Kelelahan berlebihan sehari sebelumnya bersama ayah, membuatku terlambat kembali ke Sumbawa Besar keesokan paginya. Jarak dari Alas ke Sumbawa Besar yang kurang lebih 40 Km menantangku melompati waktu lebih gesit. Aku terlambat sekali. Menghabiskan ukuran energiku seikhlas-ikhlasnya.
Untuk kembali ke tempat ibu saja di dekat Pantai Kencana salah satu daerah penghabisan penat bagi para turis-turis mancanegara, yang jaraknya jauh dari Bukit Tinggi, bagian Kabupaten Sumbawa Besar, tempat kampus hijauku yang belum matang itu tumbuh dan berkembang bersamaku, aku perlu porsi waktu lebih.
Sebetulnya, bisa saja aku tak datang, namun karakterku yang menginginkan kenikmatan sebuah lembaran berharga, maka aku selalu menarik diriku sejauh mungkin untuk kemudian melepas diri dalam kubangan cahaya masa depan.
Seumpama ketapel. Dua jam perjalanan adalah waktu yang harus kunikmati apapun bentuk kerusakan mentalnya.
Aku lupa kalau acara penerimaan mahasiswa baru itu dimulai pukul 09.00 WITA. Aku menjadi bagian seksi pemberian performa di acara itu. Acara untuk adik-adik semesterku yang akan kucintai seumur nafasku. Mengingatkan seri pertemuan awalku dengan Mus dulu, di acara serupa.
Sementar aku berangkat sejam sebelum permulaannya. Maka aku tak dapat mencicipi bagaimana hangatnya motivasi dari seorang Pak Iwan. Aku membungkus keinginanku untuk menyamai beliau meski sama-sama berlabel anak Kusir. Perbedaannya, beliau merasakan masa-masa itu sejak Sekolah Dasar dan berubah drastis setelahnya. Dan aku masih saja belum bisa mencapai derajat keberhasilan beliau bahkan setelah lulus SMA, sesuai cerita beliau di bukunya.
Meski kampus kami masih berkembang, beliau sangat dikagumi di NTB. Dan selain beliau yangakan menjelma menjadi ayah kedua bagiku, kalian juga akan jatuh cinta pada kekuatan kesederhanaan tak kasat mata yang akan kutampilkan nanti.
Aku kulanjutkan. Ketika sampai, lirihan nafasku masih tersisa saat menjajal tangga naik ke lantai dua. Aku belok kiri dan ternyata salah arah. Awalnya bingung lantaran bangunan sebelah kiri tersusun tertutup seakan mulai diperhatikan pemerintah. Aku jadi teringat perkataan ayahku dulu, tentang betapa semua orang di bumi Indonesia, berhak mendapat pendidikan yang layak.
Yang aku pikir setelahnya adalah selain pendidikan dan kemiskinan, sebagian besar lini kehidupan di Indonesia tak sesuai Pancasila. Aku tak mengatakan kampusku itu miskin, tidak sama sekali. Yang terlihat di mata hatiku adalah penerawangan tentang sebuah risalah kehidupan yang penuh dilema aturan namun tak mencerminkan kasih sayang.
Terkadang, aku berpikir untuk pindah negara di setiap langkah ayunan kakiku bersepeda. Mungkin. Kau boleh mengkritik runcing candaan seriusku.
Lagipula pemikiran seperti ini muncul ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Setelah menjadi mahasiswa, asumsiku itu lupus. Aku malah mengetahui kalau Indonesia sangat dicintai negara lain. Seperti ucapan Mus di mata kuliah Ilmu Budaya Dasar dulu tentang pendidikan terbaik di dunia, yaitu negara Finlandia..
Aku sadar, setiap negara memang memiliki dimensi kekurangan. Selebihnya tentang kecintaan negara lain terhadap Rahim Pertiwi, tak perlu aku tambahkan karena kalian sudah tahu isi pembicaraanku. Namun aku malu pada negara kecil dengan pendidikan termaju seperti Finlandia. Dan aku juga ingin ke sana jika mampu. Satu hal lagi yang harus kalian tahu sebelum aku lanjut.
Baik, saat mengetahui arahku salah, aku dikejutkan dua bersaudara yang tak asing tepat ketika kuputuskan ke arah sebaliknya. Mereka masih terpaku malu di sudut pintu masuk ruangan tempat acara OSPEK berjalan. Aku pikir adik mahasiswa tapi setelah keduanya memaku tatapan padaku. Penampakan itu nyata. Dua orang itu ialah Bang Ridwan dan Bang Imam Syafi’i.
Nama islami mereka terkadang membuat jiwaku iri seutuh-utuhnya.
“Di dunia ini, tak ada yang lebih buruk daripada menunggu kepastian hidup. Bukannya masa depan itu indah karena Tuhan membuatnya tidak tertebak? Menuruti rasa takut hanya akan membuatmu bunuh diri secara batin,” kataku menyentak irama ketakutan mereka untuk sekedar masuk. Sembari melukis senyum miring nan sinis yang tak manis.
“Big Boss?” Bang Imam terperangah indah memanggil ‘Nickname-ku” sebagai ketua asrama I. Aku memilih nama sebutan itu sebagai yang menyukai karakter Yoo Sie Jin dalam serial Descendant of The Sun. Aku merasa lucu karenanya. Namun tidak untuk Bang Ridwan, ia masih sembab dan gelisah.
“Mustaqim telah berenkarnasi dalam wujud yang lebih berbulu!” bisik Bang Ridwan setengah kencang.
“Oh?”
“Mahasiswa yang duduk di paling depan itu!” Bang Ridwan menunjuk ke arah dalam ruangan dan mahasiswa baru yang ia maksud.
“Itu bukan dia. Dia terlihat lebih pendek dari Mustaqim yang kukenal, Roger!”
Roger adalah ‘nickname’ Bang Ridwan.
“Tapi Big Boss, namanya memang Mustaqim.”
Aku tersentak frase kalimat itu.
“Kita tak pernah belajar cara memulai kehidupan ya?” aku mulai berlagak bijak.
“Siang-siang menjerit begini malah berfilosofi,” ketus Raizo, ‘nickname’ Bang Imam.
Keduanya tetap menarik sebagai sahabat hidup. Sedangkan Mustaqim yang mereka maksudkan, tubuh serta tengkorak kepalanya, persis sekilas seperti pebulu tangkis hebat yang baru tenar di Asian Games 2018, Agustus lalu, Jonathan Cristhie, namun lebih pendek. Sudah, kalian percaya saja!
Meskipun Mustaqim yang bergelar mahasiswa baru di ruangan acara pagi itu benar-benar berbulu lebat seperti Bang Roma Irama. Ya, masa muda. Masa yang berapi-api.
“Padahal sudah sangat terlambat,” sambung seseorang yang keluar dari dalam. Ia adalah ‘Amak Toak’, ‘nickname legenda dari seorang yang paling tua di asrama I hingga III. Namanya Bang Ari. Ia akan menjadi unsur hara kehausan asmaraku di tahun berikutnya. Ia menolongku dari gelombang pasang surut cinta sebelah kaki.
Ia juga mengajarkanku cara jatuh cinta dengan benar. Entahlah, aku belum mengetahui jatuh cinta yang salah itu seperti apa wujud abstraknya.
“Loh, terlambat juga kan, kalian? Makanya tak berani masuk,” katanya pada Roger Raizo, dan aku.
Kami mengangguk bodoh sembari menirukan ekspresi balita satu setengah tahun yang tengah cemberut. Berkaca-kaca. Dan akhirnya membuat kami menang berjamaah dengan mengakui harga diri masing-masing.
Spontan, Roger tersentak sambil mengorbitkan mata ke arahku, “Terus, apa maksudnya tadi dengan memulai kehidupan?”
Aku pun menjawab pertanyaan elegan itu dengan menempelkan kedua telapak tanganku pada masing-masing tangan mereka dan lantas mengajak keduanya masuk menuju jurang keberanian yang melampaui batas. Ya ampun.
“Heh, apa kita akan diterima panitia lainnya?” Raizo mencoba mengelak. Aku tetap memaksa mereka mengikuti laju keberanianku yang berlebihan itu. Dan keduanya pun pasrah. Aku sebenarnya mengajarkan mereka arti kalimatku yang paling awal ketika mendapati keduanya di pintu masuk. Yah, kalian pasti tahu.
Saat itulah, orang-orang di dalam ruangan mengedarkan tatapan cembung ke arah kami. Lucunya, aku merasa dikutit oleh tatapan mesum. Sejatinya itu hanya pikiranku saja yang terhipnotis dengan keadaan di dalam ruangan yang cukup telanjang dan sederhana. Di dalam sudah ada dosen-dosen. Hanya tinggal kakak-kakak senior yang mendapat kesempatan di jam kedua setelah pembukaan yang dilakukan para dosen di jam pertama. Yang di mana tak bisa kunikmati.
OSPEK di tahun keduaku itu mulai seperti di kampus megah kalian. Pemandangan buruk dalam pikiran pun sirna sebab para senior itu malah menghukum Roger dan Raizo.. Meski panitia, ternyata hukuman itu berlaku untuk siapapun yang tidak jatuh cinta pada waktu. Sementara aku dibiarkan duduk bersama beberapa mahasiswa baru yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang. Fakta viralnya, mahasiswa baru di angkatan setelahku itu cukup banyak dianugerahi manusia-manusia bergelar kelamin jantan.
Permainan memakai tali rapia saat itu pun sempat mengisi kembali secara komedi-tragedi. Hingga acara selesai, bola mataku hanya mengingat semua kenangan itu. Keping kenangan ketika hanya aku dan Mus berstatus pejaka imut.
“Mus, aku iri pada mereka. Sejak kau lenyap ke negeri jiran, hatiku berkumandang terus-menerus mengenai mimpi kita dan cerita novel yang kau ingin agar aku merangkumnya.
Entahlah, apa aku bisa bertemu denganmu nanti di Melbourne, Macquire, ataupun di Sidney tempatmu menancapkan pundi cita-cita,” ucapku dalam batin.
“Mr. Bee! Aku Mustaqim, mahluk terganas di ketiak Sumbawa.”
‘Mr’ menjadi lumrah untuk adik tingkat sebagai panggilan untuk yang lebih tua. Itu berlaku tidak hanya mahasiswa-mahasiswi prodi Bahasa Inggris saja, melainkan juga untuk prodi Matematika.
Jika perempuan, maka sapaan belakangnya memakai ‘mrs’ yang jika diucapkan sama seperti miss! Dan ini bukanlah sebuah kerinduan.
Dalam pada itu, aku tidak meladeni spontanitas jemari mahasiswa baru itu. Dia duduk di sampingku dan menyebut ‘nickname yang tertera di papan panitia. Sandaran nama kecil bertali itu sendiri tergantung di leherku dan menjulur ke bawah. Lantas aku menoleh mahasiswa bernama mirip dengan sahabatku itu.
“Sebab aku ingin buang air kelamin, terpaksalah kutahan setengah jam,” terangnya kemudian. Dan kurasakan jalaran panas kekhawatiran Mustaqim, menggerogoti selangkangku. Begitu kuat. Terasa pedas. Untungnya, itu tak berlanjut.
“Semua yang ada di sini, dilarang keluar dan istirahat jika kedua adik ini gagal menyelesaikan pemainan ini,” ucap tegas Wolf yang menjadi ketua panitia. Dia adalah Bang Ardian. Perawakannya sedang dan bertubuh kokoh. Dia adalah Hitler kedua yang membantai kemalasanku menjangkau pelangi keberhasilan. Pelan-pelan saja.
“Kenapa panitia juga kena imbasnya?” keluh seorang kakak mahasiswi cantik yang bertugas sebagai moderator. “Kan kedua adik itu yang telat?”
“Bukan masalah waktu keterlambatan mereka atau tidak bisa menyelesaikan permainan. Aku tengah menumbuhkan nilai keadilan di sini,” katanya santai. Sejatinya selalu ada yang terlambat dalam acara itu. Hukuman kedua adik mahasiswa di depanku itu benar-benar berimbas pada ingatanku akan Mus. Ketika kami bernasib serupa.
“Kalau begitu adik-adik duduk saja. Biar digantikan oleh kakak panitia yang terlambat tadi.”
Kristal mata Roger dan Raizo berkeliaran lepas. Kegelisahan itu merayap pori-pori keringat mereka. Dan aku masih sempat terisi nostalgia tadi.
“Sstt, Big Boss, kau tahu cara melepaskan diri dari tali ini tanpa membuatnya putus?” bisik keras Raizo dari arah tiga meter.
“Mana kutahu! Kalian pasrah saja pada takdir!”
“Hah, dasar bodoh, apa hubungannya dengan takdir? Kita justru harus melawan nasib sekarang.”
“Kenapa nasib harus dilawan?” Roger mulai menutup keraguannya.
“Ya ampun, kau masih bisa berfilosofi?”
“Ini bukan filosofi. Aku hanya ingin kau tenang. Apa menyelesaikan masalah harus dengan menambah masalah?” mereka semakin menjadi-jadi.
“Kau ada benar juga.”
“Lihat? Kecerdasan emosionalku di atas rata-rata, kan?” kata Roger membanggakan diri. Padahal tidak begitu.
“Apa kecerdasan emosional seperti itu?”
“Hehehe,” para adik-adik tingkat dibuat tertawa oleh adegan ‘melodrama’ parodi maskulin di depan mereka.
“Kalian berdua, semangatlah! Jangan bikin bangsa ini menangis lama karena kekonyolan kalian!” teriak Bang Alen spontan dari arah kursi duduk di barisan panitia dan seketika itu pula ia malu setengah jiwa. Semua tatapan meletus ke arahnya. Sebetulnya ‘Alen adalah sebuah ‘nickname’ untuknya. Nama asli Bang Alen adalah Jalaluddin Abdul Qadir. Lagi-lagi nama islami. Membuat rasa iriku kian meletus.
Aku menaruh nama ‘Bang’ di samping ‘nickname’nya sebagai sebuah perbedaan penghargaanku terhadapnya.
“Bagaimana? Sudah tahu caranya? Apa kalian tak pernah lihat videonya di Youtube? Permainan ini mengajarkan kita caranya menyelesaikan masalah tanpa harus menambah masalah,” kata Amak Toak tiba-tiba bersuara lagi.
Tersadar, kalimatnya seakan menyetujui pemikiranku sebelumnya tentang apa yang kusiratkan pada dua tersangka di hadapan kami semua itu.
“Ya Tuhan, keajaiban-Mu selalu ada ketika kami peka,” kataku membatin. Aku berharap segera berakhir. Selain Mustaqim si mahasiswa baru, aku pun tengah menahan air kelamin setengah jam waktu itu. Mungkin racun urinnya sudah masuk lagi ke bagian filtrasi di dalam ginjalku.
Aku sempat berharap Tuhan masih sayang pada ginjalku melihat penderitaan manisku siang itu.
Dan seakan doaku didengar oleh Yang Maha Mendengar, kami diselamatkan oleh suara adzan dzuhur dari arah mushola kampus. Aku mungkin belum mendetailkan bagaimana wujud nebula kesederhanaan yang melingkupi kampus hijauku itu. Yang jelas, aku perlu berhutang moral pada Tuhanku Yang Maha Kuasa.
“Baiklah,” kata Wolf. “Kakak panitia ingin menyampaikan satu hal penting sebelum kita bubar.”
Kakak Wolf berkata kalau meski dua jam berada di dalam ruangan, kita semua telah belajar hal sederhana yang besar. Lalu melepaskan Roger dan Raizo dari tali borgol rapia. Selepasnya, kami bubar sementara guna memasrahkan diri sebagai seorang hamba yang hina pada Tuhan kami.
Aku bangga saat itu. Meski tempat perkuliahan itu sederhana, nilai menghargai waktunya setara Universitas Al-Azhar dan tentu saja nilai religiusnya ada berwujud dalam naungan NW (Nahdatul Wathan), yang masuk dalam nama kampus kami.
NW sendiri adalah lembaga agama yang menaungi nilai-nilai ke-Islaman di Sumbawa. Dan kampus hijau kami menghargai naungan nyata itu sebagai pelukan yang hangat layaknya keluarga. Di semester baruku di tahun 2016 akhir Agustus, asrama-asrama kosong yang ditinggali kawan-kawan UTS-ku diisi oleh santri-santri Al-Majdiyah.
Tentu saja, Pak Iwan mengkreasikan ruang kosong yang berjajar ke halaman depan, sebagai sebuah Madrash Tsanawiyah. Dan anak-anak penuh cahaya Ilahi itu menjelma menjadi daun-daun muda yang menerangi gelapnya awan kesepian kami selepas berpisah dengan kawan-kawan dari UTS. Seperti dugaanku, Pak Iwan meminta mahasiswa-mahasiwi tingkat atas yang melambungkan diri sebagai pengajar hati nurani untuk anak-anak santri itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments