02

"Aku memberimu waktu tiga bulan. Selama tiga bulan itu kamu harus sudah mengandung anakku. Kalau tidak berhasil, aku akan memulangkanmu pada ibumu dan meminta uang kembali," kata Arash. Bibirnya membentuk garis lurus horizontal. Ekspresi wajahnya datar. Tidak tersirat perasaan apa pun di sana.

"Apakah aku hanya alat di matamu, Tuan? Alat untuk memproduksi anak?" Hilda bertanya dengan nada ketakutan yang kentara. Pasalnya, baru pertama kali dia berhadapan dengan pria yang luar biasa besarnya. Hampir tiga kali lebih besar darinya. Ditambah lagi, raut wahah arash terlihat begitu dingin. Terselip kekejaman yang kentara di sana. Hilda hampir saja jatuh terduduk saking takutnya.

Arash menutup buku yang sedari tadi dia baca dengan kasar. “Memang itu tujuanku membelimu, Nona."

"Kenapa harus aku?"

Arash terdiam beberapa saat, kemudian dia tertawa. "Pertanyaan yang cerdas. Tapi, kamu tidak perlu tahu alasannya. Cukup lahirkan saja seorang anak. Setelah itu kamu boleh pergi. Akan kuberi imbalan berkali-kali lipat dibandingkan yang ibumu dapatkan. Mengerti?”

Hilda mengangguk sebagai jawaban. Meskipun harga dirinya seperti sedang diinjak-injak, namun dia tetap mematuhi Arash. Toh, tidak ada gunanya juga dia berontak. Dia tidak punya siapa-siapa yang bisa dimintai pertolongan.

"Bagus!" Arash berdiri. Dia meraih jas yang tersampir di kepala ranjang dan memakainya. "Kita akan menikah siri minggu depan. Acaranya tertutup. Hanya akan dihadiri oleh dua anak buahku dan seorang penghulu."

"Tu-tuan Arash hadir?" Apakah ibuku tidak bisa...

Arash yang masih membelakangi Hilda berdecih. "Kamu masih mengharapkan kehadiran wanita itu? Sekalipun kamu tahu kalau dia sudah menjualmu tapi kamu masih menganggapnya ibu? Kamu ingin dia datang ke acara pernikahanmu?"

Laki-laki itu berbalik. Mata tajamnya berkilat merah. Arash mendekati Hilda dengan perlahan. Sol sepatunya beradu dengan lantai keramik. Bunyinya berhasil membuat nyali Hilda susut. Keringat dingin bermunculan di pelipisnya.

"Jawab aku Hilda, kenapa kamu mengharapkan kehadirannya?" suara bass Arash menggema di dinding kamar apartemen.

Hilda benar-benar ketakutan. Sifat Arash yang dingin, postur tubuhnya yang kelewat tinggi dan besar untuk ukuran pria Indonesia, serta suaranya yang dalam tapi penuh ancaman, membuat sekujur tubuh Hilda gemetaran. Jika kedua pria yang membawanya tadi tidak mengatakan bahwa Arash adalah CEO paling kaya di negeri ini, Hilda sudah beranggapan kalau Arash adalah ketua mafia.

"Kenapa diam?" tanya Arash lagi.

Hilda tiba-tiba menegang. Pasalnya, dada bidang Arash tepat di depan matanya. Bau mint menguar cukup kuat dari sana. Hilda memejamkan mata dan menghirup udara berbau mint itu dalam-dalam. Menenangkan. Di balik ketakutannya pada Arash, ternyata pria itu mampu memberikan rasa tenang.

Gadis itu kembali membuka mata. Dia mendongak dan tatapannya tepat menuju manik mata cokelat milik Arash. "Hanya ibu satu-satunya yang kupunya. Meskipun dia tega padaku, tapi aku tidak boleh membencinya. Bagiku, perjuangannya selama ini, dari mengandung sampai membesarkanku selama dua puluh tahun tidak sebanding dengan kejahatan yang sudah dia lakukan."

"Anak baik."

Hilda yakin Arash tidak sedang memujinya. Saat mengatakan itu bibir Arash menampikan seringaian penuh ejekan padanya. Arash pasti sedang meremehkan ucapannya.

"Kamu pantas membenci siapa saja, Hilda. Bahkan ibumu sendiri. Dengan membenci orang lain dan menyimpan dendam kamu akan tumbuh menjadi perempuan yang kuat. Siapa pun tidak bisa menyakitimu.”

"Apakah aku akan dapat kebahagiaan jika melakukan itu?"

Arash terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Siapa yang peduli tentang kebahagiaan di zaman sekarang? Kamu kolot sekali." Arash tertawa kencang. Dia berjalan menuju pintu kamar. Sebelum membukanya Arash menoleh ke arah Hilda. "Aku akan pulang. Jangan berbuat yang merugikanku selama aku tidak ada di sini. Paham?"

"Baik, Tuan Arash."

"Di dapur ada Bi Ani. Dia akan tinggal bersamamu di sini. Kalau kamu mau sesuatu katakan saja padanya."

"Ya, Tuan."

"Selama terikat kontrak denganku kamu kularang pergi meninggalkan apartemen ini. Sekalipun alasanmu adalah membeli siomay di seberang apartemen, aku tidak akan mengizinkannya."

"Ah, satu lagi!" Arash tiba-tiba membalik badan. "Jangan coba berbuat macam-macam dengan tubuhmu. Apalagi rahimmu. Kalau sampai aku tahu kamu mencoba mengonsumsi obat-obatan demi kepentinganmu sendiri, ingat ini, Nona: aku tidak akan membiarkanmu melihat dunia. Aku perlu anak. Dan kamu adalah alat untuk memperoleh itu. Kamu rusak, maka kamu tidak berguna."

BRAK!

Pintu ditutup dengan kasar. Seketika kamar menjadi senyap. Hilda tertunduk. Tangannya meremas dada. Sakit di sana tidak terkira. Sesakit inikah tidak dianggap sebagai manusia oleh semua orang? Ibu yang menjualnya seperti menjual barang dagangan. Para tetangga menganggapnya boneka sehingga mereka bebas melakukan apa pun untuk menyakitinya. Lalu Arash... pria itu sama saja. Bagi Arash, dirinya hanyalah alat untuk mencapai keinginan.

Hilda jatuh terduduk. Bahunya bergetar hebat. Sejak kecil impiannya hanya satu. Dia ingin kehidupan yang adil. Tempat di mana dia bisa menapakkan kaki tanpa takut di-bully. Tempat di mana dia bisa tinggal tanpa diskriminasi. Tempat yang benar-benar aman dan menganggapnya manusia. Di mana? Sepertinya semua tempat di bumi penuh dengan orang-orang sempurna. Mereka tidak menerima Hildaa dan ibunya. Wanita penghibur dan anak yang lahir akibat pekerjaan haram itu, apakah mereka membawa malapetaka?

"Ibu... kenapa ibu tega menjualku? Apakah aku beban bagimu?" Hildaa berbicara di sela isakannya. Sungguh, dadanya sesak. Bernapas pun rasanya susah sekali. Jika bisa, dia lebih memilih mati.

Pintu kamar terbuka. Lalu Hilda merasa tubuhnya di bawa ke sebuah pelukan hangat. Punggungnya diusap pelan, memberikan rasa tenang. Hilda mendongak. Matanya berserobok dengan sepasang mata hitam milik wanita paruh baya. Wanita itu tersenyum sambil mengusap air mata Hilda.

"Nona yang sabar, ya. Tuan Arash memang seperti itu," katanya, mencoba menghibur Hilda.

"Bi Ani?" tanya Hilda. Meyakinkan dirinya kalau wanita di hadapannya sekarang adalah wanita yang dimaksud Arash.

"Saya, Nona. Apa pun yang Nona perlukan jangan sungkan mengatakannya kepada saya."

"Aku ingin pulang." Bertetes-tetes air mata kembali jatuh dari kedua mata Hilda. Dia membenamkan kepalanya ke dada bi Ani. Entah kenapa pertama kali melihat wanita paruh baya ini Hilda merasa seperti bertemu keluarga. Bi Ani sanggup membuatnya nyaman. Dekapan Bi Ani benar-benar hangat. Hilda tidak pernah mendapatkan dekapan sehangat ini dari ibunya.

"Untuk saat ini pulang bukanlah pilihan yang tepat, Nona." Bi Ani masih membelai punggung Hilda. Mencoba membuat gadis itu tenang dan sepertinya perbuatannya membuahkan hasil.

"Turutilah semua perintah tuan Arash. Meskipun sifat beliau menunjukkan, tapi jika tuan Arash sudah menyukai sesuatu yang beliau cintai dan cintai sepenuh hati."

"Apa maksud Bibi?" Hilda tertegun.

Bi Uni tersenyum penuh arti sebelum berkata, "Tuan Arash sangat menginginkan anak. Sudah tujuh belas tahun usia pernikahan beliau dengan Nyonya Mila, tapi tidak pernah sekali pun Nyonya Mila menunjukkan tanda-tanda kehamilan."

Mata bulat Hilda mengerjap cepat. Tercengang dan tidak percaya mendengar penuturan bi Ani.

"Ma-mandul?"

Bi Uni menggeleng. "Baik tuan Arash maupun Nyonya Mila, keduanya tidak mandul."

"La-lalu ke-kenapa?"

Bahu bi Ani terangkat perlahan sebagai jawaban. "Tidak ada yang tahu kenapa itu bisa terjadi. Jadi, tugas Nona adalah melahirkan penerus untuk tuan Arash. Siapa tahu berkat anak yang Nona kandung nanti, Tuan Arash akan berbalik menjadi menyayangi Nona."

Ya, melahirkan anak untuk Arash. Terima kasih kepada wanita paruh baya ini karena sudah menyadarkan Hilda tentang arti keberadaannya di apartemen mewah ini. Dia hanyalah alat penghasil anak untuk menjadi penerus bisnis keluarga Arash. Membuat Arash menyayanginya adalah hal mustahil. Hilda percaya pria itu tidak akan bisa memberikan kasih sayang padanya. Sedikit pun.

Bersambung....

Terpopuler

Comments

Ica Ica

Ica Ica

dengerin kata bi ani hilda daripada balik lagi ma ibu yg udah jual kamu hilda

2023-07-25

1

Aze_reen"

Aze_reen"

maaf kk mau nanya Hilda gagap ya??

2023-07-16

0

PALUPI

PALUPI

Hilda ayo semangat berjuang rebut hati Arash

2023-03-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!