SEPASANG KSATRIA PEDANG

SEPASANG KSATRIA PEDANG

Awal Yang Baik

Di sebuah tebing yang dikenal penduduk setempat dengan nama Tebing Maut, terdapat sebuah rumah besar dan layak di dasarnya.

Dahulu tebing ini banyak memakan korban baik binatang binatang yang jatuh maupun para pemburu. Namun kini tebing itu sudah tak lagi memakan korban jiwa karena sebuah keluarga tinggal di sana.

Pinggiran pinggiran tebing kini telah dikeruk agar bibir tebing terlihat lebih tinggi sehingga tak ada orang atau binatang yang berani mendekat setelah tau bahwa tanah bebatuan berbukit itu adalah dasar tebing yang curam.

Di dasar tebing terlihat seorang remaja yang tampan berbadan tegap dengan rambut tebal panjang melewati bahu yang di ikat ke belakang.

Remaja itu bernama Jiraiya. Dialah yang menjadi pelipur lara dan juga teman bermain seorang gadis kecil bernama Cindi Cantika putri gurunya yang bernama Satria.

Telah hampir setahun Jiraiya berada di sana menggantikan kedudukan putra pertama Satria dan Sari bernama Mahesa yang sedang belajar ilmu beladiri dari kakeknya.

Pagi itu, seperti biasa Jiraiya sedang berlatih di bawah air terjun yang besar dengan gerakan sepasang pedang pusaka keluarga Ong yang diwarisi dari kakeknya.

Puluhan meter di depannya, duduk seorang pria berusia 35 tahun yang tampan dan gagah dengan sinar mata mencorong tajam memandang setiap gerakan Jiraiya di atas batu yang menyembul dari dalam sungai.

Pria berambut putih panjang melewati bahu itu berseru pelan,

"Ulangi lagi jurus 30 sampai 67 sekali lagi."

Meski tampaknya hanya berbisik saja, namun telinga Jiraiya dapat menangkap suara gurunya dengan jelas. Padahal suara gemuruh nya air terjun saat itu sangat memekakkan telinga.

Dapat dibayangkan bagaimana hebatnya keahlian tenaga sakti yang dikerahkan melalui suara gurunya sehingga dapat disalurkan seperti itu.

Kini Jiraiya tampak mengulang lagi seperti perintah gurunya tadi dengan sepasang pedang yang di timpa berton ton air yang jatuh dengan jarak beberapa kilometer dari atas.

Mata jiraiya kini memerah dan kepala nya pusing bergaung diakibatkan hampir tiga jam di timpa gemuruh air yang semakin lama semakin besar.

"Cukup, mari kita kembali." Ucapan Satria menghentikan gerakan latihannya.

Dengan hati lega, Jiraiya kini berlari di belakang gurunya yang hanya tampak seperti berjalan saja. Namun sebentar saja gurunya telah berada kembali jauh di depannya.

Satria sengaja mencoba ketahanan muridnya. Namun, Jiraiya yang memang sudah hampir pitam dan pingsan dari tadi, kini tampak seperti tidak bersemangat untuk mengejar gurunya.

"Guru, aku ingin memetik kelapa dulu ya?, haus dari tadi." Seru Jiraiya yang membuat bibir gurunya tersenyum melihat tingkah nya.

Memang kalau di pikir, bagaimana dia mau memanjat kelapa? berlari mengejar gurunya saja dia tidak mampu lagi. Yang membuat Satria tersenyum menahan geli hatinya adalah Alasan bahwa Jiraiya haus sekali.

Padahal sudah hampir tiga jam berada di bawah air terjun yang jernih dan segar yang memang menjadi sumber air minum mereka selama ini.

Tanpa memperdulikan muridnya, Satria terus berjalan perlahan dan beberapa saat kemudian, bayangannya sudah tak tampak sama sekali.

Jiraiya yang melihat gurunya telah pulang, segera merebahkan dirinya telentang di atas rumput du bawah pohon rindang itu.

"Bodoh kau Jiraiya, mengapa harus malu mengaku ke guru bahwa kau memang lelah dan lemah? ngapain berbohong? bodoh," Sambil rebah memejamkan matanya, Jiraiya mengomel kepada dirinya sendiri.

Jiraiya tak tau bahwa gurunya kini berada jauh di atas pohon tepat di atas kepalanya sedang menahan kelucuan hatinya menyaksikan sikap Jiraiya yang meskipun sudah hampir enam belas tahun usianya, namun masih seperti kelakuan anak anak.

Mungkin hal itu dipengaruhi oleh teman bermainnya sehari hari, yaitu Cindi dan Candu yang menjadi Naga tunggangan gurunya.

Baru saja Jiraiya membuka mata, dia meloncat kaget setengah mati ketika matanya bertemu pandang dengan Satria yang menatapnya dengan tajam dari atas pohon.

.---***---. .---***---. .---***---.

Di puncak Gunung Kidul terdapat sebuah lubang yang tidak begitu besar tertutup tanaman merambat yang begitu banyak sehingga tak akan ada orang yang dapat melihat mulut gua jika tidak menyibakkan semak di muka pintu tersebut.

Jauh ke sebelah dalam gua tersebut yang menurun ke bawah, terlihat seorang bocah remaja berumur 12 tahun lebih kurang sedang duduk dikelilingi oleh bulatan bulatan sebesar bola kasti di sekelilingnya.

Dari arah lubang tersebut, keluar hawa panas dan asap yang banyak terhirup oleh remaja yang tidak lain adalah Mahesa.

Cara bersemedi seperti demikian memang telah diajarkan secara turun temurun oleh leluhur Kek Hafiz yang bahkan tidak diketahui oleh Kek Hafiz sendiri bahwa penghuni puncak gunung kidul adalah leluhurnya sendiri.

Setelah mencapai 3000 kali tarikan napas menghirup udara dan asap yang keluar dari dasar gunung itu, Mahesa pun berhenti dan kini dengan langkah tegap dia berjalan ke arah gurunya.

"Mahesa, kau harus berlatih lebih keras. Jangan merasa puas dengan apa yang telah kau capai."

"Baik Kek." Jawab Mahesa ramah dan sopan.

"Sekarang duduklah dan mari kita sarapan,"

"Mari kakek," Jawab Mahesa yang duduk dengan sopan dihadapan kakeknya.

Selesai mereka berdua sarapan secara sederhana, Mahesa segera mandi dengan air yang mengalir keluar dari liang liang batu di sudut gua.

Air yang suhunya mencapai 40 s/d 50 derajat celsius itu sangat baik bagi perkembangan tulang dan aliran darahnya. Begitu kata kakek yang menjadi gurunya tersebut.

Setelah berendam hampir sejam lamanya dalam keadaan bersemedi, Mahesa beristirahat merebahkan tubuhnya dekat dengan tempat semedi sang kakek.

Teuku Muhammad Hafiz sebenarnya adalah kakek daripada ibunya yang bernama Sari. Namun karena batin mereka begitu dekat, maka Mahesa hanya memanggilnya kakek begitu saja.

Kek Hafiz yang dimasa mudanya terkenal dengan sebutan Bocah Ajaib itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa.

Bahkan sebagian penduduk dusun di kaki gunung menyebutnya Dewa penjaga gunung yang menjelma dari sosok malaikat. Sungguh aneh aneh pendapat manusia yang terkadang tidak sampai pemahaman nya ke arah seperti itu.

Setelah beristirahat kurang lebih dua jam lamanya, Mahesa yang berada di gua puncak gunung tersebut kembali berlatih dan bersemedi atas petunjuk petunjuk gurunya.

Begitulah keadaan Mahesa sehari hari yang membentuknya menjadi calon pendekar besar kelak suatu saat nanti.

.---***---. .---***---. .---***---.

Keadaan Nusantara saat itu sedang dihebohkan oleh Dua Monster besar berbentuk ular di daerah Kalimantan.

Telah lama sekali, mungkin sepuluh tahun yang lalu warga di sekitar Kalimantan Timur pernah geger akibat kemunculan seekor ular raksasa yang di sebut Tangkalaluk.

Setelah dulu pernah mengganas di desa dan dusun sekitaran Kutai Barat, Tangkalaluk kini kembali mengganas di sebuah kampung di perbatasan Samarinda bersama seekor ular besar lainnya.

Namun ada yang berbeda dari Tangkalaluk yang muncul kini. Ular ini hampir dua kali lebih besar dari Tangkalaluk yang dulu muncul. Sedangkan ular besar yang satu lagi yang jenis nya sedikit berbeda dari Tangkalaluk bahkan hampir mencapai 3 kali lipat ukuran Tangkalaluk.

Seluruh masyarakat di Nusantara selalu berada dalam keadaan takut kalau kalau saat mereka tidur, ular naga besar itu akan memangsa keluarga mereka bulat bulat.

Kabar tersebut segera tersiar ke seluruh penjuru Nusantara, baik di dusun dusun maupun di kota kota besar hingga membuat pihak pemerintah mengutus para ahli untuk menghadapi dua ekor ular besar tersebut.

Bersambung ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!