19

Sekujur tubuh Hilda sudah kebas. Pergelangan tangan dan kakinya ngilu dan perih akibat diikat. Memar disekujur tubuhnya karena dicambuk oleh Nisa dan Heri secara bergantian mengeluarkan darah. Tujuan mereka adalah agar Arash yakin kalau mereka tidak main-main.

Kala itu, hari sudah sore. Perut Hilda keroncongan. Dari pagi dia tidak makan, ditambah dua bersepupu itu makan dengan lahap di hadapannya. Liurnya pahit dan sulit mengalir melewati kerongkongan.

Seluruh badannya sakit, tapi yang paling sakit tentu saja hatinya. Hilda tidak pernah menyangka kalau Nisa berkhianat. Ralat, Hilda tidak tahu apakah Nisa berkhianat atau teman baiknya itu hanya berpura-pura baik padanya.

Hidup Hilda benar-benar penuh kejutan. Jika dia berharap hidup akan berjalan mudah, maka kesulitan yang dia dapat. Jika dia membayangkan hidupnya susah, maka semakin susah yang ia hadapi.

Buktinya adalah kejadian ini. Hilda hanya mengharapkan kebebasan. Melepaskan diri dari Arash lalu hidup tenang. Dia pikir akan hidup rukun dengan Nenek Nisa di desa kecil ini. Sayang, takdir selalu mengkhianati mimpinya.

"Kalian salah menjadikanku sandera agar dapat uang dari Tuan Arash," kata Hilda.

Pandangannya menatap kosong ke seberang. Tempat di mana Nisa dan Heri duduk. Meskipun dia sangat ingin menangis sekarang, tapi air matanya tidak mau keluar. Hanya suaranya saja yang bergetar dan parau.

Heri dan Nisa yang menikmati makanan menoleh bersamaan ke arah Hilda.

Tersenyum miring Nisa berkata, "Siapa tahu. Kalau Tuan Arash nggak datang menyelamatkanmu, kami akan jual kamu ke orang lain."

"Yaaah...." Heri meregangkan tubuh lalu tercengir. "Memang rugi sih kalau sampai Tuan Arash tidak menebusmu. Tapi, kami tidak mau pulang tanpa membawa uang. Kamu bisa saja akan kami jual pada seseorang di pasar gelap."

Sinar mata Hilda meredup. Dia tidak ingin bermimpi lebih. Memimpikan Arash datang bak pahlawan dan menyelamatkannya adalah dongeng yang bagus untuk anak-anak. Hanya dongeng. Kenyataannya tidak akan terjadi.

Memangnya siapa Hilda sampai Arash harus

menyelamatkannya.

"Tapi, Her, kamu sudah menyiapkan semua ini dengan matang, kan?" tanya Nisa.

Dijawab anggukan kepala oleh Heri. "Kamu tahu aku menyiapkan ini sudah dua minggu yang lalu."

"Dua minggu yang lalu?" Hilda menimpali. Tidak menyangka kalau ternyata penculikan ini adalah skenario yang sudah disusun matang oleh mereka berdua. Nisa beranjak menuju tempat Hilda duduk terikat. Dia berjongkok lalu menjambak rambut Hilda sampai kepala gadis itu tertengadah.

"Saat kamu dibawa oleh dua orang asing waktu di rumah makan itu, aku mendengar salah satu dari mereka mengatakan kalau kamu akan jadi istri Tuan Arash. Kamu tahu apa yang ada di kepalaku waktu itu?"

Hilda menggeleng pelan.

"Aku iri, Hill. Kita ini senasib. Tapi kamu ternyata lebih beruntung dari aku. Aku punya ayah punya ibu, bukan anak haram kayak kamu. Lalu kenapa kamu lebih beruntung?!"

"Seharusnya kamu sadar kalau Tuhan nggak pilih kasih. Mau kamu punya keluarga lengkap, mau kamu anak yatim, atau anak haram kayak aku pun, Tuhan tahu kapan waktunya memberi keberuntungan."

"Dan kamu bilang tadi apa? Aku beruntung?” Hilda tertawa pilu. "Di bagian mana di hidupku

ini yang memperlihatkan keberuntunganku?"

"Kamu dinikahi Arash, tinggal di partemennya yang super mewah. Makan terjamin. Tidur nyenyak. Dapat uang tanpa bekerja. Semua itu sudah jelas kamu rasakan dan kamu tidak bersyukur." Nisa melepaskan jambakannya. Dia duduk di sisi Hilda, tatapan matanya sendu.

“Dan kamu sendiri, nggak bersyukur punya hidup yang lebih baik dari aku?" tanya Hilda balik.

"Keluargamu lengkap, Nis. Ada ayah, ibu, sepupu. Sedangkan aku? Aku cuma punya ibu, dan sayangnya ibu sudah menjualku. Aku sebatang kara sekarang."

“Aku memang punya keluarga yang lengkap. Tapi kami miskin, Hil. Yang orang kecil macam kami ini butuhkan adalah uang. Persetan dengan keluarga lengkap atau sebatang kara. Pokoknya, asal ada uang maka kamu akan bahagia."

"Lalu, apakah kamu bahagia mendapatkan uang setelah menjadikanku sandera?" tanya Hilda getir.

Nisa tidak menjawab. Dia menunduk tersembunyi matanya yang berkaca-kaca. "Maaf, Hil. Aku terpaksa."

Tiba-tiba Heri sudah berdiri di hadapan mereka berdua. Tersenyum kemenangan, Heri menarik tangan Nisa agar gadis itu berdiri.

"Berhasil! Kata Tuan Haris, Tuan Arash akan

datang ke sini membawa uangnya."

"Bagaimana kalau mereka membawa polisi?”

Nisa menggigit bibir.

"Menurut temanku yang merupakan musuh Arash, pria itu anti berurusan dengan polisi. Dia pasti akan datang sendiri," kata Heri penuh percaya diri.

"Heri, kamu yakin rencana ini akan berhasil? Yang kita hadapi ini Arash loh. CEO kejam yang kalau tidak disuruh ayahnya meneruskan perusahaan, dia akan jadi mafia kelas dunia."

Heri menarik Nisa menenangkan Hilda.

"Her, kita di sini cuma cari mati."

"Kalau memang ada yang harus mati, maka itu bukan aku." Heri lalu mengeluarkan sebuah benda dari kantong celananya. Sebuah Pistol Glock 17 yang terlihat masih baru.

"Aku akan ancam Hilda dengan pistol ini. Atau kutembak aja dia sekalian."

Nisa terbelalak ketika melihat pistol itu. "Her!

Kamu udah sinting!"

"Demi uang, Nis. Coba kamu bayangin kehidupan kita dengan uang sebanyak itu. Kamu nggak perlu lagi tinggal di rumah yang hampir roboh itu. Kamu bebas membeli apa pun yang kamu mau. Dan yang lebih penting, kamu bisa membeli kebahagiaan."

"Uang itu nggak bisa membeli kebahagiaan!" kata Hilda. Karena Heri menaikkan volum suaranya, akibatnya Hilda bisa mendengarnya dengan jelas. Meskipun jarak mereka lumayan jauh.

"Kamu lihat aku, Nis. Aku memang dinikahi pria terkaya di Indonesia, tapi apakah aku bahagia?" Hilda menggeleng. "Nggak bahagia. Buktinya aku mau melepaskan diri dari Arash."

"Kamu itu cuma lupa bersyukur aja!" Heri berteriak murka. Marah karena dia merasa Hilda mencoba menghasut Nisa.

"Nis, kita harus fokus. lima miliar sudah di depan. mata." Heri menggenggam erat tangan sepupunya itu. Meyakinkannya. Perlahan, Nisa menggangguk, meskipun dengan setengah hati.

Lalu, terlihat pintu ditendang. Langsung lepas dari engselnya dan melayang beberapa sentimeter, masuk ke dalam rumah tua itu. Di depan pintu berdiri seorang Arash dengan gagah perkasa.

"Dua ekor jentik-jentik ini berani mengusik

macan, ya?" Arash menyeringai.

Dia mengedarkan matanya ke sekeliling. Keningnya berkerut ketika melihat Hilda meringkuk di pojok rumah. Keadaannya sangat mengenaskan.

Heri yang sempat terkejut buru-buru

menghampiri Hilda. Membuat gadis itu berdiri, lalu menodongkan pistol ke pelipis Hilda. Sedangkan Nisa masih bergeming di tempatnya berdiri.

"Serahkan uangnya atau perempuan ini mati!"

ancam Heri.

Arash tertawa. Lawakan Heri murah, terlalu murah. Pasaran. Tidak mempan sama sekali jika diterapkan padanya. Sekali lihat saja Arash tahu kalau Heri baru pertama kali menggeluti bidang ini.

"Tembak lah. Dengan begitu saya nggak perlu repot-repot lagi nyingkirin dia," ancam Arash balik.

Penuh percaya diri, Arash melangkah menuju

Hilda dan Heri. Heri yang ketakutan refleks

mundur dengan menyeret Hilda.

"Gimana rasanya Hill? Mau mati di tangan dia

atau mati di tangan saya?" Arash menyeringai.

Hilda tidak menjawab, kesadarannya hilang perlahan. Sampai detik ini hanya suara Arash dan Heri yang dapat dia dengar. Sedangkan matanya sudah tertutup tanpa ada tenaga untuk mrmbuka.

"Serahkan uangnya! Cepat!" teriak Heri semakin kalap.

Hilda benar-benar kehilangan kesadarannya. Dia jatuh terjerembap. Heri yang tidak mempersiapkan diri ikut jatuh akibat ditimpa berat badan Hilda.

"Sialan!" umpat Heri. Dia semakin pucat ketika Arash mendekat.

"Jangan mendekat! Atau saya tembak Anda!"

Bukannya menurut, Arash malah semakin

melajukan langkahnya.

"Nisa, kamu ngapain berdiri di situ?! Cepetan

tolongin aku!" teriak Heri.

"Nggak ada gunanya," sahut Arash.

"Sialan!"

DOR!

Sebutir peluru ditembakkan Heri. Setelah itu dia berusaha bangkit. Tersenyum senang ketika pelurunya ternyata mengenai kaki Aarash.

Heri tertawa seperti orang gila. Dia kembali menodongkan pistolnya. Kali ini ke hadapan Arash.

"Kali ini peluru ini akan bersarang di kepala Anda."

Arash mendongak sambil mempertahankan ekspresi agar tidak terlihat seperti sedang kesatikan. Kakinya sekarang terasa sangat nyeri. Di luar dugaannya, ternyata Heri lebih berani.

"Kurang ajar kamu!" desis Arash.

Dia bangkit dan ....

DOR!

Bersambung......

Terpopuler

Comments

𝓐𝔂𝔂🖤

𝓐𝔂𝔂🖤

wehh....beneran ditembak tuh

2022-10-15

1

💖⃟ꪶꫝndaꪶꫝ

💖⃟ꪶꫝndaꪶꫝ

sehari 2 bab keren. ak klo 1 bab ampe 2 hri 🤭

2022-10-13

4

💖⃟ꪶꫝndaꪶꫝ

💖⃟ꪶꫝndaꪶꫝ

semangat trus 🤗

2022-10-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!