09

Hilda dan bi Ani duduk di meja makan menyantap sarapan. Nasi goreng telur ceplok yang sudah dibuat bi Ani tersaji di atas piring. Jenis makanan ini mengingatkan Hilda pada Kartika. Hampir setiap hari ketika dirinya akan berangkat bekerja Kartika akan membuatkan nasi goreng lengkap dengan sayur dan telur ceplok sebagai pelengkap.

Hilda pikir Kartika hidup bahagia bersamanya. Sudah mengusahakan berbagai cara agar membuat sang ibu tersenyum dan melupakan masa lalu kelamnya. Nyatanya dia tidak bisa. Alih-alih hidup bahagia dengannya, Kartika ternyata lebih hidup bahagia jika menjualnya.

"Kenapa nggak dimakan, Nona? Nggak enak kah?"

"Enak kok, Bi. Enak banget." Hilda segera memasukkan sesendok nasi goreng kemulutnya.

"Kalau ada yang mengganjal di hati Nona, silakan ceritakan ke Bibi, ya. Bibi siap mendengarkan. Bibi juga siap membantu kalau bisa."

Hilda mengangguk setelah menghela napas. Tidak bisa dipungkiri kalau dia merindukan ibunya. Sejahat apa pun perbuatan Kartika padanya, Hilda tidak bisa membencinya.

"Hilda kangen ibu, Bi," kata Hilda. Dia meletakkan sendok yang di pegangnya lalu menyusut mata. "Hilda pengin ketemu ibu.”

Bi Ani beranjak dari kursinya dan duduk di samping Hilda. Menepuk punggung kecil itu dengan sayang. "Tapi Tuan melarang Nona ke mana-mana, kan? Sebaiknya Nona mematuhi perintah suami Nona."

"Suami ....?" Hilda menggeleng. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang sarat kepedihan. "Dia bukan suami Hilda, Bi. Dia tidak bisa menganggap Hilda sebagai istri. Anak haram sepertiku ini terlalu menjijikkan di matanya. Dianggap sebagai pembantu saja aku sudah sangat bersyukur."

"Nona Hilda tidak boleh berkata begitu. Tuan Arash hanya belum terbiasa dengan kehadiran Nona, makanya beliau bersikap kasar seperti itu. Percaya dengan Bibi, Tuan Arash itu aslinya adalah pria baik dan penyayang."

Hilda menerawang. Membayangkan betapa bahagianya jika Arash bisa bersikap lembut dan menyayanginya seperti yang bi Ani katakan. Membayangkan Arash yang bersikap baik dan menyayangi Karmila sepenuh hati membuatnya iri. Rumah tangga mereka pasti sangat harmonis. Tipe rumah tangga yang hanya bisa Hilda impikan tanpa bisa wujudkan. Masa depannya sangat suram. Tidak tahu kejutan apa lagi yang akan diterimanya setelah ini. Mungkin dia harus mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk. Diceraikan.

Dia tidak punya tujuan lagi selain kembali kepada Kartika. Sudikah wanita itu menerimanya kembali. Atau mungkin Kartika akan menjualnya lagi kepada pria kaya lainnya.

"Tadi mas Haris nelepon Bibi. Katanya, Tuan Arash akan ke sini setelah pulang kerja. Lebih baik Nona membuatkan makanan lagi."

Cih! Hilda sudah jera. Lebih baik tidur di bawah jembatan daripada memasakkan Arash makanan. Pasti ada-ada saja yang akan jadi bahan komplainan Arash nanti jika dia menyuguhkan hasil masakannya.

"Bibi aja yang memasaknya, ya."

"Kok Bibi? Masakan Nona jauh lebih enak dari masakan Bibi."

Hilda menggeleng cepat-cepat. "Mana mungkin. Bibi lihat tuan Arash pasti selalu marah-marah kalau makan masakan Hilda. Hilda ogah! Nggak mau masak lagi!"

"Siapa tahu nanti tuan Arash akan membawa Nona menjenguk ibu Nona."

"Eh?" Hilda mengerjap lalu menatap bi Ani. Wanita tua itu tersenyum penuh arti padanya.

Saran bi Ani cocok untuk dicoba. Siapa tahu setelah memakan masakannya Arash mengizinkan Hilda bertemu Kartika. Meskipun rasa takut dicaci maki masih pekat membayangi, dia tetap ingin mencoba.

"Kalau sore begini biasanya tuan Arash hanya makan salad buah dengan teh hijau," jelas bi Ani seolah tahu kalau Arash baru saja memutuskan akan kembali membuat makanan untuk Arash.

"Salad buah, ya. Tapi persediaan buah di kulkas kita nggak lengkap. Cuma ada apel dan anggur.”

"Kalo gitu coba bikin roti. Tuan juga suka makan roti dengan the hijau sehabis pulang kerja."

"Bikin roti?" Kepala Hilda terteleng. Berbagai jenis makanan berat dia sangat menguasai cara pengolahannya. Tapi kalau masalah membuat kue, Hilda tidak lihai.

"Nggak beli aja, Bi?"

"Tuan Arash suka malan roti buatan sendiri. Kalau di rumah besar, nyonya Mila yang membuatnya. Jadi, kalau di sini Nona yang membuatnya."

"Tapi Hilda nggak bisa bikin roti."

"Pasti bisa, Nona. Nanti saya ajarkan," kata bi Ani meyakinkan.

Berbagai macam bahan dan alat yang diperlukan untuk membuat roti sudah tertata rapi di meja. Sebelum memulai kegiatan sakralnya, Hilda lebih dulu berdoa. Benar-benar memohon agar kali ini pujian yang akan keluar dari mulut Arash. Kemudian, memohon agar dia diizinkan pulang menjenguk Kartika.

Di tengah acara membuat kuenya, bel apartemen berbunyi. Hilda dan bi Ani saling pandang, bertanya-tanya siapa gerangan yang membunyikan bel. Jam dinding baru menunjukkan pukul tiga, Arash tidak mungkin datang ke apertemen jam segini.

"Siapa, ya? Biar bibi saja yang buka." Bi Ani berjalan menuju wastafel untuk membersihkan tangan yang belepotan tepung.

"Hilda saja deh, Bi," sahut Hilda cepat-cepat. Dia menepuk-nepuk kedua tangannya. Serpihan tepung berguguran dari sana. Dia lalu mencuci tangan di wastafel. Tanpa mengeringkannya terlebih dahulu Hilda langsung membukakan pintu.

"Loh? Tuan Arash? Kok sudah pulang?" sapa Hilda dengan nada bingung.

Arash dan Haris mematung di depan pintu. Kening keduanya berkerut menatap Hilda yang tersenyum semringah.

"Kok bengong? Kalian nggak masuk?"

Arash menyipitkan mata. "Kamu siapa?"

"Hah? Maksud Tuan apa?" Hilda menggaruk kepala.

Haris menelengkan kepala sambil berkata, “Nona Hilda?"

"Ya, Tuan Haris. Ada apa? Kenapa kalian memandangiku begitu?" Hilda turut bingung menghadapi dua orang yang berdiri di hadapannya ini.

Haris maju dua langkah. Terulur lalu menepuk-nepuk kepala Hilda. "Nona habis ngapain?" Dia tertawa geli. "Kok jadi putih-putih begini?" Tangan Haris turun ke pipi tembem Hilda. Mengusap-usap tepung yang lupa dibersihkan oleh pemilik pipi itu.

Hilda refleks mundur. Matanya mengerjap. Tubuhnya menjadi sedikit tegang karena tiba-tiba mendapat perlakuan hangat dari pria lain di hadapan suaminya.

"Emang aku kenapa, Tuan Haris?" tanya Hilda yang masih tidak menyadari keadaannya. Rambut dan wajahnya menjadi putih akibat tepung.

"Kamu buang-buang tepung, ya?" sindir Arash. Sambil memasang wajah datar berkali-kali lipat, dia masuk ke apartemen. Sebelum itu, dia sempat melayangkan tatapan sinisnya pada Haris. Seolah memberitahu kalau dia tidak suka Haris bersikap ramah kepada Hilda.

"Aku baru mau bikin roti untuk Tuan Arash." Hilda mengiringi langkah Arash dengan ringan. Senyumnya berkembang sempurna. Mood-nya sedang bagus hari ini. Entah kenapa dia yakin Arash akan mengizinkannya bertemu Kartika kali ini.

"Nggak kapok buatin saya makanan?" Arash berbalik. Kini mereka berhadapan. Dia meraih dagu Hilda dan membuat perempuan mungil itu mendongak. "Saya nggak sudi makan makanan buatan kamu. Saya lebih memilih makan di pinggir jalan atau di samping tempat sampah asal nggak makan masakan kamu."

"Ke-kenapa?" Mata Hilda berkaca-kaca.

"Nggak sudi aja."

Setetes air mata luruh dari mata Hilda. Cengkeraman Arash di dagunya seolah mengalirkan sengatan listrik beribu-ribu volt. Seluruh tubuhnya gemetar.

"Terus tadi kamu bilang apa? Mau buatin saya roti?" Arash tertawa mengejek. "Nggak usah repot-repot! Yang boleh buatin saya roti cuma Karmila aja. Kamu pikir kamu siapa sok-sokan buatin saya roti."

"Tuan nggak menganggap saya sebagai istri?" tanya Hilda lirih.

"Saya bahkan nggak ingat sudah pernah menikahi kamu." Arash melepas cengkeramannya di dagu Hilda lalu berbalik.

"Tapi tuan sering ke sini untuk mengunjungi saya

Arash terbahak seolah perkataan Hilda adalah lelucon receh yang bisa mengocok perutnya. "Jangan salah paham. Saya ke sini ingin mengunjungi bu Ani. Lalu ketika melihat kamu yang membukakan pintu apartemen barulah saya ingat. Saya punya istri kedua yang keberadaannya nggak pengin saya aku."

Pria berbadan tegap itu meninggalkan Hilda yang mematung. Berjalan menuju kamar sambil melonggarkan dasi. Tenggorokannya terasa dicekik setiap kali melihat Hilda.

“Aku mau ketemu ibu!" pekik Hilda ketika Ernan meraih gagang pintu.

Tubuh besar Arash membeku. Tangannya urung membuka pintu. Dia berbalik. Menyandarkan punggungnya pada pintu dengan tangan yang dimasukkan ke kantong celana. “Kamu nggak boleh ke mana-mana. Seharusnya kamu masih ingat dengan perjanjian kita, Hilda Chantika."

"Kembalikan aku ke ibuku." Hilda menatap Arash dengan berani.

"Berani sekali kamu mengatakan kalimat itu.” Arash menyeringai. "Nggak semudah itu kalau kamu mau kembali ke ibumu."

"Lalu untuk apa aku di sini?! Untuk menahanku jika Tuan tidak pernah apa Tuan menganggapku ada. Jika aku begitu menjijikkan bagimu kenapa tidak Tuan buang saja aku?!"

BRAK!

Arash memukul pintu di belakangnya. Secepat kilat, dia berjalan menuju Hilda. Meremas bahu gadis itu dengan erat. "Berani kamu marah-marah ke saya? Ini sikap kamu kepada suamimu sendiri?"

"Suami?" Hilda tertawa di sela isakannya. "Bahkan Tuan tidak pernah menganggapku istri, jadi apa aku harus menganggap tuan sebagai suami?"

"Kamu!"

Gigi Arash bergemeretuk. Remasan di bahu Hilda semakin kencang. Meskipun Hilda meringis menahan sakit, namun tidak membuat Arash mau melepaskannya.

Sementara itu, bi Ani dan Haris terdiam di tempat masing-masing. Tidak ada yang berani mendekati Arash dan Hilda. Meskipun bi Ani dan Haris sama-sama kasihan melihat Hilda namun mereka tidak berani melakukan apa pun. Mereka tahu betul sifat Arash, pria itu tidak bisa mengontrol emosinya kalau sudah marah. Mereka takut salah bertindak sedikit saja Arash kalap dan akan mencelakakan Hilda.

"Sa-sakit...." isak Hilda. Wajahnya sudah memucat dengan bibir tergigit menahan ringisan.

"Setelah sakit begini baru merengek ke saya?" Arash melepaskan cengkeramannya sambil mendorong tubuh Hilda.

Tubuh ringkih itu terodorong ke belakang beberapa langkah sebelum jatuh terduduk. Sambil menghapus kasar air matanya, Hilda merangkak ke kaki Arash.

"Izinkan aku bertemu ibu sekali saja. Setelah itu aku akan menuruti semua yang Tuan katakan," ibanya. Dia memeluk kaki Arash. Berharap perlakuannya ini bisa mencairkan kekerasan hati Arash.

"Cih! Nggak akan!" Arash menepis tangan Hilda. Wajahnya semakin mengeras, seolah menandakan kalau dia adalah pria yang tidak punya belas kasihan.

"Nggak ada gunanya kamu menemui ibumu."

"Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaannya." Hilda masih mencoba mengiba.

Arash berjongkok. Menatap lekat wajah Hilda. "Dengan uang lima miliar itu ibumu pasti lebih dari sekedar baik-baik saja."

"Aku rindu ibu...."

"Bukan urusanku!"

Arash berdiri. Dia menoleh ke arah Haris sebelum, "Bawa dia ke kamarnya. Jangan lupa apa pun yang dia katakan."

Haris mengangguk. Dia menghampiri Hilda dan membawa tubuh kecil itu agar berdiri. “Nona harus istirahat dan menenangkan diri di kamar."

"Tuan Haris, antarkan aku bertemu ibu, ya lima menit saja. Setelah itu aku akan langsung pulang."

"Masuk ke kamarmu, Hilda! Dan jangan meminta apa pun!" seru Arash.

Pria besar itu lalu menatap bi Ani. "Bibi juga, jangan biarkan rasa kasihan padanya membuat Bibi terluka. Kalau sampai aku tahu Bibi membantunya menemui Kartika, aku tidak menjamin keselamatan Bibi setelahnya."

Bi Ani mengangguk cepat sebagai jawabannya.

Hilda didudukkan di ranjang. Setelah Haris keluar dari kamarnya, Hilda kembali menangis. Lalu dia mendengar suara kunci diputar. Rupanya, Arash bermaksud mengurungnya di sini. Entah sampai kapan.

Bersambung.....

Terpopuler

Comments

yuiwnye

yuiwnye

dasar orang tua galau, plin plan

2023-07-28

0

rina wati

rina wati

kabur aja Hilda,,dasar arash yg gak jelas maunya apa

2023-07-09

0

Megabaiq

Megabaiq

sebenarnya bukn aresnya yg bodoh,penulisnya jha yg kurg kreatip dlm mengarang certa.....

2023-04-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!