"Aku di depan!" Suara Zubair menelpon temannya yang bernama Maliq.
Maliq menghampiri Zubair di tempat parkir. Maliq adalah seorang tentara berpangkat Letnan Dua (Letda). Maliq memang masih dua tingkat di bawah lettingnya Zubair.
Maliq memberi hormat dengan tangannya yang terangkat di pelipis kepalanya. Sikap hormat seorang prajurit pada atasannya.
"Bagaimana Sun? Apa Armita masih di dalam?"
(Sun adalah panggilan Senior kepada Juniornya dalam angakatan laut)
"Masih Tor. Armita masih bersama Naya di dalam."
(Junior biasa memanggil Mentor kepada seniornya)
Zubair turun dari kendaraannya dan berjalan masuk ke dalam cafe.
Maliq menunjukkan tempat duduk Armita dan Naya.
Zubair melihatnya. Dengan langkah panjang dia langsung menghampiri Armita.
Seketika Armita terpaku ditempatnya. Ia memang merindukan Zubair. Amat sangat merindukannya.
Tapi melihat wajah Zubair kali ini membuatnya muak. Rasa sedih, marah dan kecewa berkumpul di dada, membuatnya terasa sesak.
"Untuk apa kalian mengundangnya kesini?" Ungkap Armita penuh kekecewaan.
Naya dan Maliq sengaja mengundang Armita ke cafe untuk memberitahukan rencana pernikahan mereka.
Selayaknya Zubair dan Armita, Maliq dan Naya juga sudah menjalin hubungan sejak di Bangku SMA. Namun berbeda nasib dengan mereka yang melanjutkan ke pelaminan, hubungan Armita dan Zubair malah kandas.
"Maaf Ta, sebagai sahabatmu, aku tidak ingin kamu sampai salah mengambil keputusan penting dalam hidupmu. Terutama jika itu berhubungan dengan masa depanmu!" Ucap Naya yang duduk disebelah Armita.
"Sebaiknya kalian bicarakan hal ini berdua. Kami akan mencari tempat lain." Naya beranjak dari duduknya lalu menggandeng Maliq untuk menjauh dari meja Armita.
Armita masih enggan untuk menatap Zubair. Ia ikut beranjak. Namun saat akan melangkah, tangannya langsung dicekal oleh Zubair.
"Lepas!" Suara Armita penuh rasa marah.
"Kita harus bicara!" Zubair menatapnya tajam.
"Apapun yang kita bicarakan tak akan mengubah keputusanku!" Armita menghentakkan tangan Zubair yang mencekalnya.
Bukannya membiarkan Armita pergi, Zubair justru menangkup kedua pundak Armita dengan telapak tangannya. Ia menggiring tubuh Armita hingga duduk kembali disebelahnya.
"Benar yang dikatakan Maliq? Bahwa kamu mendaftar di Akademi Militer untuk menjadi perwira karir?" Tatapan mata Zubair tegas ke arah Armita.
Armita hanya diam.
"Pendidikan Militer itu berat! Sangat menguras fisik dan mental! Bahkan bisa mempertaruhkan nyawa!"
Armita masih terdiam. Ia menundukkan kepalanya.
"Aku pernah menjalani militer sewaktu menjadi pasukan Paskibraka dulu. Apa kamu sudah lupa itu? Aku pasti sanggup melaluinya!" Armita bicara tanpa menatap Zubair.
"Pendidikan dulu itu berbeda! Itu memang militer tapi kamu tetap terdaftar sebagai sipil yang menerima pendidikan militer. Sangat berbeda perlakuan jika kamu seorang prajurit yang mendaftar militer."
Zubair meraih telapak tangan Armita.
"Aku tidak tau apa tujuanmu masuk dalam kemiliteran. Tapi kumohon batalkan niatmu itu!" Tatapan Zubair berubah sendu.
"Apa kamu tau? Bagaimana beratnya dulu aku menjalani tugas-tugasku? Bahkan saat harus berangkat ke daerah konflik peperangan yang pasti mempertaruhkan nyawaku?
Aku hanya berusaha terbaik dan berharap aku bisa selamat supaya bisa pulang dan bertemu denganmu!
Kamu penyemangatku untuk tetap hidup!"
Genggaman tangan Zubair pada Armita semakin erat.
"Ku mohon! Batalkan keputusanmu untuk mendaftar perwira karir. Aku tak akan sanggup membayangkan kamu menjalani susahnya pendidikan militer. Ku mohon sayang!"
Hati Armita tersentuh. Ia menatap lembut jemari Zubair yang menggenggamnya. Ada sebuah cicin melingkar di jari manis Zubair.
Seketika tenggorokannya tercekat. Lelaki yang menggenggam tangannya ini adalah suami orang!
"Lepas!" Armita menarik tangannya.
"Sudah kukatakan! Apapun yang kita bicarakan tak akan merubah keputusanku! Aku akan tetap masuk ke dunia militer supaya aku tau, sesulit apa menolak perintah atasan sampai-sampai seorang prajurit harus patuh meskipun itu adalah tugas untuk menikahi putri sang komandan!" Tatapan Armita penuh amarah.
Ia berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Zubair.
Baru beberapa langkah namun tubuh Armita langsung ditarik hingga langkahnya mundur.
Zubair mendekap erat tubuh Armita dari belakang. Ia cium rambut Armita dengan perasaan sesal. Rasanya sudah tak peduli pada tatapan dari pengunjung cafe yang melihat ke arah mereka.
"Hukum aku! Aku menerima hukuman apapun darimu! Jika itu semua bisa meluapkan rasa marahmu padaku! Tapi kumohon! Jangan menyiksa dirimu karena kesalahanku! Ku mohon rubah keputusanmu! Hidupku tak akan tenang jika mengingatmu tersiksa di sana. Ku mohon…"
Ucapan Zubair begitu tulus. Armita pun bisa merasakan ketulusan itu. Tapi kebencian sudah menguasai hatinya. Ia hanya ingin membalas semuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
veetachaz
jangam goyah Armita.
jangan dengerin Zubair. dia sudah melepasmu.
2022-12-11
1
veetachaz
jangam goyah Armita.
jangan dengerin Zubair. dia sudah melepasmu.
2022-12-11
1
Aline Mharlyne
ayo armita semangat!!!
2022-12-09
0