DOR!
"Aaarrgh!"
Nisa menjerit, melengking. Wajahnya berubah
menjadi seputih salju. Wajar, dia baru kali ini
melihat pistol. Pertama kali juga baginya melihat orang saling tembak, tepat di depan matanya. Haris berdiri di depan pintu dengan pistol teracung. Moncongnya mengarah kepada Heri.
Tangannya sangat siap menarik pelatuk jika nanti Heri kembali berulah. Namun, sepertinya Heri sudah tumbang akibat peluru yang dia tembakkan tadi.
Heri tumbang. Dia batuk dengan mengeluarkan darah.
Nisa terbelalak. Dia segera berlari ke arah Heri. Membawa tubuh sepupunya itu ke dalam dekapannya.
"Heri!" Nisa menepuk-nepuk pipi Hiro.
Sayangnya Heri tetap menutup mata.
"Dia hanya pingsan," kata Haris ketika sudah
berada di dekat Hero.
"Tapi dia tertembak ...."
"Hanya ditembak di kaki, tidak akan membuatmu meregang nyawa," sahut Arash.
Dia berjalan ke arah Hilda seperti tidak terjadi apa-apa. Untungnya peluru yang Hiro lepaskan tadi tidak menembus kulit kakinya. Hanya menyerempet dan menimbulkan luka kecil. Sakit beberapa menit saja. Sekarang Arash sudah terbiasa.
Perihal luka karena diserempet peluru tidak sebanding dengan kejadian yang sudah menghiasi hidupnya belasan tahun belakangan ini.
"Tu-tuan Arash." Nisa bersujud di kaki Arash. "Tolong sepupu saya. Tolong selamatkan sepupu saya."
Arash mencebik. "Setelah apa yang kalian lakukan pada saya dan Hilda, kamu masih punya muka minta tolong ke saya?"
Nisa menunduk. "Sa-saya minta maaf untuk itu, kami tidak ada maksud menembak sama sekali, Tuan."
Arash tidak menanggapi. Dia berjongkok di samping Hilda. Menyibak rambut kusut istrinya yang menutupi wajah cantiknya. Arash menghela napas melihat keadaan Hilda. Wajah yang agak tirus dan pucat, bibir kering, dan mukanya kucel.
Dress selutut Hilda robek. Lututnya memar, membiru dan bengkak. Ada juga sedikit bercak darah yang sudah kering di sana, di beberapa bagian tubuh Hilda juga terdapat luka seperti bekas cambuk.
Arash memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam. Melihat keadaan Hilda semakin membuat emosinya tak tertahankan.
Haris menghampiri Arash. Dia terlihat cemas saat mengamati keadaan Hilda dari dekat. Sungguh, dia sudah menganggap Hilda seperti adik kandungnya sendiri. Melihat Hilda disakiti seperti ini rasanya Haris ingin membuat Heri meregang nyawa di tempat.
Haris turut berjongkok. Dia menyelipkan tangannya di punggung dan di bawah lutut Hilda, bermaksud menggendongnya, tapi tangannya ditahan Arash.
"Kamu mau apa?" tanya Arash.
"Menggendong Nona Hilda. Bukankah Nona harus segera dirawat?"
"Apakah saya menyuruh kamu
menggendongnya?" Terlihat jelas dari nada bicara Arash kalau dia sedang cemburu.
"Maaf, Tuan. Saya hanya berinisiatif," kata Haris tapi dia tidak mengubah posisinya. "Saya tahu Tuan pasti tidak mau menggendong Nona."
Haris bersiap mengangkat tubuh kecil Hilda. Namun, sekali lagi Arash menghalanginya. Pria besar itu mencengkeram bahu Haris erat sampai membuat Haris meringis.
"Siapa bilang saya tidak mau menggendongnya?"
"Saya yang bilang. Buktinya Tuan hanya diam saja melihatnya tanpa berbuat apa pun," kata Haris kalap. Dia benar-benar tidak ingin menahan Hilda di sini. Gadis rapuh ini harus segera ditangani oleh yang ahli. Berdebat dengan Arash hanya membuang waktu. Apa lagi sikap arogan Arash makin menjadi.
"Haris? Kamu berani melawan saya?"
"Maaf, tapi saya hanya tidak ingin Nona
kenapa-kenapa."
Di posisi masih berbaring, Hilda membuka
matanya. Dia menggigit bibir ketika merasa sekujur tubuhnya semakin nyeri. Lenguhan pelannya berhasil membuat Arash dan Haris
melihat ke arahnya.
"Nona? Nona sudah sadar?" Haris menangkup kedua pipi Hilda.
Melihat itu membuat Arash mengepalkan tangannya. Dia sendiri bingung kenapa tubuhnya bertindak di luar kehendaknya. Dia hanya ingin membalas dendam pada Heri karena sudah berani main-main dengannya. Namun, ketika dia melihat Hilda dia malah melupakan balas dendamnya dan memilih menyelamatkan gadis itu dulu. Luka di kakinya adalah saksi.
Semua yang dilakukan Arash kali ini tidak ada dalam skenarionya. Sialan! Bisa-bisanya Hilda membuatnya jadi aneh begini. Lalu, perasaan apa yang ada di hatinya ini. Darahnya terasa mendidih ketika melihat Haris menyentuh Hilda.
Arash berusaha meredam amarah yang bergejolak. Dia ingin sekali merengkuh Hilda, entah kenapa. Tapi ditahannya kuat-kuat hasrat itu.
"Tuan Haris...," panggil Hilda lirih.
Haris menyahut dengan berkata, "Ya, Nona?"
Sampai detik ini kesabaran Arash sudah habis. Dia menarik tangan Hilda tanpa perasaan. Membuat tubuh ringkih itu mendekat kepadanya. Tidak sampai di situ saja, Arash juga mencengkeram tangan Hilda sampai yang empunya merintih kesakitan.
"Mau kabur ke mana lagi kamu, Hilda Chantika?" tanya Arash dengan lirih, hampir
berdesis.
Hilda menunduk. Menggigit bibirnya kuat-kuat. Bahunya bergetar.
Arash menyentak tangan Hilda agar dia dapat melihat wajah Hilda. Sepersekian detik, Arash melongo. Kepalanya mendadak kosong melihat pipi pucat Hilda sudah banjir air mata. Meskipun kasihan dan ingin sekali menghapus air mata itu, sayangnya dia masih memiliki ego setinggi gunung Everest. Bukannya menenangkan, Arash malah membuat Hilda semakin ketakutan.
"Sa-sakiiit...." rintih Hilda. Dia berusaha
melepaskan cengkeraman Arash, tapi semakin mencoba lepas, Arash semakin kuat
mencengkeramnya.
"Masih tahu apa arti sakit, Hilda?"
Haris yang sedari tadi diam, sepertinya tidak tahan lagi melihat perlakuan Arash pada Hilda.
"Tuan Arash, mau kita apakan Heri itu?™
tanyanya mengalihkan perhatian Arash.
Berhasil! Arash melepaskan cengkeramannya lalu menoleh ke arah Heri yang tidak sadarkan diri. Di sampingnya ada Nisa yang terlihat menahan pendarahan Heri dengan sepotong kain.
"Apa yang terjadi pada Heri?" suara lirih itu
kembali menyedot perhatian Arash dan Haris.
Sambil tersenyum manis Haris berkata, "Heri kena tembak. Itulah akibat karena bermain-main dengan Tuan Arash dan Nona Hilda."
"Heri... meninggal?" tanya Hilda takut.
Haria menggeleng, "Cuma pingsan. Tapi kalau dibiarkan seperti itu terus tidak menutup kemungkinan Heri kekurangan darah lalu meninggal."
Tiba-tiba, Nisa berlari ke arah Hilda. Air mata bercucuran, Nisa duduk di samping Hilda sambil memegang jari-jari Hilda.
"Hill, tolong selamatkan Heri. Tolong, Hill. Hanya dia satu-satunya yang bibiku punya. Kamu bisa bayangkan bagaimana kehidupan bibiku kalau dia tidak ada."
Arash melepas paksa tangan Nisma dari tangan Hilda. "Bukan urusan Hilda."
Bersikap gentle, Arash menggendong Hilda dengan hati-hati. Bermaksud membawanya keluar dari hutan. Kembali ke tempat di mana Hilda seharusnya berada.
Gadis cantik dalam pelukan Arash itu ingin sekali memberontak. Sayang tenaganya tidak tersisa sama sekali. Tenggorokannya kering karena tidak minum dari kemarin malam sampai sore menjelang malam hari ini. Cacing perutnya mungkin sudah mati karena tidak diberi makan. Alhasil, Hilda hanya menurut ketika Arash menggendongnya.
Arash membawanya melewati tubuh Heri yang semakin pucat. Hilda lalu menepuk dada bidang Arash dan berkata, "Selamatkan Heri."
Alis Arash mendadak kribo. "Nggak salah dengar saya? Dia sudah mencelakakan kamu sampai mau mati begini dan kamu masih mau dia selamat?!"
Hilda mengangguk lamat-lamat.
"Ya Tuhan, Hildaa! Kalau semua orang di Indonesia kayak kamu, penjahat pasti semakin merajalela!" teriak Arash frustrasi.
"Tapi... Heri pasti tidak bermaksud
mencelakaiku, Tuan. Dia hanya ...."
"Hanya ingin uangku dan caranya adalah mencelakaimu," tukas Arash.
Berada sedekat dan seintim ini dengan Hilda membuat tubuh Arash panas. Rasanya seperti berada di kobaran api.
Arash baru sadar kalau Hilda punya hidung kecil nan mancung. Bulu matanya panjang dan lentik. Matanya bulat dan berbinar indah. Jangan ketinggalan bibir Hilda yang ranum dan berwarna merah muda. Ada sedikit bangga di hati Arash.
"Lima miliar sepertinya sesuai," gumam Arash. Dia tersenyum tanpa sadar.
"Tuan ... Tuan harus menyelamatkan Heri," iba
Hilda. Seandainya dia mendengar apa yang barusan Arash katakan, entah apa reaksi yang akan dikeluarkannya.
Arash terus membawa Hilda menuju jalan yang tadi dilewatinya ketika datang kemari. Tanpa mendengarkan rengekan Hilda sekali pun.
"Tuan ... uhuuuk! Uhuuuk!" akhirnya Hilda terbatuk karena tidak henti merengek.
Arash mengulum senyum mendengarnya.. Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Hilda Arash sudah menyuruh Haris membawa Heri ke rumah sakit. Dia tidak memberitahukan kepada gadis itu karena suka mendengar rengekannya.
“Tan....”
"Diam! Kalau kamu tidak mau saya tinggal di tenag hutan ini lebih baik diam!" ancam Arash.
"Tapi... Heri. Bagaimana jika dia kehabisan darah lalu meninggal?"
"Bukan urusanku! Malah lebih bagus kalau
seperti itu, kan?"
"Tapi Tuan Arash...."
Arash membuang napas gusar. Detik berikutnya Arash meletakkan Hilda di bawah batang pohon super besar lalu dia pergi meninggalkan gadis itu di sana.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Meiya Lee
ceritanya sama di novel sebelah cuma beda judul aja
2023-07-08
0
🍒⃞⃟🦅🦁ˢʰᵉʳᴀʀᴠᴀᵖᶦˢᶜᵉˢ🍉🔥
bnih² cinta mlai hadir ya 😁
2022-10-25
0
⏤͟͟͞R🍌 ᷢ ͩ𝑚𝑖𝑠𝑡𝑒𝑟ᵇᵃⁿᵃⁿᵃ
lanjut lagi weh seru👀
2022-10-13
0