan itu, aku cukup bahagia dengan jumlah mahasiswa-mahasiswi Paracendekia yang kian tahun bertambah pesat. Aku meladeni tugas Zoro sebagai ketua yang harus dihormati. Ia menjadi pria berkarisma yang santai dalam memimpin. Ia memberi kebebasan pada teman-teman dan adik-adik semesternya bukan sebagai bawahan.

Dan rupanya ia mengangkat pembahasan tentang pentas seni pertama kami. Ya, ia memintaku menulis naskah drama sekaligus puisi untuk ‘transkrip’nya. Aku berpikir seharusnya mahasiswi lebih berjiwa halus dalam urusan seperti itu.

“Big Bos, kau lebih berpengalaman dalam hal krusial seperti itu,” terang Zoro penuh keyakinan.

Dia memang selalu pandai menyentuh titik vital hatiku. Dia seolah telah hafal daya psikologiku. Dan dia sungguh terampil memainkan emosional dalam memimpin diskusi santai sore itu.

“Baik, ini akan menjadi pentas seni pertama kita. Kita tak ingin keberhasilan kakak-kakak kita di PHBD menjadi satu-satunya pergerakan bukan? Kita harus lebih panas dan hidup dari biasanya. Hidup mahasiswa!”

“Hidup mahasiswa!” balas serentak semuanya.

Di awal-awal kepemimpinannya, Zoro selalu diam-diam meminta nasehat dan kritik untuk rencana-rencana mematikannya. Ah, aku bahkan tidak ingin menjadi ketua. Namun seakan ia lebih memahamiku daripada diriku sendiri, ia tetap mengajukan beberapa lapis pertanyaan.

“Kau tidak sakit hati, Big Bos?” katanya padaku suatu hari.

“Tentang apa itu?”

“Adik-adik paracendekia selalu membicarakan sikap kritismu layaknya seorang pengamat politik.”

“Aku tidak peduli. Itu hak mereka, kan? Aku memang suka menjadi pengamat pendidikan,” kataku pelan.

Zoro tak berkutat sesaat.

“Kalau begitu, kita jadikan puisimu untuk Hajar Aswad sebagai bagian dari dramamu.”

“Oh? Bagaimana kau …”

“Picolo yang membocorkannya padaku. Ah, sudahlah. Ini adalah tugas kami sebagai anggota 6 Kelana untuk membantu. Bukan begitu?”

Aku melukis senyum dan pentas seni itu tidak hanya menjadi sebuah panggung fiksi. Di balik itu, drama itu juga bermain peran sebagai penyambung hubungan batinku dengan Via. Aku tak ingin jatuh cinta padanya dengan cara yang amatir. Selebihnya, Zoro menempelkan daftar nama dan tugas masing-masing mahasiswa-mahasiswi yang bersedia tampil.

Dan sekali lagi, cinta membuktikan kekuatannya. Ah, cinta! Aku tak akan mempermainkan atau meminta uluran cintanya kembali. Yang kuharapkan hanya bisa menerobos hatinya agar mengetahui cinta orang biasa sepertiku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!