SIR BATAK hadir dengan luapan ide professional. Beliau gemilang bersama perintahnya menciptakan pasukan berbaris putih yang akan melenggang tegap di kampus kami tercinta. Meski aku sudah berada di Melbourne dan membawa terang kertas impian aku dan Mus, tetap tak bisa menghapus kotak memori berharga yang satu itu.
Di bulan Agustus, paracendekia hidup dengan Paskibraka pertamanya. Sebulan seusai wisuda haru itu tayang, kami berlatih kompak untuk Pasukan Baris-Baris. Aku dilatih langsung oleh mahasiswa dan mahasiswi dari kelompok ‘Menwa’, yang merupakan kelompok khusus dari hasil pelatihan TNI di Mataram.
Sir Batak memasukan daya PBB dalam OSPEK untuk 2018 yang juga berdampingan waktu dengan HUT RI. Aku menjadi salah satu dari manusia-manusia itu. Mencari sebiji celana putih adalah hal tersulit sebagai anggota Paskibraka. Berbeda dengan yang ada di istana negara, kami harus menemukan benda itu sendiri. Ya, khusus untuk bagian celana. Dan menjadi anggota paskibraka menjadi kontribusi terakhirku sebelum akhirnya kembali ke rumah kebun, lalu menghadiahi kelulusanku pada ibu dan ayah.
Sebetulnya aku sangat menyesal karena tidak ingin memasukan bagian itu di sini. Oleh sebab terlalu menguras stok air mataku jika kuselipkan dengan bentuk kiasan apapun itu. Aku tidak sanggup. Kau akan mendapatinya di bagian kedua kampus fiksi. Ya, inilah kisah sederhana berbumbu segala filosofi dalam pendidikan dan impian kita, Mus. Ah, andai kau ada bersamaku hingga pucuk berbuah naga. Yang pasti, ini untukmu.
Sesuai keinginanmu agar aku menuliskan perjalanan ketika kalimat perpisahanmu menghantuiku di atas sepeda tua sore itu. Akan belum akan memberikan kisah perhelatanku menembus langit Melbourne di episode pertama kisah ini. Aku terlalu panjang dan jujur untuk dibuat singkat. Kita lanjutkan nanti. Yang bisa kutampilkan di akhir selain pecahan air mataku tumpah di rumah kebun, adalah Hajar Aswad.
“Aku atau beasiswa itu?” tanya Hajar di detik-detik kakiku kabur di kaki bandara.
“Untuk sekarang ini kau.”
“Hem.”
“Itu keluhan?”
“Ini penawaran manisku.”
“Penawaran apa?”
“Em …”
“Apa? Cepat katakan sebelum pesawatnya bersiaga tiga menit lagi. Aku juga tidak ingin kau memberitahukan keberangkatanku yang dini ini pada Pak Iwan dan keluarga paracendekia.”
Hajar nampak suram dan bisa kupahami warna kesedihan yang coba ia tahan,” Aku minta maaf atas semua bentuk kelemahanku, Big Bos.”
“Maksudmu?”
“Kakak tidak ingin mulai memperjuangkanku?” Hajar seakan masih menyimpan pilihan yang banyak untuk bisa kupahami walau satu. “Meski perasaan kimia kita tak pernah berstatus apapun, aku akan menunggu kau selama beberapa purnama selagi aku menuntaskan perjuanganku di sini. Dan kuharap kau tidak jatuh cinta dengan gadis-gadis di Melbourne.”
“Hem … mereka kan manusia. Kenapa aku tidak boleh menyayangi mahluk Tuhan?”
“Lah?” cemberut manis Hajar.
Aku menahan dorongan perkataan hatiku melihat atmosfer wajahnya berubah warna.
“Baik, aku tidak akan cinta pada mereka melebihi pelangi asmaraku padamu. Cinta orang biasa sepertiku akan selalu kau rindukan hingga sesak nafas, percayalah.”
“Kakak ingin aku mati?” ketus Hajar setengah datar.
“Hehe, kalau begitu sudahlah. Pesawatnya akan segera melesat. Kau lihat hamburan penumpang itu?” aku menunjuk ke arah belakang dengan jari telunjuk kumuhku.
“Iya, Big Bos yang penuh karisma dan tidak buruk.”
“Oh?”
“Pergilah. Aku akan baik saja-saja.”
“Kalau begitu kau melakukan satu hal terakhir untukku sampai kita bertemu kembali!” kataku berseru mencoba melawan suara mesin pesawat, lalu menghamburkan raga untuk naik ke tangga si mesin putih.
“Apa itu?”
“Kau harus percaya padaku!”
Dan raungan sayap pesawat memisahkan teriakan perpisahan dari Hajar. Aku masih menghabisi sisa-sisa pandangannya melalui bulatan jendela kaca pesawat. Ketika telah naik ke udara, aku barulah sadar kalau aku sungguh mencintai keluarga rumah hijau melebihi cinta pada diriku sendiri.
Semua filosofi pendidikan penuh kasih sayang itu melahirkan warna kebijakan dan pengharapan bersama. Hajar, menjadi tokoh hidup yang hadir sebagai penarik ... sekaligus pendorong kesepian juga keputusasaan yang sempat timbul sekejap. Dan aku lebih memilih kaum hawa yang menemaniku dari angka kekosongan daripada yang datang saat aku sudah di puncak.
Beginilah akhir perjuangan di kampus hijau sebelum menuju ke episode perjuangan ke-dua di dinding Melbourne. Akan aku kisahkan nanti. Jika kau masih sehat dan jantungmu kuat, maka atas kasih dan rahmat Tuhan Yang Maha Penyayang kita pasti akan saling bercerita lagi tentang kenyataan. Termasuk cerita di mana aku berproses sebelum akhirnya mendapat beasiswa itu dan sempat menangis kesepian ketika kembali ke rumah kebun.
Semoga kau bisa mampir di rumah hijau sesekali jika kau merindukan kalimat kasih sayang dan perjuanganku. Aku setia menantimu sebagai teman. Ya, aku di sini kawanku. Sudah kembali.
Kita akan ke bagia kedua. Di saat aku dan Mus masih sibuk memperbaiki novel pendek yang telah kutulis. Dan setelah ini, adalah kisah kami di Melbourne. Saat sebelum aku bertemu Mus, dan akhirnya tersesat setengah mati demi menemukan Hajar yang telah menyusul katanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments