SUMBAWA terbentang selayaknya cakrawala kecil bertengger di wajah-wajah heroik propinsi lainnya. Jika Indonesia adalah sesosok ibu, maka Sumbawa menjadi jemari-jemari lembut yang bergerak leluasa sebagai alat hidup. Jika kau melihatnya dari atas satelit, maka kau perlu kaca mata hati spiritual untuk memahami eksistensi negeri Tambora.
Gunung Tambora mengamuk pertama kali tahun 1815 dan berhibernasi di tahun 1967. Meluluhlantahkan kepekaan hidup manusia-manusia Sumbawa saat itu. Ya, Nusa Tenggara Barat melepuh sejak lama. Gunung Tambora sempat meraih posisi puncak sebelum bercerai dengan pucuknya. Sejak luapan awan panasnya meraup banyak nyawa hingga menyusup masuk ke bumi Kangguru, Tambora menjelma menjadi kerucut datar yang elegan dan loyal hingga detik ini.
Aku dan Mus bolos kuliah di minggu kedua di hari senin. Berkunjung ke Tambora atau Pulau Moyo yang mendunia adalah target keroncongan batin kami. Pulau menjulang megah sebagai perhiasan Tuhan kebanggaan Sumbawa. Melalui depan jalan RSUD Abdul Qadir Al-Manambai yang tepat berhadapan dengan Kampus Fiksi, kau bisa membelokkan diri ke kanan untuk terus menuju keindahan itu.
Namun itu hanya spekulasi kami yang kejauhan. Kami lebih memilih berkunjung ke negeri sepupu di simpang lima ke arah kecamatan Lunyuk. Sepeda tuaku menjadi sayap kami ke sana. Hanya kami yang tidak memiliki sepeda motor saat itu sebagai mahasiswa.
Tujuannya adalah kampus-kampus tetangga sebagai ‘Central of Viral”. Tentu saja, kampus seperti Universitas Teknologi Sumbawa dan Universitas Sumbawa lebih didaulatkan sebagai pembawa perubahan. Kau pasti tahu kampus pertama yang kusebutkan. Peserta didik dari luar propinsi lebih banyak masuk. Namun Pak Iwan tetap menekuri kampus hijau kami di kemudian hari.
Kawan-kawanku dari UTS yang menetap di asrama kampus kami menawariku bermain ke kampus mereka. Lantas itulah aku mengajak Mus. Meski berbeda tempat
meraup pengetahuan, mahasiswa-mahasiswi UTS menjadi teman-teman berbahagiaku yang mutakhir. Kami seolah hidup sebagai sebuah rukun tetangga.
Kau juga harus tahu, selalu ada sengatan tak kasat mata pada pola pikir Mus. Persahabatan aneh kami yang baru berusia dua minggu selalu terisi roda kepiawaiannya. Kepiawaian mengatur filosofi kecerdasan. Bagi Mustaqim, pendidikan seharusnya identik dengan kebebasan dan kebahagiaan. Keduanya melahirkan gabungan simbolis bernama, “Pendidikan Sepanjang Hayat.”
Di pertemuan kedua di mata kuliah “Structur I”, Mus paling cepat menganalisa kesalahpahaman bentuk gramatikal dari sebuah kalimat bahasa Inggris. Dan humor itu terwujud seketika. Ketika pada suatu saat Mus bertanya padaku ketidaktahuannya yang langka.
“Kau setuju kalau bahasa Inggris jadi bahasa global?” Mus bertanya dengan nada ketinggian yang tak biasa. “Aku ingin bahasa Sumbawa yang jadi bahasa global lima tahun ke depan!”
Nuraniku tergelitik lelucon konyol itu. Responku hanya memberikan tepukan setengah kencang ke sudut pundaknya. Dia memang selalu berpikir. Berpikir adalah hobinya. Dalam sudut filosofi menterengku, pemikiran aneh Mus setidak-tidaknya bisa mencerminkan seorang Socrates.
Dia bahkan bisa mengimajinasikan bahwa sebetulnya Malaikat itu memiliki detak jantung yang berbeda daripada manusia. Sayangnya, Iblis di mata dia hanyalah mahluk paling humoris yang menolak jatuh cinta dengan tanah! Iblis menipu hatinya sendiri.
Begitulah, dia memang tak biasa. Menurutku, Socrates remaja yang memboncengi perjalanan kami ke UTS sore itu adalah Socrates milenial. Dia pernah beranggapan bahwa semua manusia itu semakin belajar maka akan dangkal otaknya. Itulah alasan dia meyakini manusia pada dasarnya cerdas karena kebodohan buatan. Aku sendiri dibuat bodoh oleh alur imajinasinya.
“Mimpilah kau Mus. Bahasa Sumbawa sudah ‘Go Internasional’ sejak dulu!” kataku bernada serius. Mungkin memang serius.
“Itu lelucon?”
“Kau tak tahu?”
“Tidak lah!”
“Oh, berarti kita sama. Aku juga tak tahu!”
“Ah…”
Hari itu adalah prestasi terbesarku mengalahkan intelektualnya dengan humor level amatirku. Dan di hari ketika kami berencana menatap gadis-gadis bermuka bahagia di UTS, Mus bertransformasi menuju perubahan penuh tangis. Mustaqim, artinya “Jalan yang lurus”. Namun keberadaannya dalam lembaran ceritaku tak semulus bokong sapi. Sore bermega kebahagiaan itu seketika mekar menjadi aurora perpisahan.
“Aku tak tahu jalan pikiran Pak Iwan, Bee!” kata Mus dari arah depan ketika sudah seperempat perjalanan. Hari itu aku ingin dia yang mengayuh sepeda.
“Kenapa? Apa yang kaurisaukan?”
“Corak keprihatinanku lah!”
“Maksud kau?”
“Aku khawatir kau dan kawan-kawan asramamu terkucilkan oleh anak-anak kampus lain. Kenapa Pak Iwan lunak betul menerima ratusan mahasiswa itu untuk berdiam bertahun-tahun di asrama kampus miskin kayak kita?”
“Mudah sekali kau buat analisa pikiran manusia lain, Mus,” seronohku.
"Bukan begitu.”
"Terus?”
“Aku pikir besok jadi hari terakhir kita belajar bahasa Inggris sama-sama, Bee.”
“Kau ini bicara apa? Kau mau pindah planet?”
“Sayapku sudah pindah alam, Bee! Tak ada lagi yang biayai aku kuliah. Aku mau ikut tawaran kerja ke Malaysia dari kawan-kawan aku di kampung. Tapi …”
“Sayap siapa kau maksud?” aku bertanya datar. “Kita kan belum setahun belajar di sini sama-sama? Katanya kau mau ke Sidney? Aku kecewa lah!”
Aku langsung melabuhkan diri ke arah lain dan meninggalkan sepeda tuaku bersama Mus. Kekecewaan itu hinggap di sepertiga jalan menuju kampus UTS. Ya, aku menyulut ketidakpedulian akan lontaran kalimatnya.
Itu karena aku masih bentrok dengan hatiku untuk percaya. Aku belum ingin kebersamaan hangat dan segala skenario cita-cita kami hangus di permulaan nasib. Jika Mus tak ada bersamaku, maka kehadiranku di rumah hijau selayaknya angka nol.
“Kau jangan susah jiwa begitu,” kata Mus merendah. Kalimat sederhananya mampu menahan langkahku.
“Kau bisa konsultasi ke Pak Iwan dulu, kan? Beliau pasti paham. Kalau di kampus lain mungkin aku langsung setuju dengan alasan ekonomimu yang di bawah mata kaki itu. Tapi kau berada dalam keluarga rumah hijau. Kampus fiksi itu ada untuk orang-orang payah keuangan seperti kita, Mus!”
Mus hanya mengubah warna wajahnya saja. Tak ada tanda keluluhan terpancar dari pori-pori pandangannya padaku. Ia hanya bersinar gelap. Entahlah. Detik itu menjadi sangat hitam bagi perjuangan kami dalam mengatur impian ke depan.
“Kau pasti bisa ke Cakrawala ke tujuh, Bee!” teriak sahabat berambut keriting keringku itu lalu mengayuh sepeda tuaku ke arah sebaliknya.
“Kau buat otakku melintang setengah sudut siku-siku, Mus!”
“Hehe…”
“Kau tak jadi tinggalkan aku, kan?” aku mulai lagi.
“Bee … tak perlu lah kita bersama meski impian kita sama-sama menjulang.”
“Maksud kau? Impian yang akan kita tulis di kertas kosong itu hanya halusinasi?”
“Bukan!”
“Kau tak menghargai Pak Iwan yang sudah peduli dengan pendidikan kita! “
“Bee ..”
Air mataku jatuh ke dalam. Membuang raut muka. Mus kuresapi sebagai seorang berintelegensi yang feminim sebagai lelaki. Ya, itu asumsiku. Sekarang kau boleh tidak tertawa. Dan saat-saat terakhir bersama Mus, kertas impian itu ia keluarkan.
“Ini,” katanya seraya berapi-api untuk sekedar memperlihatkan kertas putih dari saku celana hitamnya. “Sudah kuisi aneka macam impian. Semuanya ada seratus. Lima puluh untuk targetku dan lima puluh untuk target yang kauceritakan kemarin sampai terisak-isak.”
Dan kertas lusuh itu meliputi harga diri kami berdua. Aku berada dalam nebula kesedihan sekaligus keharuan. Namun perlahan detik itu mulai bisa kupahami sudut pandang Mus yang baru. Ya, kami tidak perlu selalu bersama untuk mencapai permukaan indah. Mus memang selalu bisa menghipnotisku dengan kombinasi intelegensi dan kecerdasan emosionalnya.
“Selepas ini apa?” tanyaku lagi semakin khawatir.
“Kau harus tempel kertas ini di dinding asramamu dan jangan pernah cabut sebelum kau wisuda!”
“Apa-apaan?”
“Aku serius! Kau harus menandai dari lima puluh impianmu dan juga impianku kalau ada yang tercapai. Pelan-pelanlah,” terang Mus bercahaya.
“Bagaimana aku tahu impian kau tercapai atau tidak kalau kau di Malaysia?”
“Hem… nanti kutelepon kau. Gampang!”
“Mus …” sekuat hati kukekang kristal air mataku agar tidak tumpah.
“Jangan kau kalah sama Pak Iwan! Masih mending kita anak Pantai Kencana Miskin, dulu beliau lebih parah lagi!”
“Aku tahu.”
“Kau sudah baca buku “Anak Kusir Jadi Doktor?”
Aku mengiyakan.
“Nanti kalau kampus kita sudah besar dan diperhitungkan orang-orang seantero Pertiwi, kau harus ceritakan tentang aku pada orang-orang bersahaja itu, ya?”
“Siapa?”
“Adik-adik mahasiswa kau lah! Kau harus ke Melbourne apapun resikonya!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments