Seorang pemuda tampan berambut pajang hitam mengkilat lewat bahu berjalan biasa saja dengan sebuah tas di punggung nya dan sepasang pedang indah tergantung di kiri kanan pinggangnya.
Jika dilihat dari wajahnya yang bersih dan tampan tersenyum ramah dan ceria, maka dapat dipastikan pemuda itu pastilah perantau sederhana dari Nusantara.
Namun jika dilihat dari mata dan alisnya berbentuk golok, sungguh mengingatkan seseorang kepada tokoh tokoh pendekar Tiongkok zaman dulu.
Jiraiya yang baru tiba di pinggiran Kota Suroboyo kini berhenti sejenak. Melihat gardu dan Gaba-gaba perbatasan Jawa Timur dengan Kepulauan Baru dimana terdapat Titi panjang yang dulu pernah dilewatinya setelah dicegat preman yang ternyata utusan Pemerintah itu, hatinya semakin merindu kepada ... Ular Nabau dan Tangkalaluk yang dulu pernah menjadi sahabat sahabatnya.
Jiraiya mempercepat langkahnya di bawah terik matahari siang itu melangkah melewati Titi. Melihat seorang nelayan bercaping mengayuh perahu sedang yang ada atapnya, Jiraiya berseru keras,
"Paman, apakah paman mau mengantarku?"
"Kemana Nak?" Tanya pria tua yang melewati bawah Titi sambil menahan laju perahunya dengan pengayuh panjang.
"Ke kutai Barat, berapa Paman?"
"Sebentar aku pinggirkan dulu per,,," Belum habis kata kata Paman itu, Jiraiya sudah berada di kepala perahu.
"Ah, ternyata kau orang hebat anak muda. Mataku seperti buta tidak mengenal pendekar perkasa." Paman tua itu berkata sambil menunduk menyembunyikan sepasang mata dan pangkal hidung dibalik Caping yang dipakainya.
"Ah, Paman bisa saja. Aku hanya pintar melompat Paman. Berapa aku harus bayar ke Kutai Barat Paman? Sebelumnya singgah dulu di Kota Silim beberapa jam saja." Tawar Jiraiya kepada Paman tua itu.
"Bayarlah sesukamu Nak." Seru Paman tua dengan suara biasa sambil terus mengayuh perahu tersebut.
Melihat Paman itu berhenti mengayuh sesaat, Jiraiya bertanya,
"Apa kau lelah Paman? Biar aku yang mengayuh untuk mu."
Tiba tiba paman itu menggerakkan dayungnya dengan cepat sekali menodong Jiraiya yang kaget keheranan,
"Serahkan barang berharga mu anak muda, kalau tidak, aku akan membunuhmu." Seru Paman "perampok" dengan suara lembut dan tenang.
"Jangan main main Paman, aku tidak mau meladeni bercandaan mu." Seru Jiraiya yang langsung duduk membelakangi Paman Tua tersebut.
"Haiiit,, Ssiiiiuuutthh,," Teriakan Pak tua bersamaan dengan suara angin bersiut akibat pukulan dayung dari atas ke arah kepala Jiraiya yang langsung mengangkat tangan ke atas membuat suara,
"Prraaakkhh,," Dayung pecah berkeping keping.
Sesaat kemudian Jiraiya telah mencengkeram leher paman tua itu seraya berseru,
"Kenapa Paman merampokku? Apakah kau kekurangan uang? Katakan saja, akan ku berikan Paman, tidak perlu menggunakan kekerasan."
Jiraiya kini melepaskan cengkeraman nya yang membuat paman tua itu kembali dapat bernapas dengan normal.
Jiraiya yang berjalan kembali ke kepala kapal membelakangi paman itu kaget mendengar seruan,
"Maafkan aku Jiraiya,,"
"Hei,, dari mana Paman tau nama,,,kkhh," Jiraiya terbelalak melihat paman tua itu membuka Caping yang dipakainya.
"Maaf," Kek Hafiz kembali berseru ramah.
"Eh,, Kakek,, kenapa menipuku?" Seru Jiraiya yang langsung meloncat melewati atap perahu dan berdiri di depan Kek Hafiz lalu memeluk kakek itu erat erat.
"Aku hanya ingin melihat perkembangan mu."
"Pasti aku jauh lebih buruk dari Mahesa Kek, Hahaha,," Seru Jiraiya senang.
Segera mereka duduk di pinggir perahu mengayuh dengan pedang pendek Jiraiya di tangan masing masing.
Namun hasilnya, perahu itu meluncur hampir menyamai Speedboat kencangnya. Mereka berdua pun terlibat percakapan tanya jawab dan saling menceritakan pengalaman.
"Kau mau kemana?"
"Rencana ke Kalimantan Kek mau bertemu kedua ular naga itu."
"Aku sudah mendengar dari Mahesa tentang bakat mu itu. Mereka bukan Naga Jiraiya, mereka hanya ular biasa yang sebenarnya menjadi Raja bagi ular Piton.
"Raja Piton??" Seru Jiraiya seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
"Kakek mau kemana?" Tanya Jiraiya.
"Aku dari Kota Silim. Andi sedang berkunjung ke Aceh bersama seluruh keluarganya, Makanya aku ingin menyusul ke sana." Seru Kek Hafiz dengan suara datar dan rendah.
"Lalu Kakek sekarang mau kemana?"
"Aku ikut kau saja sambil menunggu Andi pulang."
"Baik lah Kek, mari kita pergi sambil singgah di tempat Paman Alif dan Kek Buyut." Seru Jiraiya yang langsung mengayuh dengan kencang.
.---***---. .---***---. .---***---.
Prof Andi, Rani, Santi dan Raja serta Tiara baru saja tiba di rumah mereka.
"Kalian sudah pulang? Bagaimana Putra?" Tanya sang Ibu sesampainya mereka.
"Putra sepertinya senang berada di sana Bu." Sahut Santi yang di anggukkan Raja dengan senyum puas.
"Oya An. Kemarin Kek Hafiz baru dari sini mencarimu, katanya penting." Seru mertuanya sambil mengiringi mereka masuk.
""Sekarang Kakek kemana Bu?" Tanya Andi.
"Entah lah,, mungkin saja menyusul kalian. Dia hanya bilang permisi tanpa mengatakan akan kemana," Sahut ibu tua yang tersenyum mengerutkan alis nya.
"Pa, kita jadikan besok rumah Kakek di Kutai?" Tanya Tiara penuh harap.
"Ah,, mungkin juga Kek Hafiz singgah di rumah Paman Ahmad. Sekarang juga kita ke sana. Kau ikut Rani?" Tanya suaminya.
"Ya ikutlah, Ibu dan Raja mau ikut?" Tanya Rani ke Ibunya.
"Kalian saja. Ibu ada arisan besok di rumah Buk Lurah." Sahut Ibu nya Rani.
"Sayang, kau pergilah sama Kak Rani dan Kan Andi, aku harus melihat keadaan pulau. Jika baik baik saja, aku akan menjaga Ibu saja di rumah." Raja berkata dengan penuh 'kesungguhan'.
"Baiklah, ayo kita berangkat." Seru Santi yang merasa bebas dan senang sekali bepergian semenjak Putra sembuh.
Prof Andi kembali bersiap berangkat ke Kutai bersama keluarganya. Hanya butuh waktu beberapa jam saja untuk sampai ke sana menggunakan kendaraan laut.
Kini mari kita lihat Jiraiya dan Kek Hafiz yang telah memasuki sungai dan tiba di seberang sebuah Laguna besar.
"Di tempat ini aku menyuruh mereka berdiam Kek." Seru Jiraiya dengan suara pelan.
"Kau saja duluan Jiraiya," Seru Kek Hafiz yang merasa geli juga mendengar cerita Mahesa dulu.
Jiraiya berjalan perlahan lahan menuju ke sebuah gundukan berlubang jauh di dalam hutan yang memisahkan aliran sungai dengan Laguna.
Sesampainya di sana, Jiraiya mengeluarkan desis dan suara suara aneh yang terdengar pelan. Tak lama, dalam lubang itu, terdengar pula suara aneh hampir mirip seperti suara yang dikeluarkan Jiraiya.
Setelah gencar melakukan suara suara itu beberapa lama, Jiraiya menitikkan beberapa butir air mata dipandang heran oleh Kek Hafiz.
Tak lama kemudian, Kek Hafiz bertanya melihat Jiraiya yang telah bangun dari berlutut mengusap air mata.
"Kenapa Nak?"
"Kedua ular Naga itu sudah mati Kek." Jawab Jiraiya dengan tubuh dan suara lemas.
"Semua yang hidup pasti mati Jiraiya. Tidak perlu ditangisi."
Kembali Jiraiya mengeluarkan suara desis aneh tinggi rendah serta suara "Nguet ngeut" dari kerongkongannya yang terdengar lucu menurut pendengaran Kek Hafiz.
Tak lama kemudian, Kek Hafiz terloncat kaget tiga meter ke belakang melihat dari lubang paling besar keluar sesosok makhluk aneh.
Ular sebesar pohon palem berwarna putih dengan garis kelabu di pinggir badannya. Panjang ular tersebut mencapai 4 meter.
Terdapat kaki pendek di bagian depan dan belakang tubuhnya.
Dalam kegugupannya, Kek Hafiz Berseru keras,
"Ra,,,,, Pit,,,,,"
Sebenarnya yang di sebut Kek Hafiz adalah Raja Piton Albino. Namun karena kegugupannya, kata Ja dan On serta Albino hilang terganti desis angin yang keluar disebabkan kekagetan hatinya.
"Mulai sekarang kau ku namai Rapit. Sshhh,, sshhiiissshh,, Nguett,, nggeett,,, ngukk,, Sshhh,," Suara yang keluar dari mulut Jiraiya membuat ular yang patut di sebut anak naga seperti dalam dongeng itu meliuk liuk melingkari kaki hingga badan Jiraiya untuk kemudian turun dan mendekam di bawah kaki nya.
"Kk,, Kau lah anak itu. Aku yakin, kau dan Mahesa adakah kedua orang yang di ramalkan Ki Bara Naya." Seru Kek Hafiz dengan wajah tegang sedikit tersenyum sambil mengeluarkan keringat dingin dari dahi dan wajahnya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Ghie Noerback Al-fariezzie
ayo lah lg thor
2022-10-15
1