DERET 4

Aku tidak mendapatkan cahaya ide sebagai alasan kepergian Mus pada teman-teman seangkatanku. Mereka pikir ada pertengkaran di antara garis kemiskinan kami. Selepas kepergian itu, aku menjadi satu-satunya penjantan tangguh yang tersisa hingga akhir semester. 

Bahkan Pak Iwan langsung menjebolku dengan seri pertanyaan berlapis-lapis. Aku kehilangan kemudi diri beberapa minggu setelah kalimat terakhir Mus padaku berkumandang. Kertas yang mengandung seratus impian itu, kutempel di dinding asrama sesuai permohonan merdunya. 

Aku bahkan menggambar kota Melbourne di kertas lain sebagai pendamping. Entahlah, bagiku menembus Melbourne sebagai cakrawala ke tujuh adalah

mutlak. Aku tidak peduli gonggongan-gonggongan kejam saat itu.

Beberapa mencap gairahku dalam sehelai kertas lusuh itu hanya manipulasi. Namun hari demi hari semua menerima deretan impian dan sketsa Melbourne itu sebagai suatu kebiasaan yang terlihat mata. 

Maaf, aku harap setelah ini kau tahan dengan gaya berceritaku yang sedikit berkode metafora. Aku tahu kau cerdas. Lebih daripada bayanganku. Kau harus mengerti ini sejak awal, bahwa setiap tahun perubahan itu datang dan menjadi bingkai harapan kampus kami. 

Di semester kedua aku mulai terbiasa dengan ketiadaan Socrates remaja itu. Selama enam bulan terakhir belum kuterima panggilan telepon darinya. Kelas kami bahkan menjadi lebih liar ketika hanya aku seorang diri bergelar jantan.

Galaksi kecerdasan itu redup sejak aura lelaki keriting kering itu berkelana. Aku bahkan sudah melupakan filosofi bokong sapi sebelumnya. Hidup memang selalu semulus itu.

Enam bulan di tingkat selanjutnya, kampus kami barulah memiliki dinding nama. Setiap kali sepeda tuaku menapak diri di permulaan masuk, papan hijau persegi panjang dan melengkung bertuliskan ,”STKIP Paracendekia NW Sumbawa” menjadi yang pertama kali terlihat.

Hanya saja, kerangka bangunan tempat aku dan Mus memahat mimpi belumlah matang. Aku teringat di hari ketiga Mus memutuskan menginap di asramaku. Kami pun tidur di atas bangunan belum utuh itu malam harinya tanpa sepengetahuan Pak Iwan. 

Di suatu sore hari selepas berkuliah sebelum berpisah, kami menghayati hidup sepuas-puasnya …

“Jika dilihat dari atas sini, pemandangan alam nan hijau mulai hilang, Bee!”

“Alam memang selalu lebih benar daripada manusia,” kataku menyahut hipotesisnya saat itu. “Manusia tidak akan tahu jati dirinya jika melupakan tanah kelahiran, kan?”

“Kau salah.”

“Oh?”

“Perubahan itu adalah bukti nyata dari adanya kehidupan.”

“Jadi?”

“Kita akan menembus cakrawala ke tujuh!”

“Aku belum paham, Mus.”

“Melbourne dan Sidney. Bukankah kaubilang ingin ke sana?”

“Aku tidak yakin.”

“Jika pesimis sejak awal, lebih baik berhenti sebelum waktumu menjadi tisu bekas pakai.”

“Yah, itu filosofi apa lagi?”

“Aku sedang tidak berfilosofi!”

“Sudahlah! Ini sudah akan malam. Nanti kita lanjutkan. Kau tak ingin mengumandangkan adzan pertamamu di mushola kecil kita?”

Mus hanya mengangguk. Kami meminta izin pada pengurus mushola untuk adzan sekali seumur hidup kami di kampus itu. Sholat berjamaah untuk menggapai wajah Ilahi, diiringi jamaah sesak dari mahasiswa-mahasiswa UTS juga.

Sementara mahasiswi sholat di kamar asrama masing-masing. Tentu saja mushola kecil itu tak akan tahan menampung luapan manusia berbeda kelamin dalam jumlah sekian lusin. Dan Bang Alen selalu mengimami sholat sebelum akhirnya menjejal kaki Macquarie. Itu adalah pencapaian yang membuatku semakin penasaran padanya sejak pertemuan awal. 

Di antara teman-teman asrama dan kakak-kakak tingkatku yang penuh kegilaan dan candaan, Bang Alen adalah yang paling bisa menaruh sebutir impian kecil bersamaku. Beberapa bulan setelah kertas impian dan kota Melbourne yang kugambar dengan pensil itu berkarat, Bang Alen menempelkan mimpinya bergandengan.

Tembok asramaku yang lembab membuat kertas impian itu menguning di sisi-sisinya. Aku teringat pesan Mus untuk tidak mencabutnya sebelum lulus. Aku mulai khawatir karena waktu itu bahkan belum setahun bagiku. Namun Bang Alen menghiasi kuning berlumut itu dengan tulisan besar impiannya di kertas HVS. 

“Macquarie!” serunya bangga setelah menempelkan kertas impiannya tinggi-tinggi di sudut tembok. Bersebelahan dengan kertas dan gambar lusuhku.

“Your dream is too high, Brother!” kataku dengan sok bahasa Inggris sebagai pemula.

“Just catch up the dream with pleasure, Bee,” katanya menjadi yang terakhir aku dengar.   

Asrama kampusku yang memanjang merodai bangunan kampus dan menjadi batas kampusku sangatlah sederhana. Dinding-dindingnya dibangun dari kombinasi batu-bata serta triplek bercat hijau sebagai penutup sisi ruang depan. Warna hijau yang juga adalah warna bangunan kampus kami. “Kampus Hijau” adalah nama yang akan terdengar baru sebagai stok lama di telinga para orang-orang bergelar di kemudian hari. 

Aku lanjutkan sebentar. Setiap ruang asrama memiliki sekat dari kayu yang dicat putih. Penutup bawah di bagian dinding luar adalah pagar-pagar yang tersusun pendek. Di bagian atas pagar-pagar kecil itu melintang lebar dinding dari triplek yang memiliki masing-masing nama. Setiap ruang asrama memiliki nama-nama yang berbeda. Dari asrama satu hingga asrama tiga secara berturut-turut bertuliskan, “England, Australia, dan New Zealand.”

Nama-nama itu sudah lahir sebelum kehadiranku di kampus hijau. Pak Iwan dan isterinya paham betul sesuatu yang bisa menggelitik pola pikir mahasiswanya. Dan satu lagi, ada satu pintu dari kayu yang dilapisi seng sedangkan bagian atasnya terbuka.

Sementara asrama mahasiswi yang berada lurus dari asrama pria, hanya pintu luarnya saja yang menjadi pembeda. Tentu saja, pintu itu tertutup atas dan bawah sebagai sebuah penanda akhir dari penutupan diri. Kau paham alasannya.

Di samping asrama pria, berjejer mesra toilet-toilet beraroma paling unik sedunia. Tenang saja, kau tidak akan menghirup asamnya Raflesia Arnoldi di sini. Namun toilet berharga itu tidak lebih baik dari toilet penjara di Jakarta untuk para koruptor. Dan di samping toilet khas itu, rumah Pak Iwan dan serta asrama dosen-dosen yang budiman, menghiasi deretan selanjutnya.

Baiklah, aku lanjutkan. Waktu itu melewati pukul 08.00 malam dan telingaku sudah harus siap siaga mendengar curahan imajinasi dari otak Mustaqim. Malam itu adalah sebulan sebelum perpisahan itu terhias.

Di atas sisi bangunan berkerangka itu, kami berbaring di bawah bantal dan beralaskan lantai bersemen sambil bercerita tentang impian dan kemungkinan-kemungkinan hidup. Jika kau bertanya, maka benar, termasuk gadis-gadis. 

“Kenapa tidak berhasrat tidur di asramaku?”

“Aku lebih senang seperti ini, Bee. Menatap langit sering-sering bisa membuatmu cerdas.”

“Apa iya?”

“Entahlah.”

“Ahh..”

Entah kenapa Mus tiba-tiba merubah khayalan keruh kami malam itu. Ia memperlihatkan tugas essainya untuk Pak Iwan padaku. Ada keraguan terselubung di keningku untuk sekedar membacanya.

“Gelap, Mus!”

“Oke!” seruku setelah tahu ternyata ia mempersiapkan senter kecil yang biasa ia pakai berburu ‘ikan dole’.

Kehidupan alami nun manusiawi. Cinta dan kisah yang bereinkarnasi menuju wujud daya impian berlapis koper pendidikan dalam balutan intelegensi dan montoknya persahabatan. Aku yang seorang anak pantai kencana miskin dengan perkakas khayalan bodoh untuk terbang ke Unversitas Sidney, masih saja dungu dan terdiam merdu di balik kerangka bangunan pendidikan.

Yah, sebuah kampus hijau sederhana dan belum matang. Bahkan lebih goyah daripada bangunan Sekolah Menengah Atas. Dan hari itu adalah hari awal aku mengikuti kegiatan OSPEK paling sederhana di muka bumi. 

Sebelumnya, aku tak iri pada kalian yang bisa bahagia sekarang, bangga bisa bersetubuh dengan kampus-kampus besar seperti UI, UGM, ITB, dan semua yang seperti itu. Mungkin aku kurangajar mendesak hati nurani kalian bermain ketapel berwujud perubahan hidup di kampus ini. Namun bersabarlah, sebab selain diriku yang wajib memperkosa diri untuk menembus batas langit harapan, ada juga cinta terlarang yang bernada cita-cita, dan perpisahan berlapis untuk seorang sahabatku akan segala kemurnian kasih sayangnya untuk kehidupan.

“Mus, ini bukan essai.”

“Memang bukan,” jawab Mus santai. “Itu adalah prolog sederhana dari novel yang akan kutulis.”

“Kau mengambil ide dari kampus ini?”

“Iya, kenapa?”

“Apa dunia akan menerima cerita miskin seperti ini?” aku sengaja memancing pemikirannya.

“Kau tidak tahu bahwa dunia bisa lebih sederhana daripada cerita ini nantinya,” terang Mus percaya diri.

“Begitu … baiklah. Aku ingin kau menulisnya dengan jujur dan sederhana.”

“Tidak akan!”

“Lalu prolog ini untuk apa?”

“Aku ingin kau yang menulisnya,” Mus nampak benderang.

“Aku tidak bisa menulis.”

“Kau lebih dari yang kaupikirkan. Andai aku bisa di sini hingga titik akhir, mungkin akan lain ceritanya. Tapi di sini hanya kau yang akan mengetahui ceritanya sampai usai.”

“Tapi kenapa? Apa ini maksud perpisahan yang kauterangkan di paragraf  terakhir tulisan? Aku bertubi-tubi seraya menunjukan maksudku.

“Nanti kau paham,” tutup Mus dan langsung terpulas. 

Malam itu masih kuanggap itu hanya lanturan konyolnya semata. Andai kutahu semua anak kalimatnya benar, aku tidak akan mengajaknya bolos hanya untuk bisa bermain ke kampus tetangga sore itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!