DERET 12

Seminggu setelah pelampiasan drama itu sedikit mendekatkan kimia asmara antara aku dan Hajar, timbunan masalah itu muncul sebagai tali merah cerita ini. Ya, kisah yang akan kukirim juga pada Mus andai ku mampu meraih negeri kangguru. Jika tidak, maka aku akan kehilangan dia selama-lamanya.

Kehilangan seperti sebuah tali rafia yang putus. Kau bisa menyambungnya kembali tapi tetap tak akan sama kekuatan rekatan unsur alaminya. Jika aku harus memilih antara sahabat dan impianku, maka aku akan memilih sahabatku. Sebab jalur cerita ini mengiringku pada sahabat yang sekaligus merupakan impian terbesarku.

Pada detik waktu di hari itu, nama-nama paracendekia yang lolos ke Bali telah tampil gagah di mading kecil kampus kami. Dan Hajar Aswad menyusup resmi dalam deret nama itu. Aku juga mendapat angin kabar dari Bung Rocky untuk bersiap-siap mengiring tim PHBD seminar di Bali. Dan Sir Batak menyarankan kami berangkat bersamaan dengan tim debat, mengingat tanggal kejadiannya tak terlalu jauh.

Namun aku menolak untuk pertentangan prinsip. Sketsa asmara picisanku yang belum seumur bayi enam bulan, melahirkan koin keraguan padaku. Di pikiranku terpintas sebuah kalimat, “Jika aku ke sana, maka aku akan kehilangan arah inetelektualku sendiri. Sebab Hajar akan menjadi awal dan akhir bagiku secara virtual. Aku ingin rongga hatinya mencariku tanpa pernah ada niat untuk diberitahu. Aku ingin dia hadir dalam pucuk keberhasilan tanpa harus terganggu oleh dengkuran hasrat manisku padanya.”

Keputusan menyakitkanku itu mendorong nadi lain Sir Batak. Beliau meminta aku hadir di ruangannya ke esokan hari. Saat rambu ketegangan menyelip di pangkal hati, aku melansirkan pikiran pada rencana lain. Tentu saja berpesan langsung dengan Hajar. Dan aku melayangkan permohonan pada Picolo agar membantu jurang nasibku sekali lagi. Aku memancing keterbukaan Hajar di malam harinya di dekat kantin kampus. Dan kejadian itu terjadi ketika semua bentuk emosionalku melekat pada gadis itu.

“Aku merasa sandiwara kakak waktu itu murni. Benar-benar serius.”

“Sandiwara yang mana? Di dunia ini tak ada sandiwara yang serius.”

“Ada.”

“Benarkah?”

“Sandiwara kakak saat membaca puisi itu untukku. Aku perempuan, jadi 80 % lebih peka tentang psikologi timbal balik.”

“Maksudmu?”

Dia tersenyum tipis, “Kakak adalah lelaki paling aneh seantero Sumbawa.”

Aku terkesima sedang.

“Kalau begitu, kau harus mengiring pulang kemenangan dari Bali. Kau berpasangan dengan Zoro, jadi pasti kimianya akan lebih terasa,” ucapku setengah datar. “Hanya saja …”

“Mus bilang … kakak tak ingin ikut seminar di Bali?”

“Iya.”

“Alasannya?”

“Kau.”

“Apa salahku?”

“Kau tidak salah apa-apa.”

“Lalu?”

“Lalu?”

“Kenapa tidak ingin berjuang bersama? Kakak tidak ingin berjuang bersamaku?”

“Tidak.”

“Ya ampun … kenapa begitu datar?.”

“Aku rasa kalian akan baik-baik saja tanpa aku.”

“Bukan itu masalahnya!”

“Iya, jadi apa? Tak usah membahas ini.”

Aku mulai teracuni emosi.

“Ini adalah masa perjuangan menuju pelangi cita-cita. Kakak tak usah mencampurinya dengan perasaan kakak. Dan juga …”

“Jadi kau sudah paham alasannya? Lalu kenapa masih bawel begitu?”

“Siapa?”

“Kau!”

“Aku .. hem. Itu karena,” Hajar kehilangan dirinya lebih daripada yang aku asumsikan. “Hidupmu bukan untuk dirimu saja! Orang lain juga menjadi alasan hidupmu hadir. Jangan egois!”

Aku tak pernah dinasehati seorang hawa sedahsyat itu. Seketika kalimat itu terlontar layaknya ledakan big bang, Hajar berangsur menjauhiku malam itu. Letusan kebaikannya menghilangkan panggilan formalnya padaku. Dia tidak menyebut kata ‘kakak’ lagi pada penggalan suara terakhirnya. Dan aku masih terdiam beku. Aku berdiri dalam gelap dan meresapi sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.

Dan keesokan paginya aku menjalani ritual pemanggilan itu ke ruangan Sir Batak. Aku berkutat pada lentera kebingungan. Beliau memintaku keluar dan berbicara di bagian kursi luar kantor kampus. Beliau langsung memulai satu paragraf kekesalan.

“Kau ini kenapa? Jika kau bisa menulis, mengapa kau tidak bisa berbicara? Harusnya kau hadir sebagai pendukung batin buat tim seminarmu. Pak Umar juga kecewa padamu.”

“Iya, lalu apa? Bapak sepertinya sudah tahu, kan?” balasku terpaksa.

“Apa karena si Hajar itu? Kau merasa buruk dan aneh jika sekapal penyeberangan dengan dia?”

“Bapak kenapa bisa …”

“Bibi kantin memberitahu bapak soal penyimpangan kalian berdua. Kau dan Hajar sudah menyalahi visi baru yang bapak buat untuk kampus kita.”

“Tapi kami cuma ngobrol biasa …”

“Kau ini, jangan seenak niatmu saja! Etika harus ada kau junjung tinggi. Kau bahkan tidak menyapa bapak saat ingin mengajakmu membeli paku beton kemarin sore.”

“Itu … saya lagi galau, Pak.”

“Lalu hubunganmu dengan Hajar, jadi bagian kegalauanmu juga?” Sir Batak semakin menyala-nyala.

“Kami hanya membahas diriku yang tidak ingin ikut ke Bali. Itu saja!”

Dan setelahnya, aku memilih diam.

“Dengarkan baik-baik, Bee. Di kampus manapun, etika menjadi nomor satu. Kau tidak lihat … spanduk besar bertuliskan visi misi berkarakter santri yang bapak kreasikan di sudut luar lantai dua kampus kita? Seharusnya kau bisa lebih paham etika sebagai mahasiswa di bawah yayasan NW, yang mencerminkan cahaya karakter santri itu. Kau tidak tahu bagaimana perjuangan para pelajar santri di masa kolonial dulu? Kau calon Sarjana Pendidikan tapi tidak membuka ideologi tentang itu.”

Aku sebetulnya berbicara pada lubang kecil jauh di dalam hatiku, “Aku memang selalu lebih buruk dari seorang psikopat di mata kalian akhir-akhir ini.”

Aku merasa prinsipku tentang ahlak dan kasih sayang untuk saling memahami tidak berlaku bagi beliau. Namun aku tidak menyalahkan sudut pandang beliau mengenai pendidikan berkarakter santri itu. Aku mungkin memang melakukan dua kesalahan yang baik.

Pertama, aku tidak ikut ke Bali karena alasan prinsip. Kedua, aku mengajak seorang gadis berbicara malam-malam sebagai bentuk penyimpangan etika kampus Islami kami. Apa kau aku baru memberitahumu kalau kampusku bernuansa religi? Jika kau benar-benar bersamaku dari awal, kau pasti sudah paham tanpa harus kuberitahu. Maaf jika aku kurang sopan padamu. Aku tengah linglung sekarang.

Seketika aku keluar ruangan kantor, detik itu pula Hajar mendadak melewatiku dari arah luar dan masuk ke dalam. Lantas kuhentikan laju langkahku. Kau bisa menebak apa yang akan terjadi? Ketika beberapa menit sebuah pembicaraan kedua mengalir.

“Kamu dan Bee sama saja. Kamu akan jadi harapan kampus ini ke depan, kamu belum paham arahnya?”

Aku tertekan untuk turut campur.

“Tapi, Big Bos hanya seorang lelaki yang tidak tahu caranya meninggalkan ahlak yang benar,” bela Hajar untukku. “Dia hanya mempertahankan prinsip memberi sebanyak-banyaknya itu jauh lebih baik daripada berjuang sendiri untuk mengambil kesempatan.”

“Iya, tapi … harusnya kalian bisa bekerja sama. Maaf jika bapak berlebihan. Bapak hanya tidak ingin kalian menjadi robot.”

Ketika kurasa pembicaraan itu sampai pada muara, aku masuk dan spontan menarik Hajar keluar. Aku benar-benar tidak peduli. Dan kami terendam dalam palung perasaan tak jelas itu lagi. Di panggung kosong kampus, kami saling bersua tanpa peduli gonggongan yang lainnya terhadap kasus kami.

“Aku dan semua impianku di sini adalah semata-mata untuk berjumpa dengan sahabatku lagi.”

“Aku tahu, Picolo sudah menceritakan semua tentang kakak Big Bos!”

Aku cukup tersipu dengan nadanya menyeru samaranku. Ia memakai irama yang menggemaskan.

“Aku melakukan kesalahan ini karena kau. Jadi tak usah terlibat lagi denganku. Beban moral ini biar aku saja yang menanggungnya, kau tak akan sanggup.”

“Tapi masalah ini memintaku ikut tanpa keinginanku sendiri. Kakak tidak paham jalan ceritanya?”

“Iya, terkadang aku selalu menjelaskan sesuatu lebih bodoh dari orang bodoh.”

“Itu artinya kakak jenius.”

“Oh? Kesimpulan macam apa itu?”

"Penjelasan orang jenius bisa saja sulit untuk dimengerti oleh orang-orang berintelektual rata-rata. Itu karena mereka menjangkau pemahaman abstrak dan kecerdasan ambigu yang tidak terlihat pada orang jenius.”

“Apa itu pujian?”

“Kakak bisa anggap seperti itu. Dan intinya kakak jadi ikut, kan?”

“Tidak.”

“Tapi kenapa? Kakak masih belum nyaman denganku?”

“Bukan begitu.”

“Jadi?”

“Aku menyukai kau.”

“Oh?”

“Kau pura-pura belum paham?”

“Tapi …”

“Kau menolak perasaan Big Bos?”

“Bukan begitu. Bagiku, itu hanya zat kimia yang tiba-tiba aktif tanpa disengaja. Menolak perasaan kimia kakak bukan berarti aku juga tak memiliki elemen cinta yang sama,” jelas Hajar berlagak imut.

“Dasar bawel! Memangnya siapa yang ingin mengajakmu pacaran … bodoh. Aku hanya ingin pacaran denganmu di kehidupan yang lebih diridhoi Ilahi.”

“Hem … kenapa bahasa kakak kaku begitu? kita belum boleh membicarakan hal sekelas itu, Big Bos.”

“Kenapa? Apa Sir Batak akan memarahi kita karena asmara terlarang ini?” aku sembari menahan bibir yang ingin melampiaskan tawa kecil. Hajar hanya memalsukan lesung pipinya saja.

“Jadi, Big Boss tetap akan ikut. Ya, aku tidak tahu jelas seperti apa impian yang kakak perjuangkan hingga ingin ke Melbourne sekaligus berjumpa ssahabat kakak itu. Yang pasti, aku ingin mengatakan kalau aku akan menerim perasaan itu di saat yang tepat di seri kehidupan selanjutnya. Lalu …”

“Kau juga akan menjadi alasan di balik cerita ini.”

“Oh?”

“Bukankah kau bilang hidupku bukan untukku saja? Kalau begitu kau harus jadi bagian dari serial hidupku menuju Melbourne. Kau akan jadi tangga yang sempurna. Dan sewaktu di bandara, kau tahu alasan aku memintamu untuk tidak memperlihatkan keterlambatan kita?”

“Apa?”

“Entahlah. Yang jelas, hal itu sama seperti keputusan yang kujalani sekarang,” kataku bergelagat bijak.

“Terkadang kita harus menarik diri kita ke belakang seumpama karet untuk maju ke depan lebih kencang daripada orang lain. Itu adalah bentuk keikhlasan berjuang yang tidak terlihat.”

“Bang Alen yang mengajarkan hal itu?” tanyanya sepoi. “Tapi sebentar, Big Bos tadi berujar tangga? Aku hanya dijadikan alat?”

“Eh … bukan seperti itu. Kau ini sangat bawel ya? Kau memang sangat cocok ikut lomba debat itu dengan kebawelan level tinggimu,” tutupku.

“Hehe.”

Dan akhirnya aku bisa mendengar ia tertawa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!