DERET 11

Di antara pembangunan fisik kampus kami, pembuatan wujud panggung sederhana lebih dulu selesai. Lengkap dengan atap bertembok yang juga tidak mewah. Pak Iwan memang sengaja menyarankan model perancangan itu pada para pekerja untuk suatu pergantian jadwal. Kemudahan lebih diperlukan untuk kesesuaian yang efektif. Panggung persegi panjang yang baru tumbuh persis di depan kampus kami itu, menjadi pendukung pertama hidupnya sebuah panggung fiksi paling abstrak di ketiak bumi.

Zoro, Presiden Mahasiswa kami itu berpikir lebih kilat daripada dugaanku sebelumnya. Selama dua minggu yang terbagi menjadi masa persiapan dekoraasi panggung dan pelatihan drama, Zoro mengundang kesadaran paracendekia lain yang kosong, untuk menciptakan lapangan olahraga di barisan tanah kampus yang bercelah.

Lurus dari arah ruang kecil ‘security, lapangan voli terbentuk dalam waktu seminggu. Mengandalkan bekas lapangan bersemen yang tak terpakai, Zoro dan lainnya bergabung menciptakan garis putih dan mengecat lapangan bersemen itu menjadi sebuah lapangan voli yang layak.

Tak sampai di situ, ia juga menyeru semuanya untuk berangsur ke ruang gudang kosong yang cukup luas. Di situlah pembersihan dilakukan hingga terwujud sebuah tempat bermain tenis meja yang ideal. Yang juga menjadi kesenangan gairah Sir Bima setiap malamnya. Beliau selalu menantang mahasiswa yang ada di asrama untuk bertarung tenis meja. Dan sebab belum ada lampu untuk penerangan malam, beliau dengan jiwa mudanya, sering mengambil lampu-lampu untuk ruangan MTS Majdiyah di samping ruang tenis meja. Setelah usai, beliau akan memasang lampu di titik semula.

Selain itu, di belakang panggung baru kami, menjadi tempat pembuatan lapangan sepak takraw. Mereka hanya tinggal mengecatnya tanah keras yang diapit oleh beberapa pohon sawo yang sulit matang buahnya. Kami juga bekerja sama untuk mewarnai sisi panggung dengan aneka pot bunga. Tentu saja, aliran listrik dan lampu ukuran jumbo telah tersedia. Sehingga malam acara panggung fiksi itu bergulir, kami memiliki cahaya penerangan untuk para tamu.

Ketika Sir Batak menggantikan Bung Super sebagai Ketua Puket III, perubahan tempo pergerakan sedang dilakukan. Beliau hadir dengan gaya kempimpinan fleksibel layaknya berada dalam ruang semesta berbeda. Meski bukan asli penduduk Sumbawa, beliau tak pernah membawa kami seperti robot yang berpendidikan. Beliau memahami kondisi kampus kami.

Seni membuka diri beliau mengesankan semua paracendekia yang beliau gerakan dalam semua unit kegiatan.

Beliau menghimbau untuk memainkan peran olahraga dan ekstrakurikuler setiap hari sabtu pagi. Ya, memanfaatkan semua bentuk fasilitias olahraga sederhana yang telah siap pakai sebelumnya. Dan dimulai dengan sedikit untaian senam SKJ di lapangan voli nantinya. Beliau tak pernah memaksa kami semua harus seperti keformalan kokoh kampus-kampus besar. Filosofi kasih sayang itu sekiranya melekat kuat pada diri beliau juga melalui Pak Iwan.

Sir Batak selalu menjadi sosok hero bagi paracendekia.

Namun beliau juga bisa menjelma menjadi sekeping ruh lain di suatu ketika aku melakukan kesalahan fatal. Semua keterlibatan buruk yang mampir setelah acara pentas seni itu, juga mengail Hajar Aswad beriringan dalam masalahku. Namun sebelum itu, aku tampilkan padamu beberapa deret kebahagiaan sebelum semua bencana moral itu menimpaku.

Naskah drama itu kuselesaikan dalam tempo sesingkat-sesingkatnya. Sesuai arahan Zoro, paracendekia terpilih melakukan latihan selama seminggu.

Dalam latihan itu, aku bisa serius lebih seratus persen sebab beradegan dengan si jilbab zebra. Namun ia tak selalu memakai warna itu dalam latihan.

Tentu saja aku mengambil kunci kesempatan agar bisa berperan bersamanya sebagai penulis naskah. Tak hanya drama, seni tradisional Sumbawa juga masuk meski mendapat porsi lebih kecil. Porsi kecil itu di antaranya ‘Bakelong’, ‘rabalas lawas, dan ‘sakeco’ yang merupakan adat seni suku Samawa.

Pentas seni pertama kampus kami berlangsung di hari minggu. Kami mengundang pengurus-pengurus NW, orang-orang penting, dosen-dosen kami tercinta, dan juga bupati Sumbawa untuk hadir. Tentu saja paracendekia yang akan tampil akan semakin teruji lejit keberaniannya.

Dan acara itu pun terwujud hangat. Ketika porsi-porsi kecil menghabiskan kemeriahan sederhananya, paracendekia yang bertugas untuk drama pun tampil. Kurang lebih pementasan drama yang memakan korban asmara itu tayang secara hati nurani. Drama berjudul ‘Kampus Fiksi’ itu menayangkan secara dominan tiruan karakter para dosen kami.

Aku memerani Pak Iwan sebagai anak kusir yang jatuh cinta pada putik melatinya, Iga Widari. Kau bisa menebak gadis yang memerani Bu Iga. Tentu saja, kau benar. Cerita kampus fiksi adalah perjuangan asmara dan impian Iwan Jazadi dan Iga Widari hingga berwujud sebuah bangunan pendidikan yang penuh kasih sayang.

Hal terlucu sebagai unsur sampingan ialah pemeranan karakter para dosen seperti suara aksen Sir Batak, gaya maco Bung Rocky dan keseriusannya, serta suara tawa khas yang melejit begitu cetar dari Bung Super.

Ketika akhir drama itu menghasilkan benang merah cerita ini …

Aku mau kamu malam ini, Hajar

Ini bukan tentang sebutir batu hitam dari Surga

Ini tentangmu dan cinta orang biasa sepertiku

Bodoh, kau itu menarikku keluar dari sangkar intelektual

Menyelam ke ufuk sanubariku dengan piawai

Lalu, kejadiannya lebih dahsyat sebab aku jatuh cinta pada suara jernih

Suara beningmu di ruang berisik bandara pagi itu

Dan …

“Apa?” lawan peranku menghentikan puisiku.

“Alam semesta ini terlalu luas untuk mencintaimu saja,” kataku pada pemeran Iga.

“Itu bentuk keputusasaan?”

“Bukan … itu resmi caraku menindaklanjuti hubungan terlarang ini.,” jawabku mulai lupa satu hal mendasar saat itu. “Kau harus peka terhadap cara Tuhan memisahkan kita dengan cara paling mulus.”

“Tidak mau."

“Kenapa?”

“Kita bahkan tak mudah untuk bersama … mudah sekali bagimu mengucapkan kosakata itu.”

“Yang mana … aku tak mengerti. Bicara jangan separuh begitu … menyebalkan sekali.”

“Menuju ke titik kebersamaan ini saja kita harus melawan dunia, mengumpulkan keberanian berlebih, memotong porsi penyesalan, bahkan … membuat Tuhan marah besar. Dan kau ingin mengucapkan kosakata perpisahan begitu ringan?”

“Memang tadi aku bilang apa?”

“Hem …” cemberut Hajar sambil menahan tangannya yang ingin memukul pundakku.

“Yang diperlukan hanya satu kalimat utuh,” kataku lagi.

“Memang kau bisa bermain majas?”

“Kau meragukan kemampuan berbahasaku? Lihatlah .. emm, maksudku … dengarkan ini baik-baik. Kita cukup katakan dengan tulus pada Tuhan … ‘Ya Tuhan, terimalah cintaku!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!