14

Arash sampai di rumah. Buru-buru masuk dan langsung berlari menuju kamar. Mengambil beberapa potong pakaian lalu memasukkannya ke tas. Sang istri dengan kening berkerut menghampirinya.

"Kenapa, Mas?" tanya Karmila sambil memegang tangan Arash. Arash tidak menjawab karena terlalu fokus merapikan isi tasnya.

"Ada masalah lagi dengan perusahaan?" selidik wanita cantik itu.

"Mas?" Karmila mengguncang tangan suaminya.

Arash terperanjat. Dia tersenyum kikuk ke arah Karmila sambil berkata, "Eh, ya? Kenapa, Sayang?"

Karmila memutar bola matanya. "Harusnya aku yang tanya kenapa, Mas."

Menggaruk kepala, Arash berucap, "Nggak ada ара-ара."

"Terus kenapa kamu memasukkan pakaian ke tas? Kamu mau pergi lagi? Perusahaan kembali down? Kali ini masalahnya apa? Kan, aku udah bilang kalau kamu curiga dengan karyawan kamu langsung pecat aja mereka. Kujamin nggak bakalan kejadian yang kayak gini."

Arash menggigit bibir. Dia lupa punya istri yang cukup cerewat tapi cerdas di waktu yang sama. Membuatnya harus memeras otak untuk mencari alasan agar Karmila tidak curiga.

"Sayang, aku pergi cuma beberapa hari kok. Malah kalau urusannya sudah beres hari ini, aku akan langsung pulang. "bujuk Arash.

"Kali ini ke mana lagi?" tanya Karmila dengan

nada ketus.

"Bandung."

"Nggak bisa diwakilkan dengan yang lain, ya, Mas? Haris, mungkin? Atau anak buah kepercayaan Mas yang lain?"

"Bisa aja sih.... Cuma kalau nggak turun tangan langsung rasanya nggak puas."

Arash jujur ketika mengatakan ini. Dia sebenarnya bisa saja menuruh Haris atau Jonathan dan anak buahnya membawa Hilda kembali. Tapi hatinya begitu rusuh ketika dia berpikir untuk menyerahkan tugas ini kepada anak buahnya saja.

"Mas mau ninggalin aku lagi? Baru juga beberapa hari yang lalu kamu pulang. Masa mau pergi lagi?" rengek Karmila.

"Jangan-jangan kamu pergi bukan karena bisnis.

Kamu punya simpanan?"

Deg!

Jantung Arash berdenyut. Seharusnya kata "simpanan" yang diucapkan Karmila tidak memengaruhinya. Ternyata, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Dia seperti suami yang ketahuan selingkuh oleh istrinya sendiri.

Karmila memang tidak tahu kalau Arash diam-diam sudah menikah dengan Hilda. Apakah ini juga bisa disebut selingkuh? Tentu saja tidak. Arash menikahi Hilda secara sah. Ada surat nikahnya. Hubungan Hilda dan Arash sah di mata semua orang. Tapi tidak di mata keluarganya.

"Mas selingkuh?" Mata Karmila sudah berkaca-kaca.

"Nggak lah, Mil. Aku punya istri cantik banget dan sudah setia menemaniku selama tujuh belas tahun. Aku pasti gila kalau selingkuh di belakang kamu."

"Aku cuma pergi sebentar aja kok. Kayak biasa. Paling dua-tiga hari sudah pulang." Arash membelai pipi Karmila.

Namun, Karmila menepisnya. Mengentakkan kaki, Karmila keluar kamar. "Risiko punya laki CEO ya gini. Terserah kamu deh, Mas. Urusi aja pekerjaanmu yang lebih penting di atas segalanya itu."

BRAK!

Karmila membanting pintu.

Arash mengulum senyum. Terkadang, tingkah kekanakan Karmila rada lucu juga. Wajahnya yang dewasa tidak selaras dengan tingkah lakunya yang merajuk dengan bibir dimajukan itu.

Tidak mau membuat Karmila marah berlama-lama, Arash menyusulnya. Menit berikutnya Arash sudah membawa Karmila kembali ke dalam kamar.

"Jangan ngambek dong. Kalau ngambek jadi makin tua," bujuk Arash setengah menggoda.

Bukannya luluh, Karmila malah semakin marah. "Bilang aja aku sudah jadi nenek-nenek sekarang. Iya, aku jelek. Makasih sudah mengingatkan!" Dia berusaha melepas pelukan Arash di perutnya. Sayang, bukannya terlepas, pelukan itu jadi semakin erat.

"Cepetan pergi sana! Nanti kamu terlambat."

"Nggak akan pergi sebelum kamu izinin."

"Tumben?" Karmila menoleh ke belakang. "Biasanya tanpa izinku kamu juga akan tetap pergi."

Arash tersenyum mesum. Sambil tetap memeluk. dia membawa Karmila menuju tempat tidur. Membaringkan istrinya dengan lembut.

"Aku belum minta jatah. Nggak mungkin bisa

tenang di sana nanti."

Arash membuka satu kancing teratas baju Karmila sambil menatap dalam ke manik mata sang istri. Gairah yang kuat menguar dari sana.

"Nanti Mas telat. Mas mainnya kan suka lama," tolak Karmila. Dia menahan tangan Arash ketika akan membuka kancing kedua bajunya.

"Derita punya istri cantik plus seksi ya gini,

Sayang. Pengin nambah terus. Nggak puas kalau cuma sekali." Arash lalu tergelak karena melihat ekspresi malu Karmila.

"Mas Arash cabul!"

"Ya ampun, Mil. Sudah belasan tahun loh kita

kayak gini masa kamu masih malu-malu?"

Karmila memberontak. "Mas, nggak sekarang, ya. Sumpah, bukannya aku menolak. Aku cuma nggak mau kamu telat. Kamu boleh pergi sekarang. Aku nggak bakalan marah."

Arash tersenyum puas. Memang inilah tujuan awalnya menggoda Karmila agar perempuan itu cepat mengizinkannya pergi. Dia tahu Karmila tidak suka diajak "main" di siang hari.

Arash bangkit, Meraih tasnya dan langsung turun ke lantai satu. Di iringi Karmila di belakang. Pria besar itu langsung menuju teras rumah. Di sana ada Haris yang menunggu dengan pintu mobil yang dibiarkan terbuka.

Haris membungkuk kepada sepasang suami istri itu. Arash membalas dengan lambaian tangan dan Karmila membalas dengan senyum manisnya.

"Berangkat sekarang, Tuan?" tanya Haris sambil duduk di belakang setir.

"Ya. Jangan buang-buang waktu lagi. Aku tidak mau kehilangan kesempatan." jawab Arash.

Di telinga Karmila, ucapan Arash hanya terdengar seperti ucapan para CEO biasa. CEO yang gila kerja dan menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan. Tapi yang sebenarnya dibicarakan Arash dengan Haris tidak ada sangkut pautnya dengan bisnis. Semua tentang Hilda.

"Kabarin aku kalau sudah sampai di sana, ya. Mas," kata Karmila ketika Arash masuk ke dalam mobil.

"Oke, Sayang. Pasti akan kukabari."

Arash melambaikan tangannya ke arah Karmila. Ketika mobil sudah memasuki jalan raya tampang Arash berubah. Senyum lebarnya spontan hilang.

"Ada kabar lagi dari anak buah di lapangan?"

tanyanya ketus.

"Tidak ada, Tuan. Sepertinya Nona Hilda belum berangkat."

Arash meraup wajahnya. "Setelah ini pecat bi

Ani. Dia tidak becus menjaga anak kecil itu."

"Ya?" Haris mengerjap. Tidak menyangka akan mendengar kata "pecat" dari Arash untuk seorang wanita tua yang sangat berjasa dalam hidupnya.

"Tuan yakin? Tuan sangat menyayangi bi Ani?"

“Justru karena aku menyayanginya, aku tidak ingin membuatnya lelah. Dia sudah cukup tua untuk melakukan pekerjaan berat. Salah satunya menjaga anak bandel itu."

Haris sedikit tidak terima ketika Arash mengatakan bahwa Hilda adalah anak bandel. Sejauh yang Haris lihat, Hilda adalah anak penurut dan super sabar. Di usianya yang baru dua puluh tahun. kemampuan mengontrol emosi Hilda luar biasa bagusnya. Perlu diberikan penghargaan.

Yang disalahkan harusnya adalah Arash. Haris tidak mengerti dengan perubahan drastis sifat tuannya jika bertemu Hilda. Ibarat menyiram bensin ke kobaran api.

Helaan napas terdengar dari bibir Arash. Haris menolah. Dia terbelalak karena ini adalah kali kedua Arash merokok hari ini. Seperti bukan Arash yang dikenalnya. Arash paling anti dengan rokok. Sestres apa sih Arash sekarang?

"Ini kedua kalinya Tuan merokok hari ini," tegur Haris.

Arash hanya tertawa kecil. "Baru tahu kalau

ngerokok di saat kayak gini tu enak, Ris."

Tiba-tiba Arash membuang puntung rokoknya ke luar jendela. Dia lalu menatap Haris yang sedang mengendarai mobil lurus-lurus.

"Saya mau tanya. Jawab jujur, Ris."

Haris mengangguk patuh. "Baik, Tuan. Tanyakan saja."

"Kamu suka Hilda?"

"Suka. Dia gadis baik dan polos. Pintar masak dan penyayang," jawab Haris tanpa pikir panjang.

"Sepertinya kamu sangat hapal dengan sifat

perempuan itu. Kamu menyukainya, kan?"

Haris hanya tersenyum tipis. "Bi Ani juga menyukainya."

"Bukan suka itu yang saya maksud. Maksud saya adalah apakah kamu menyukainya sebagai seorang pria kepada wanita?"

"Tidak," jawab Haris tegas.

arash menaikkan sebelah alisnya, tidak percaya dengan ucapan Haris. "Tatapan kamu ketika melihatnya itu beda, Riw. Saya bisa lihat kalau kamu ada rasa ke dia." Arash terus menyudutkan Haris agar pria tampan itu mengaku.

"Hilda mirip adik saya yang meninggal tujuh belas tahun yang lalu, Tuan." Wajah Haris mendadak murung. "Marri dan Hilda persis sekali. Umur mereka pun sama. Dua puluh tahun."

Napas Haris tiba-tiba saja terasa berat. Kesedihan mengganjal di tenggorokannya.

"Melihat Hilda membuat saya seperti melihat Marri. Rasanya adik saya terlahir kembali. Dan saya bertekad ingin melindunginya. Saya ingin menebus hal yang tidak bisa saya lakukan untuk Marri di masa lalu."

"Begitu, ya?" Arash turut sedih.

Dia merasa bersalah sudah berburuk sangka terhadap orang kepercayaannya ini. Arash pernah mendengar tentang Marri. Adik Haris itu meninggal ketika berumur tiga tahun karena sakit keras. Kondisi perekonomian keluarganya sangat mengkhawatirkan waktu itu. Tidak ada biaya berobat sama sekali. Akhirnya, mereka harus merelakan Marri pergi.

"Kalau begitu kamu harus menjaganya," kata Arash lirih. "Tentu, Tuan."

Suasana di dalam mobil menjadi hening selama lima belas menit ke depan. Arash sepertinya masih merasa bersalah dan memilih bungkam. Sementara Haris fokus menyetir dan juga bingung harus membahas apa lagi dengan Arash.

Ponsel Haris berdering. Pria itu segera menjawabnya. Tidak perlu waktu lama, dia mengakhiri panggilan itu.

"Dari anak buah Jonathan," kata Haris. "Nona Hilda sudah berangkat dengan kapal bersama seorang gadis."

Arash mengangguk paham. "Suruh mereka naik kapal itu dan terus amati Hilda," titahnya.

"Baik, Tuan."

Selama sisa perjalanan menuju pelabuhan, Haris banyak merenung. Memikirkan perubahan sikap Arash terlihat kentara. Majikannya ini sikapnya menjadi aneh ketika tahu Hilda minggat. Seperti sikap tidak mau kehilangan. Posesif. Haris dibuat bingung. Yang Haris tahu Arash sangat membenci Hilda. Buktinya nyata.

Namun sekarang, Arash malah kalang kabut ingin menemukan gadis manis itu. Haris yakin ini bukan hanya sekedar rasa tidak mau rugi karena kehilangan gadis seharga lima miliar.

"Apa Tuan jatuh cinta kepada Nona Hilda?" tanyanya tanpa sadar.

Arash yang mendengarnya terbelalak. Spontan dia mencengkeram kerah baju Haris. Membuat Haris terkejut dan mobil sempat hilang kendali.

"Apa maksud kamu bilang begitu?" tanya Arash geram.

"Sa-saya tidak bermaksud begitu, Tuan. Maaf."

"Kenapa kamu menyimpulkan kalau saya jatuh cinta kepada Hilda?"

"Saya... melihat perubahan sikap yang tidak biasa dari Tuan," Kata Haris. "Begitu, ya? Kamu harus buka mata kamu lebar-lebar."

Arash menyamankan duduknya dengan cara bersandari di kursi sebelum berkata, "Satu-satunya yang saya cintai adalah Karmila. Hilda hanyalah alat penghasil anak. Dia nggak akan saya buang setelah berhasil menyelesaikan tugasnya."

Bersambung.....

Terpopuler

Comments

Katherina Ajawaila

Katherina Ajawaila

mulutnya harus dinpopol pake rawit sm lada di ullek2 biar jan gan nyumpahin mulu

2023-07-14

0

Nuris Wahyuni

Nuris Wahyuni

kok istri atas gak mau diajak main siang2 ada apakah itu yg disembunyikan ??

2023-02-03

1

𝓐𝔂𝔂🖤

𝓐𝔂𝔂🖤

mulut nya arash minta di tampol😳😳

2022-10-15

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!