DERET 8

Kertas bertuliskan Macquire di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.

Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud. Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.

Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau boleh memiliki impian yang lebih gila dari kami.

Dan kegilaan itu seakan berapi-api sebab kabar perpisahan itu benar-benar fakta. Intan berlian asrama kami telah menghilang. Lelaki paling misterius namun paling konyol itu sudah meniadakan diri dari ruang hijau kesederhanaan asrama. Dan aku hanya memaku cukup lama.

“Halo, Big Boss! Ini Picolo,” seketika ponsel android baruku bersua.

“Yes, I am here.”

“Have you heared that news? Are you sure want to be here for staying?”

Aku dibuat termenung kembali.

“Seharusnya ada yang bisa mengerti cara terbodoh menuju Surga, Picolo!”

Aku juga tidak tahu maksud kalimatku.

“Mr, kami sedang di perjalanan menuju Bandara. Pesawat menuju Mecquire akan segera berangkat lima belas menit lagi. Pak Iwan, dosen-dosen lain, dan beberapa mahasiswa-mahasiswi dari semua angkatan bertepuk kaki di bandara,” terang Picolo bersama suara angin kendaraan yang merayap ke dalam pori-pori sinyal.

“Iya, aku akan ke sana secepat ‘Angin paris’. Mungkin butuh sepuluh menit.”

Jarak Bukit Tinggi, tempat kampus kami menuju bandara Sumbawa Besar tidaklah terlalu jauh. Dengan mengendarai sepeda motor buntut, aku menghamburkan karbondioksida lebih banyak dari biasanya. Hari itu benar-benar menjadi pemicu trauma baru sebagai perpisahan kedua.

Aku tiba di bandara dua puluh menit setelahnya dan menyaksikan kilauan-kilauan cendekia berbaris, bermunajat atas keberangkatan lelaki berjenggot sedang itu. Mereka adalah Pak Iwan serta yang lainnya. Bang Alen mungkin kecewa dengan diriku yang selalu gagal mengahalau waktu. Aku selalu kalah oleh detik-detik krusial. Sama halnya ketika aku terlambat dua kali di acara orientasi mahasiswa baru.

Setelah burung putih Air Lion melayang di separuh udara, aku tidak lagi mengharapkan diriku terlihat oleh mereka. Aku kembali dan sontak terlejit pundakku ke belakang oleh sapuan cepat seorang gadis.

“Maaf … mr! Aku buru-buru. Pesawatnya sudah berangkat?”

Lapisan korneaku seakan teriris situasi itu. Pertanyaan itu menyadarkan kalau selalu ada yang terlambat dari diriku. Dan gadis berjilbab zebra itu masih menatapku manis.

“Kau suka memakai corak hewan?” tanyaku membuka kecanggungan sesaat.

Dia masih bingung.

“Itu,” lanjutku datar dan menunjuk ke arah jilbabnya.

“Ah, iya … ini maksudnya ..”

“Warna kotak-kotak hitam dan putih seperti zebra cross.”

Dia hanya senyum dan kemudian memiringkan bola matanya ke arah samping. Menatap kembali keluarga rumah hijau yang masih menatap kepergian Bang Alen. Aku pikir gadis itu lebih peduli daripada aku. Dia bahkan tak begitu mengenal Bang Alen. Kurasa Bang Alen memiliki saluran hubungan emosional yang sangat baik dengan siapapun. Ia bisa menjadi mahasiswa terbaik saat itu.

Beliau sempat menghilang setelah acara OSPEK adik mahasiswaku tahun itu. Ketika aku bertanya pada Pak Iwan, beliau mengatakan kalau Bang Alen tengah menjalani masa pelatihan tiga bulan di Bali.

“Untuk pelatihan bukankah harus lulus tes TOFL dan melamar beasiswa dulu?” tanyaku di suatu malam yang pedas pada Pak Iwan di rumahnya.

“Alen sudah lulus tes sejak kalian libur semester genap,” kata Pak Iwan mantap.

“Tapi …”

“Ia mengalahkan pesaing dari UI dalam perebutan skor TOFL maupun beasiswa ke Australia.”

“Itu … benar-benar realita, kan?”

“Melebihi angka 600!”

“Skor?”

Pak Iwan mengiyakan.

“Picolo adik semestermu juga abangnya akan berangkat dua bulan lagi setelah selesai pelatihan.”

“Oh?”

“Si Monday!”

“Jadi, Bang Solihin itu saudara laki-laki Picolo?”

Dua manusia luar biasa itu benar-benar tidak pernah memberitahu ataupun memamerkan keberhasilan mereka sebelumnya. Seolah mereka ingin adik-adik asramanya mengetahui tanpa diberitahu. Dan kepekaanku atas perjuangan tersembunyi mereka menyentak ingatanku tentang kekonyolan mereka. Aku memang baru mengenal mereka setahun lamanya dan tidak terlalu penasaran pada daya intelektual dan jiwa perjuangan mereka. Dan seketika malam itu, aku teringat Mus sekali lagi.

Baiklah, kita kembali ke adegan tatap-menatap tadi. Si gadis malah menghapus pandangannya ke arahku dan berlari gontai menuju ‘paracendekia’ di lapangan bandara. Aku menghamburkan pikiran untuk bertanya padanya.

“Kau ke sini naik apa?”

Dia menghentikan laju imutnya.

“Aku, em ... naik ojek mr!”

Dia melanjutkan gerakan kaki ke arah bandara.

“Akan sia-sia saja eksistensimu di sana,” kataku tidak menyerah. “Lebih baik kita kembali. Lihatlah! Mereka sudah akan pulang.”

Raut paras cantiknya nampak belum menyetujui.

“Kalau begitu aku pulang dengan mereka!”

“Tidak, kau akan jadi beban!”

“Oh?”

“Benar. Kau harus mengikuti apa kata Big Bos!”

“Siapa itu?”

“Kau tak perlu tahu. Kau boleh kembali ke asrama kampus bersamaku jika ingin lebih cepat memasak untuk makan siang.”

Dan ia melarikan diri kembali ke arahku. Ketika sampai, aku mengatakan padanya untuk tidak memberitahu siapapun kalau aku datang ke bandara.

“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”

“Oh? Maksudnya?”

“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri. Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.

Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.

Dan gadis itu juga yang akan mengajarkan filosofi hidup nan fantastis padaku sebagai bumbu alur kisah ini. Ya, dia hadir sebagai setetes bidadari bawel yang menggemaskan perjalananku. Aku tidak mengatakan pacaran padamu. Aku tidak pernah ingin bermain-main atas nama cinta. Ah, kau akan tahu sendiri nanti di semester selanjutnya. Entah Mus akan menerima tulisan cerita ini atau tidak nantinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!