18

"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, Tuan?" usul Haris. "Saya takut si penculik adalah musuh bisnis Tuan. Jika benar begitu, dia pasti penuh dengan tipu muslihat."

Arash terkekeh mendengar usulan Haris.

"Kamu tahu betul saya paling anti lapor polisi. Nggak ada gunanya. Saya bisa mengatasinya sendiri, kenapa harus repot-repot melibatkan mereka."

"Tapi... dengan bantuan polisi bisa lebih mudah, Tuan. Tuan tidak perlu mengotori tangan. Hanya menyerahkan saja kepada mereka."

Lagi-lagi Arash tertawa. Kedengaran seperti tawa terpaksa. Biar keadaannya, Arash kadang-kadang tertawa. Meskipun setiap tawa yang dikeluarkannya memiliki makna yang berbeda.

"Terkadang kamu jadi bodoh, Ris," ejeknya. "Kamu nggak sadar justru dengan lapor polisi makin tambah rumit urusannya. Saya nggak mau repot. Lagi pula saya mau menghabisi penculik ini dengan tangan saya sendiri. Berani-beraninya dia mengancam saya lewat seorang perempuan yang nggak berharga."

"Perlu saya siapkan uang lima miliar itu, Tuan?"

"Ah! lima miliar." Arash manggut-manggut sambil menggosok dagu. Otaknya sedang menimbang-nimbang, apakah perlu dia mengeluarkan uang lagi untuk menebus Hilda?

Tentu saja tidak! Arash tidak mau rugi untuk yang kedua kali. Masa iya dia harus menghabiskan sepuluh miliar hanya untuk seorang perempuan sejenis Hilda yang tidak jelas asal-usulnya.

"Tidak perlu keluar uang sepeser pun, Ris. Kalau bisa memakai cara kekerasan, kenapa harus repot mengeluarkan uang sebanyak itu."

"Baik, Tuan. Saya akan mempersiapkan beberapa orang kita lagi untuk mengepung tempat itu."

"Jangan terlalu berlebihan, Ris. Saya sendiri saja sudah cukup menghabisi dia."

"Tapi kita masih belum tahu siapa penculik itu, Tuan. Bisa saja dia berkomplotan," ujar Haris penuh rasa khawatir.

Biar bagaimanapun besarnya fisik Arash dan betapa ahlinya pria ini menguasai ilmu bela diri. tapi jika Arash sendirian menghadapi penculik yang belum diketahui identitasnya ini bagaimana jika terjadi sesuatu padanya. Apa yang akan Haris katakan kepada Karmila nanti.

“Percayalah, hanya orang lemah yang memakai Hilda untuk memeras saya. Kamu tahu musuh-musuh saya yang kita hadapi beberapa tahun lalu, kan? Apa yang mereka lakukan pada saya?"

"Membuat Tuan kecelakaan fatal sampai hampir mati."

"Ya. Intinya mereka ingin saya mati. Tapi lihat si cecunguk satu ini, dia menggunakan Hilda untuk memeras uang saya. Bisa dilihat, kan kalau dia hanya perlu uang saya. Dia lemah. Sangat lemah."

Lalu, Jonathan datang. Wajah bulatnya memerah karena bersemangat. Sepertinya dia berhasil mendapatkan informasi si penculik Nonanya itu sebelum lewat tiga puluh menit. "Yang punya nomor ini adalah Heri Hermanto."

"Heri Hermanto?"

Kepala Arash dan Haris terteleng serentak. Keduanya saling pandang seolah mengingat-ingat bagaimana wajah pria bernama Heri Hermanto.

"Saya nggak kenal siapa dia," kata aarash setelah sekian menit mengingat-ingat.

"Seingat saya, kita tidak pernah berurusan dengan pria bernama Heri Hermanto,” sahut

Haris.

Jonnatan kembali berkata, "Menurut anak buah saya, Heri adalah seorang kuli bangunan. Hobi berjudi dan dia punya hutang satu miliar."

Arash menyeringai. "Begitu rupanya. Saya benar, kan, orang-orang seperti Heri ini adalah pengecut. Mereka hanya perlu uang. Sayangnya saya bukan orang yang dengan begitu saja memberikan uang saya padanya."

"Tapi, Tuan, dari mana orang ini tahu tentang

Nona Hilda?" tanya Jonathan.

Arash hanya mengangkat bahu. Berjalan santai, dia menuju pintu keluar pelabuhan. Jonathan dan Haris mengiringinya di belakang.

"Tuan, menurut hasil pelacakan, Heri sedang berada di desa terpencil. Beberapa puluh kilometer dari pelabuhan ini,” jelas Jonathan sambil menatap layar ponselnya.

"Desa terpencil, ya. Tempat yang bagus untuk melakukan penyekapan," komentar Arash.

"Jo, sewa mobil. Kita akan pergi

bersenang-senang dengan Heri." Arash

tersenyum begitu indahnya.

Jonathan pergi dengan patuh. Setelah ditinggal Jonathan, Haris kembali mengamati ekspresi Arash. Tuannya tidak terlihat frustrasi lagi setelah Jonathan mengatakan identitas penculik Hilda. Haris mengucap syukur dalam hati karena jika Arash masih dalam rasa frustrasi, emosinya mudah meledak. Yang kena batunya nanti adalah anak buahnya sendiri.

"Ada yang aneh di wajah saya, Ris?" tanya Arash. Rupanya dia merasa risi ditatap begitu oleh Haris.

"Tidak ada."jawab Haris salah tingkah.

"Lalu kenapa kamu menatap saya seperti orang bingung begitu?"

"Tidak. Saya hanya ingin berterima kasih karena Tuan bersedia mencari Nona Hilda sampai sejauh ini. Seperti bukan sifat Tuan saja."

Arash mematung di tempat. Mencerna ucapan Haris. "Apa maksud kamu dengan kalimat seperti bukan sifat saya?"

"Ti-tidak ada apa-apa, Tuan," sanggah Haris. Sepertinya dia kembali memantik api di tumpahan bensin.

"Saya jelas mendengar kamu mengata-ngatai saya. Apa maksud kamu?" desak Arash.

"Saya hanya merasa Tuan menjadi lebih

perhatian dengan Nona Hilda."

Arash tersedak, detik berikutnya dia terkakak. "Saya lebih perhatian ke Hilda? Jangan salah paham! Saya cuma nggak mau rugi berkali-kali. Sudah kehilangan uang lima miliar untuk membelinya, masa saya harus kehilangannya lagi. sebelum puas memainkannya?"

"Tuan yakin cuma karena itu?" Haris sangsi.

"Terus harus karena apa lagi, Ris?" tanya Arash mulai bosan.

"Mungkin karena Tuan mulai bisa menerima Nona Hilda?" kata Haris dengan gambling.

"Apa maksud kamu!"

Tiba-tiba Arash mencengkeram kerah kemeja

Haris. "Beraninya kamu bilang begitu!"

Sadar kalau Haris tidak bisa bernapas akibat cengkeramannya, Arash akhirnya melepaskan anak buah kepercayaannya itu. Dia menghela napas sebelum melangkah ke salah satu penjual minuman yang ada di dekat parkiran.

Haris hanya memandangi punggung Arash dengan senyum misterius.

"Saya sudah kenal sangat lama dengan Tuan. Perubahan emosi sebesar ini tidak mungkin tidak saya ketahui."

Melangkah ringan, Haris menghampiri Arash. Pria besar itu sedang duduk di kursi palstik sambil meneguk buas sebotol air mineral.

"Mau bilang kalau saya sudah bisa menerima

Hilda lagi?" sindir Arash. Lalu dia membuang

muka.

Haris mesem. Dia mengambil sebotol minuman berwarna jingga lalu duduk di samping Arash. "Semoga Nona Hilda baik-baik saja."

"Aku tidak yakin. Mungkin dia sudah meregang nyawa," ujar Arash dengan acuh tak acuh.

"Tuan, kalau Tuan sudah tidak menginginkan

gadis itu lagi, bisakah saya merawatnya" Sebelah alis Arash terangkat. "Kenapa kamu mau merawatnya?"

Haris tidak segera menjawab. Pandangannya sendu menatap lurus ke depan. "Tidakkah Tuan kasihan pada Nona? Kalau Tuan menceraikannya, Nona akan sendirian. Entah dia akan tinggal di mana nanti. Nona memang orang yang kuat tapi sebenarnya Nona begitu rapuh."

"Kamu kenal betul dengannya." Arash tertawa

mengejek.

"Bi Ani yang cerita. Juga, saya sering mengamati tingkah lakunya ketika kita ke apartemen. Nona Hilda berusaha super keras agar diakui. Yang diperlukan Nona adalah sebuah pengakuan. Tapi, tidak ada yang mau mengakuinya. Entah sebagai manusia, sebagai anak, dan sebagai ...." Haris menggantung kalimatnya. Dia menengadah untuk menjernihkan pikiran sebelum menyambung, "... istri."

"Haris, kamu...."

Jonathan akhirnya datang dari tugasnya mencari sewaan mobil. Arash terpaksa menelan kembali ucapannya. Setelah membayar minuman, mereka bertiga berangkat menuju titik di mana Heri berada.

"Nona pasti akan baik-baik saja, kan, Ris?" bisik Jonathan kepada Haris yang duduk di sampingnya, di jok depan. Sedangkan Arash duduk anteng di jok belakang.

"Aku berharapnya juga begitu."

Jonathan mengangguk. "Kasihan. Kenapa Nonal Hilda harus mengalami kejadian tidak mengenakkan ini. Lihat saja, Heri ini tidak akan kubiarkan lepas begitu saja. Berani-beraninya dia menyakiti Nona kita!"

Arash mendelik tidak suka pada Jonathan. "Kenapa? Kamu suka juga dengan Hilda?"

"Saya menyukai Nona," jawab Jonathan jujur. "Nona polos tapi pemberontak."

"Yups! Dia pemberontak." Tanpa sadar Arash tersenyum. "Baru kali ini saya dibentak dan dimarahi oleh perempuan kerdil." Senyum Arash semakin lebar ketika mengingat ekspresi Hilda saat memarahinya.

"Nona kita memang lucu," timpal Jonathan.

"Setelah Tuan menceriakan Nona Hilda, saya akan memperkenalkan Nona Hilda kepada sepupu saya," ucap Jonathan malu-malu. "Sepertinya mereka akan cocok."

Senyum Arash langsung hilang. Dua orang di depannya secara gamblang mengatakan keinginnya ketika nanti dia dan Hilda bercerai. Kenapa jadi memperebutkan gadis kecil itu?

Sepanjang perjalanan menuju tempat keberadaan Heri, suasana mobil menjadi hening. Baik Haris dan Jonathan menutup mulut rapat-rapat. Pasalnya, Arash sudah mengancam akan menendang mereka dari mobil jika kedapatan bicara tentang Hilda lagi.

Bersambung....

Terpopuler

Comments

𝓐𝔂𝔂🖤

𝓐𝔂𝔂🖤

arash belum sadar kalo hilda pelan2 udah mengusik hidup nya...semngat onel....👍👍

2022-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!