04

Hilda duduk menerawang di ranjang. Tatapan matanya kosong ke lantai. Bubur yang disiapkan bi Ani tidak tersentuh sedikit pun. Hanya dibiarkan dingin begitu saja di atas nakas di sisi ranjang. Keadaan Hilda tidak jauh lebih baik dari tiga hari terakhir. Setelah Arash membentak dan mencekiknya, Hilda jadi pendiam. Dia tidak pernah keluar kamar, bahkan tidak pernah beranjak dari ranjang, Sedetik pun. Matanya benar-benar sayu. Tubuhnya mulai kurus. Makanan yang disiapkan bi Ani paling bantet hanya satu sendok yang masuk ke dalam tubuhnya.

Selama tiga hari ini juga Arash tidak pernah menjenguk Hilda di kamarnya. Hilda juga tahu Arash tidak lagi datang berkunjung ke apartemen. Mungkin Arash sudah membuangnya. Istri yang tidak berbakti pada suami sepertinya lebih pantas dicampakkan daripada dipertahankan.

Pintu kamar terbuka. Hildaa yang masih menatap lantai bukannya tidak tahu siapa yang datang. Tubuh besar Arash sangat kentara di kamar yang lumayan kecil ini. Tubuhnya hampir memenuhi pintu. Bohong kalau Hilda tidak melihat kehadirannya.

Pria itu berjalan pelan menuju ranjang. Menghela napas ketika melihat semangkuk bubur tidak disentuh sama sekali oleh Hilda.

"Kamu belum makan seharian ini, kan? Makanlah. Bi Ani sudah rela membuatkan bubur ini untukmu." Arash menyodorkan mangkuk berisi bubur ke hadapan Hilda. Gadis itu membalas dengan membuang muka, tanda kalau dia enggan menuruti ucapan Arash.

"Hildaaa," kata Arash dengan suara bassnya yang dalam. Terdapat kemarahan yang dia coba untuk diredam sekuat tenaga. Jika Hilda melakukan kesalahan sedikit lagi saja, maka kemarahan Arash akan meledak. Tapi, justru itulah keinginan terbesar Hilda sekarang. Diusir dari sini. Hidup di jalanan sepertinya lebih menyenangkan daripada hidup di apartemen mewah yang penuh beban.

"Kamu masih ingat, kan kesepakatan kita? Kamu tidak diperbolehkan melakukan segala macam hal yang dapat mencelakakan fisik kamu. Sikapmu yang seperti ini bisa membuatmu tambah sakit.”

"Saya mau mati saja."

PRANK!!

Arash melempar mangkuk berisi bubur ke dinding. Benda dari kaca itu pecah berkeping-keping. Isinya berhamburan di lantai dan sedikit mengotori dinding. Arash yang murka menyentak tangan Hilda. Menggenggamnya sampai gadis kecil itu meringis. Pergelangan tangannya terasa mau putus akibat ulah Arash.

"Nggak semudah itu kalau kamu mau mati di hadapan saya!" Arash menghempaskan tangan Hilda. Pria itu segera meraih segelas air di nakas sebelum menandaskannya. Dia menarik napas panjang berkali-kali. Berharap amarahnya bisa sedikit dikendalikan sehingga tidak membentak gadis malang ini lagi.

Perlahan, Arash duduk di tepi ranjang. Tatapan matanya sudah lebih ramah. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman, walaupun secara terpaksa. "Umur saya 43 tahun, Hilda. Saya dan Karmila sudah menikah selama tujuh belas tahun. Tapi, sampai sekarang kami belum diberikan anak oleh Tuhan. Padahal, nggak ada yang salah dengan kami berdua."

Jeda sejenak, Arash menarik napas panjang lagi. Entah kenapa mengatakan masalah rumah tangganya kepada orang lain rasanya seperti memberikan rahasia penting kepada musuh.

"Saya perlu anak sebagai pewaris perusahaan. Kalau tidak begitu, usaha yang dirintis oleh keluarga kami akan berakhir begitu saja, saya tentu nggak mau itu terjadi. Walaupun Mila sudah menyarankan saya untuk mengadopsi anak, saya tidak mau. Pewaris perusahaan haruslah berasal dari darah daging saya sendiri. Jika Mila tidak bisa memberikannya, maka cara yang terakhir adalah menikah dengan perempuan lain dan membuatnya mengandung anak saya. Ini pun tanpa sepengetahuan Mila."

Perlahan, Hilda mengalihkan pandangan. Kini dia menatap wajah sedih Arash, pandangan mereka berserobok. Entah disadari atau tidak, Arash sedang tersenyum tulus padanya. "Bantu saya, ya? Cuma kamu yang cocok untuk melahirkan anak saya."

Mendengar cerita Arash barusan membuat Hilda sangat bersimpati. Dia berpikir mungkin inilah saatnya bagi Arash untuk menidurinya. Jika laki-laki itu ingin segera memiliki anak, seharusnya jangan membuang-buang waktu lagi. Hilda sudah pasrah. Jika Arash ingin melakukan hubungan badan sekarang, dia akan mencoba memberikan yang terbaik yang dia miliki.

Seolah tahu apa yang ada di pikiran Hilda, Arash menggeleng pelan. "Nggak sekarang. Saya mau mandi dulu. Setelah badan saya segar, saya akan ke sini lagi. Selama itu kamu juga harus makan. Oh ya, pintunya jangan dikunci. Saya harap kamu sudah siap."

Hilda mengatup bibir rapat-rapat. Baru pertama kali dapat perlakuan yang lebih ramah dari Arash membuatnya bersemu. Wajah pucatnya berangsur hilang. Jantungnya berdegup kencang. Rasa kesal dan marahnya sudah menguap. Hilang tanpa bekas. Ini adalah yang pertama kalinya untuk Hilda. Tidak ada pengalaman atau pengetahuan sama sekali tentang urusan ranjang. Walaupun dibesarkan oleh wanita yang pekerjaannya selalu di ranjang, tidak sekali pun Kartika memberikan pelajaran tentang **** padanya. Hilda berterima kasih untuk itu, dulu. Sekarang, dia menyesalinya.

Dia rela menyerahkan keperawanannya untuk pria yang bisa jadi- seumuran ayahnya. Tapi, kalau dilihat-lihat, wajah Arash tidak seperti pria berumur empat puluh tiga tahun. Jika Arash tidak memberitahu berapa usianya, Hilda masih beranggapan kalau usia Arash adalah akhir dua puluhan. Arash memiliki wajah blesteran. Entah perpaduan dari negara mana. Bola matanya berwarna cokelat gelap, senada dengan rambut bergelombangnya. Jangan lupakan tubuh besarnya itu. Berada di dekatnya membuat Hilda seperti kurcaci di cerita Putri Salju.

Lima menit setelah kepergian Arash ke kamar mandi, pintu kembali terbuka. Hilda hampir saja jantungan karena mengira yang datang adalah Arash. Sumpah, demi apa pun, Hilda belum siap melakukan hubungan suami istri dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Untung yang datang adalah bi Ani, sambil membawa nampan di tangannya.

“Bi Ani…,” cicit Hilda.

"Kata Tuan, Bibi harus memberikan bubur lagi karena sudah habi........" Kening bi Ani mengerut saat melihat serpihan mangkuk berserakan di lantai. Bi Ani segera meletakkan nampan di atas meja lalu meraih kedua bahu Hilda.

"Kenapa mangkuk itu bisa sampai pecah?! Nona Hilda tidak apa-apa? Apakah ada bagian tubuh yang terluka?" Dengan raut penuh kekhawatiran, bi Ani meneliti setiap bagian tubuh hilda yang bisa ditelitinya. "Ayo katakan di bagian mana Nona Hilda terluka. Biar Bibi obati."

Hilda tersenyum. Sekarang dia yang meraih kedua bahu bi Ani. "Aku nggak pa-pa, Bi. Tuan Arash cuma sedikit marah tadi jadi dia melempar mangkuk ke dinding."

"Ah, syukurlaaah! Bibi kira Nona kembali dikasari oleh tuan Arash." Bi Ani bernafas lega. Dia mengelus kepala Hilda dengan penuh kasih sayang. "Yang sabar, ya, Nak. Pasti ada balasan dari setiap kesabaran yang tidak keluarkan."

Percakapan keduanya terhenti ketika Arash masuk ke kamar. Bi Ani segera pamit. Hilda yang tadi i sempat rileks kini kembali tegang. Napasnya tidak baraturan. Apalagi ini pertama kalinya dia melihat pria yang hanya memakai mantel mandi. Dada bidang Arash mengintip jelas dari balik mantel biru malam.

Arash mengunci pintu. Tatapannya terkunci pada Hilda. Langkah kakinya semakin mendekati ranjang. Simpul ikatan pada mantel mandi Arash dibuka dengan sekali tarik. Sebelum mantel itu memperlihatkan tubuh polos Arash, Hilda lebih dulu memejamkan mata dan membuang muka.

Lama Hilda menantikan kelanjutan permainan Arash, tapi suaminya tidak melakukan apa-apa. Penasaran, Hilda membuka matanya. Dia dibuat bingung ketika melihat Arash sedang memakai baju.

Arash berbalik. Menatap tepat ke manik mata Hilda. Tidak ada tatapan lembut lagi di matanya. Tatapan Arash sudah kembali seperti biasa, dingin. Dengan rahang yang mengeras pria itu berkata, "Kenapa kamu memejamkan mata dan memalingkan muka? Apa bentuk tubuh saya membuatmu kecewa?"

"A-aku cuma malu ...."

Ernan menyeringai. "Malu?! Sok polos! Saya benci perempuan seperti itu! Katakan sudah berada banyak pria yang menidurimu, jangan pasang tampang polos seperti kamu baru pertama kali melihat laki-laki telanjang!"

"Me-memang pertama kali...."

"Kamu pandai berakting! Seolah-olah kamu baru dalam hal ini. Padahal kamu sama saja dengan ibumu!"

Untuk yang kesekian kalinya Hilda terluka lagi.

Bersambung....

Terpopuler

Comments

nur syamsiah

nur syamsiah

jd lki"...arogan..se x

2023-07-27

0

Ica Ica

Ica Ica

mulut mu pedes bngt aras hilda masih segel walau pun ibu nya seorang wanita malam

2023-07-25

1

Aze_reen"

Aze_reen"

naifnya Hilda...
hidup dlm goa kah smpai segitunya mudah baperan, mudah percayaan yg pasti keliatan banget klw mudah jatuh cinta...baperan amat

2023-07-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!