08

Mobil hitam Arash memasuki halaman rumahnya yang besar. Berhenti tepat di teras dimana Karmila sudah berdiri. Menunggu dengan cemas. Karmila langsung menghampiri ketika Haris membuka pintu mobil untuk Arash.

"Mas, tadi kamu ke mana aja? Kok teleponku nggak langsung diangkat?"

Arash menghela napas tak kentara sebelum menjawab, "Kan Mas lagi rapat, Sayang."

"Rapat?" Karmila mengiringi langkah sang suami masuk ke rumah. "Katanya nggak ada rapat lagi hari ini." Sebelah alis Karmila naik, pertanda dia bingung dengan jawaban Arash. "Kok tiba-tiba rapat?"

"Rapat dadakan, Karmila sayaaang. Walaupun perusahaan sudah mulai stabil tapi nggak menutup kemungkinan kita melakukan rapat dadakan," jelas Arash.

Inilah yang tidak disukainya dari Karmila. Sikap keingintahuan yang tinggi. Tak jarang sang istri menaruh rasa curiga padanya.

"Tapi... biasanya, meskipun kamu lagi rapat kamu akan jawab telepon aku," Karmila memberengut.

"Aku lupa bawa HP.”

Arash masuk ke kamar. Menggantung jasnya lalu melonggarkan dasinya.

Wanita jangkung nan cantik yang sudah belasan tahun menemaninya menuntun Arash menuju ranjang. Dipijatnya bahu sang suami dengan telaten. Arash tersenyum sambil memejamkan mata.

"Capek banget, Yang.” Arash menyandarkan kepalanya ke dada sang istri.

"Duh, duh, kasiaaan." Karmila kini memijat-mijat pelipis Arash. Pria itu semakin menenggelamkan kepalanya ke dada sang istri tanda kalau dia merasa nyaman.

"Tiga hari nggak ketemu aku, kamu kangen nggak?"

Karmila tertawa kecil sebelum mencubit gemas bahu kekar suaminya. "Kayak nggak pernah kamu tinggalin aja," jawabnya sewot.

Arash terkekeh. Dia suka atmosfer seperti ini. Hangat dan nyaman. Akrab dan intim. Berbaur menjadi satu dan saling melengkapi, memahami satu sama lain. Karmila adalah wanita yang pas untuknya. Kehidupan mereka harmonis, jarang terlibat pertengkaran dan hampir tidak pernah bertengkar hebat sampai pisah ranjang.

Uang banyak, rumah mewah, dan istri yang cantik jelita harusnya membuat Arash bahagai dan merasa sangat bersyukur. Nyatanya, tidak. Ada yang hampa di sisi lain di hatinya.

Kekosongan yang tidak bisa digantikan dengan apa pun. Dia ingin anak. Bukan hanya sebagai penerus bisnis turun temurun tapi juga sebagai pelengkap kebahagiaannya. Bukannya dia tidak bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Hanya saja dia merasa hidupnya kurang lengkap tanpa kehadiran buah hati.

"Ngelamunin apa, Mas?" Karmila mencolek pipi Arash.

Pria itu terkesiap sejenak lalu tersenyum simpul. "Nggak kok. Cuma lagi pengin ngelamun aja.”

Karmila menghentikan pijatannya. Dia lalu menempatkan diri di samping Arash. "Kamu nggak bisa bohongin aku, Mas. Aku tahu apa yang kamu pikirin."

Arash meraup wajah kemudian menyisir rambut ke belakang. Raut wajahnya kelihatan lelah dan frustrasi. Bukan cuma akibat perusahaan saja yang sempat tidak stabil tapi juga karena sang mama Manda, terus menuntut penerus darinya.

Setiap bertemu dengan wanita paruh baya itu, Arash selalu diminta memberikan cucu. Sedikit-sedikit cucu. Lima menit mampir ke rumah besar, sempat-sempatnya Manda meminta cucu. Bahkan tak jarang Manda berkunjung ke kantor Arash hanya demi membahas perihal itu.

Arash mendesah panjang. Tubuh bagian atasnya direbahkan di kasur sementara tubuh bagian bawahnya menjuntai di sisi ranjang. Matanya sendu menatap langit-langit kamar yang putih tanpa cela. Aksinya itu ditiru oleh Karmila. Kini pasangan suami itu sama-sama menatap langit-langit kamar.

"Maaf aku nggak bisa kasih kamu anak, Mas."

"Bukan salah kamu, Sayang. Nggak ada yang salah di sini," kata Arash mencoba menghibur sang istri. Dia tidak mau Karmila menyalahkan diri sendiri karena sampai sekarang tidak bisa hamil padahal mereka berdua baik-baik saja. Baik dia maupun Karmila tidak mandul atau pun menderita penyakit lain yang bisa menghambat mempunyai keturunan.

Arash yakin itu. Mereka berdua sudah memeriksakan diri ke berbagai rumah sakit. Dalam dan luar negeri. Hasilnya tetap sama. Tidak ada yang mengecewakan. Tapi kenapa sampai sekarang mereka belum diberikan kepercayaan memiliki keturunan oleh Tuhan?

"Terus Mas mau gimana?"

"Maksud kamu?" Arash sontak menoleh ke arah Karmila.

"Mama kamu selalu minta cucu, kan? Itu hal yang nggak bisa kita kabulin entah sampai kapan. Kayaknya ... selamanya aku nggak bisa hamil."

"Huuus!" Arash mendadak bangun. Dia mempelototi sang istri karena tidak setuju dengan apa yang baru saja dia dengar. "Aku nggak suka kamu ngomong gitu."

"Itu kenyataannya, Mas. Coba kamu pikir, umurku sudah tiga puluh tujuh tahun. Udah tua dan nggak disarankan untuk hamil, Mas. Bakalan bahaya. Dan daripada Mas masih mengharapkan aku untuk hamil, lebih baik berhenti aja."

"Cih!" Arash membuang muka.

"Aku serius, Mas. Kamu denger sendiri kan apa yang dikatakan dokter waktu kita periksa dulu?"

"Iya. Terus kamu mau aku gimana?"

"Adopsi anak aja, Mas. Di panti asuhan pasti banyak. Kita bisa pilih-pilih."

Arash menggeram mendengar ucapan terakhir Karmila. "Mila, anak itu bukan barang yang bisa dipilih. Lagian kita sudah membahas ini berkali-kali. Aku nggak mau ngadopsi anak di panti asuhan karena mereka nggak jelas asal-usulnya. Aku mau anak yang berasal dari darah dagingku sendiri."

"Tapi aku nggak bisa ngasih kamu anak, Mas." Karmila akhirnya bangun. Dia mengacak rambutnya. Rasa frustrasinya sudah setingkat dengan Arash. Apalagi setiap kali bertemu mama mertua dia selalu disinggung perihal penerus bisnis keluarga.

Siapa yang tidak mau punya anak coba? Karmila sangat menginginkan kehadiran seorang buah hati. Jika tidak bisa melahirkannya, tidak ada salahnya kan mengadopsi. Sayangnya sang suami tercinta menolak usulan itu. Padahal apa masalahnya?

Setiap kali bertemu teman-teman sosialitanya yang julid dan suka nyinyir, Karmila harus menahan kesabarannya. Setiap kali mereka berkumpul, maka yang dibahas adalah anak-anak. Betapa bahagianya punya anak. Satu anak, dua anak, bahkan ada yang punya empat anak dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Ya, Tuhaaan. Karmila yang sudah tujuh belas tahun menikah dengan Arash saja tidak pernah sekalipun didiagnosa hamil. Kenapa? Sekalipun tidak pernah rahimnya terisi janin.

"Kita harus gimana, Mas?"

"Aku harus punya anak, Mila. Cuma itu satu-satunya cara," jawab Arash penuh tekad.

Kekeraskepalaan Arash sering kali membuat Karmila terluka. Sudah tahu mereka tidak bisa mempunyai anak, Tapi suaminya tetap saja menginginkan anak kandung. Bagaimana caranya? Membiarkan Arash menikah lagi kah? Eeehhh

Karmila menegang. Setengah takut dia melirik Arash. Meneguk ludah berkali-kali karena tiba-tiba saja liurnya terasa lebih pekat daripada biasanya.

"Mas," panggilnya lirih.

"Hm?"

"Kamu ... mau nikah lagi?"

Arash tersedak ludah sendiri. “Apa maksud kamu, Sayang?!" pekiknya gugup.

Sungguh gugup karena Karmila secara tiba-tiba mengungkit kata menikah lagi. Jangan-jangan Karmila sudah tahu kalau dirinya memang sudah menikah diam-diam. Oh, Tuhaaan. Suami macam apa dia. Bisa-bisanya menyembunyikan hal fatal ini dari Karmila.

"Kalau kamu mau anak yang berasal dari benih kamu sendiri, kamu bisa menikah lagi, Mas."

Karmila menunduk. Hatinya sakit ketika mengatakan itu. Wanita mana yang rela suaminya kawin lagi? Jarang ada yang bisa ikhlas sepenuh hati. Ujung-ujungnya pasti minta cerai. Tapi Karmila harus berusaha menerima keadaannya. Dia tidak punya alasan kuat untuk melarang suaminya menikah lagi.

"Kamu mau aku menikah lagi?” tanya Arash lamat-lamat.

Karmila terdiam cukup lama. Berpikir, menimbang-nimbang, meyakinkan diri sendiri dengan keputusan yang akan Arash ambil.

"Jawab aku Mila, kamu mau aku menikah lagi?”

"Nggak!" Karmila memeluk Arash dan menangis di dada bidang suaminya itu. "Aku nggak bisa liat kamu nikah lagi, Mas. Nggak sanggup."

"Ya udah. Jangan bahas itu lagi." Arash terkekeh geli. Terkadang dia juga merasa di umur hampir setengah abad ini ada saja sifat kekanak-kanakan yang masih tersisa. Seperti saling ledek, saling goda. Dan, lihat Karmila sekarang, menangis sesenggukan seperti anak SD yang tidak dikasih uang jajan atau tidak dibolehi ibunya membeli mainan.

"Tapi kamu perlu anak, Mas. Kamu butuh penerus."

Arash mengelus rambut Karmila. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Dia sadar selama ini dirinya begitu terobsesi dengan anak. Sampai-sampai dia mengambil jalan yang tidak terduga sebelumnya. Membeli anak perempuan seorang wanita bekas pelacur dengan harga Lima miliar. Menikahinya dan menidurinya. Membuatnya mengandung sang penerus yang dia idam-idamkan sejak belasan tahun belakangan.

"Gimana kalau kita berhenti ngomongin itu dulu." Arash meraih dagu Karmila lalu menariknya. Membuat perempuan berparas cantik itu mendongak. Dia mengusap pipi yang basah itu dengan punggung tangannya.

"Jangan sedih. Aku nggak akan menikah lagi. Cukup kamu aja."

"Gombal." Karmila memuluk pelan dada Arash. "Terus soal anak, gimana?"

"Mungkin kita bakalan ngadopsi aja."

"Dasar plin-plan!"

Pria itu tertawa renyah. Detik berikutnya dia sudah menyambar bibir Karmila. Mencium sang istri dengan ganas sambil mendorong tubuh ramping itu sampai rebah di atas tempat tidur. Tangan Arash mulai menjamah tubuh yang terbaring pasrah di bawahnya. Meremas dua buah bukit kembar yang putingnya mencuat akibat nafsu yang meningkat.

Karmila melenguh ketika lidah kasar Arash menyapa ****** *********** yang sudah tidak terlindung apa-apa.

"Uhhh, Maaas ." Tubuh Karmila melengkung seiring dengan jamahan tangan Arash yang semakin turun mendekati organ intimnya.

"Tiga hari nggak ketemu kamu, aku kangen, Sayang."

"Kangen juga, Mas. "

"Siapa tahu kali ini kamu isi ya, Mil," kata Arash sambil memposisikan senjata besarnya di pintu masuk milik Karmila.

"Ah! Mas!"

"Ah, Mil ... tujuh belas tahun kita kayak gini rasanya nggak berubah." Arash mulai memaju-mundurkan pinggulnya. Kemeja dan celana panjangnya bahkan tidak dilepas..

"Emmm.... Mas, kamu nggak buka baju du-ah!.... pelan-pelan, Mas."

"Nggak bisa pelan, Sayang. Habisnya kamu enak banget."

Arash semakin meningkatkan intensitas gerakan pinggulnya. Karmila sudah berkali-kali mencapai puncak kenikmatan, sayangnya sang suami masih jauh dari kata puas. Karmila yang berada di bawahnya tindihan Arash hanya bisa pasrah. Stamina Arash memang luar biasa. Karmila selalu berakhir dengan lutut yang gemetaran serta organ intim yang berdenyut nyeri ketika selesai melakukan aktivitas nikmat bersama Arash. Sedangkan suaminya terlihat segar bugar dan wajahnya bercahaya.

"Maaas, pelan dikit bisa nggak? ... a-aku-ah!" Karmila ******* lagi. Tubuhnya sudah berada di ambang batas. Lebih dari ini dia pasti akan pingsan.

"Maaas," Karmila memelas. "Nggak sanggup lagi. Udaaaah."

"Dikit lagi, Sayang.” Gerakan pinggul Arash benar-benar tidak terkendali. Sampai-sampai ranjang mereka berderit dibuatnya. "Tahan ya, sayang. Aaaahhh! Karmila, gilaaa, enak banget!"

Arash ambruk di samping tubuh Karmila. Dia tersenyum puas lalu menciumi wajah Karmila yang bersimbah keringat.

"Maaf ya, Sayang."

"Kamu kan emang suka lupa diri kalau lagi main." Karmila memberengut. "Tapi aku suka kok."

"Halah!"

Arash kembali menindih tubuh Karmila. Mereka kembali melakukan aktivitas panas itu sampai beberapa jam ke depan.

Bersambung....

Terpopuler

Comments

rama

rama

sejauh ini masih belum paham kemana alur ceritanya

2023-07-03

3

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

manis banget sama karmila coba sam Hilda langsung tanya yang keluar

2022-10-23

0

𝓐𝔂𝔂🖤

𝓐𝔂𝔂🖤

wehh...gila beberapa jam..gk encok tuh🤭🤭

2022-10-14

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!