12

Pagi buta, sebelum Nisa berangkat kerja, dia

sudah menginterogasi Hilda. Baru semenit

setelah perempuan mungil itu membuka mata, bahkan nyawanya belum terkumpul sempurna, Nisa langsung memintanya bercerita.

Setengah mengantuk, Hilda lalu memulai

ceritanya. Nisa mendengarkan sambil

mengeluarkan sumpah serapahnya.

"Jadi kamu mau cari ibu kamu?" tanya Nisa setelah emosinya bisa dikontrol. "Buat apa?"

"Aku mau membawa dia hidup damai di daerah terpencil aja. Biar jauh dari masalah."

"Kita hapal tabiat ibu kamu itu, Hilda. Bukan masalah yang selalu datang ke dia. Tapi dia yang selalu cari-cari masalah."

Nisa memijit pelipis sambil mengernyit.

Kepalanya pusing karena sepagi ini sudah dipaksa mencerna masalah rumit Hilda. "Jika aku jadi kamu, aku nggak bakal nganggap dia sebagai ibu lagi, Hil. Mana ada ibu yang menjual anaknya sendiri."

“Aku maklum kok, Nis.”

Nisa terbelalak, tidak percaya dengan yang baru saja didengarnya. "Apa yang perlu dimaklumi dari perbuatannya itu, Hildaaa?" jerit Nisa, frustrasi.

"Meskipun kamu masih mengakuinya sebagai ibu bukan berarti dia masih mengakuimu sebagai anak. Buktinya, sia sengaja menjual kamu demi kebahagiaannya sendiri."

Mendengar itu, Hilda sontak menunduk. Perkataan Nisa ada benarnya juga. Kenapa Hilda baru menyadarinya. Sekian minggu yang dia habiskan di apartemen hanya memikirkan kehidupan Kartika tanpa dirinya. Harusnya Hilda sadar dengan uang lima miliar itu Kartika tidak akan mengingat Hilda.

Nisa mengatup bibirnya rapat-rapat, sadar kalau dia sudah kelewatan berbicara dengan Hilda. "Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung." Dia meremas bahu teman baiknya itu dengan pelan.

"Nggak. Kamu nggak salah. Cuma aku aja yang nggak sadar diri."

"Tapi tetap aja aku ngerasa nggak enak Hil.

Maaf ya," iba Nisa.

"Iyaaa." Hilda tertawa.

“Aku masih nggak nyangka kalau kamu sudah menikah dengan Arash Erlangga. CEO terkaya di Indonesia. Beruntung banget kamu, Hil!" Mata Nisa berbinar-binar. Ada rasa kagum terbesit dari sana.

Hilda bingung dengan tingkah temannya ini. Dia sudah mengatakan semua keburukan Arash. Segala yang Arash lakukan padanya sudah diberitahukan kepada Nisa secara gamblang. Nisa bahkan mengutuk Arash habis-habisan tadi.

Namun, kenpa jadi berbalik memuji Arash? Katanya Hilda beruntung jadi isrti Arash. Heh, beruntung dari mananya?

Hilda jadi teringat sesuatu. Ini sudah pagi hari. Pasti di apartemen bi Ani sedang gelabakan mencarinya. Bisa jadi Arash dan anak buahnya sudah mencari-cari Hilda. Bisa gawat kalau sampai tertangkap Arash.

Dia lebih memilih menjadi buronan polisi dari pada Arash. Kalau sampai pria dingin itu menangkapnya, mungkin Hilda akan langsung dihukum gantung. Tidak terbayangkan betapa mengerikannya muka Arash saat tahu dia minggat.

"Nis, aku harus buru-buru pergi dari kota ini."

"Kamu mau ke mana, Hil?"

Nisa menahan Hilda yang hendak berdiri. "Aku harus mengasingkan diri. Ke desa terpencil yang nggak mungkin Arash capai."

"Kamu udah punya tujuan, Hil? Hidup di desa terpencil itu susah. Lebih baik kamu kembali ke Tuan Arash."

Hilda spontan menggeleng. "Nggak! Sampai mati aku nggak mau balik ke sana lagi."

"Hil, Hilda...." Nisa menggenggam tangan Hilda dan membawa agar kembali duduk tenang. "Coba kamu pikir-pikir lagi. Hidup di apartemen Tuan Arash itu enak banget, Hil. Kamu nggak pusing mikirin uang karena uang selalu mengalir dari Tuan Arash. Kamu sudah bisa merasakan rasanya jadi orang kaya. Bukannya itu yang kita inginkan?"

Hilda memang pernah berkhayal bisa menjadi orang kaya suatu saat nanti. Namun, dia tidak menyangka "kaya" yang seperti ini yang diberikan Tuhan padanya.

"Aku nggak bahagia, Nis."

Nisa mengembuskan napas panjang. "Selama ada uang kamu bisa membeli kebahagiaan itu."

Jadi, uang yang paling penting, ya, pikir Hilda. Kartika juga rela menukar anaknya dengan uang yang banyak.

Dulu, Hilda percaya kalau keluarga adalah hal yang tidak tergantikan. Tapi, dia sepenuhnya sadar sekarang. Uanglah yang menenpati tahta teratas dalam kehidupan.

Tapi, Hilda tidak perlu uang banyak. Dia hanya ingin hidurp tenang dan bahagia. Sudah cukup. hinaan dan cemoohan yang didapatkannya dari tetangga dan juga Arash.

Sekarang, Hilda ingin menghirup udara bebas. Tinggal dengan damai di tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengenalnya dengan begitu tidak ada yang bisa menghina dan mencemoohnya.

"Aku harus benar-benar pergi, Nis. Aku nggak sanggup tinggal di apartemen itu lagi. Untuk apa aku masih bertahan di sana jika aku nggak pernah dianggap ada? Aku cuma ingin diakui, Nis. Sebagai manusia. Bukan sebagai sampah."

Hilda berdiri. Langkahnya pasti menuju kamar Nisa. Mengambil tas besarnya.

"Makasih udah nampung aku. Aku pergi, ya."

"Kamu mau pergi ke mana? Setidaknya kasih tahu aku, biar aku bisa tenang." Nisa masih mencoba menahan langkah Hilda. Dia kembali menarik Hilda ketika gadis itu akan membuka pintu.

"Hil, tolong. Jangan main rahasia-rahasiaan. Kalau kamu nggak mau bilang, aku nggak akan bolehin kamu ke mana-mana."

"Aku benar-benar nggak tahu mau ke mana, Nisa."

"Hah...." Nisa kehabisan kata-kata.

"Kamu senekad ini, ya? Dunia di luar sana lebih kejam dari dunia yang sedang kamu hadapi, Hil. Orang yang punya tujuan aja bisa tersesat apa lagi kamu yang nggak punya tujuan."

"Lalu aku harus gimana?" Hilda mengiba.

Berharap Nisa akan membiarkannya pergi.

Hilda sudah banyak membuang waktunya di sini. Dia benar-benar takut Arash menangkap basahnya.

"Ke kampung nenekku aja, mau nggak? Memang bukan daerah terpencil seperti yang kamu inginkan. Tapi aku jamin di sana aman. Kamu tinggal aja di rumah nenek. Kebetulan nenek juga sendirian di sana."

"Aku nggak bisa. Aku nggak mau ngerepotin,"

tolak Hilda mentah-mentah.

"Nggak ngerepotin. Malah kamu yang nolongin aku buat jaga nenek. Kamu tahu kan, cuma nenek yang kupunya di dunia ini. Aku nggak bisa jaga dia. Jadi, kamu tolong gantikan, ya." Nisa meremas bahu Hilda.

"Aku...."

"Jangan nolak. Itu adalah satu-satunya cara kalau kamu mau hidup tenang. Kalau kamu setuju, sekarang juga kita berangkat ke pelabuhan."

Hilda terdiam di ambang pintu. Tawaran Nisa memang menggiurkan. Dia bisa tinggal bersama. nenek Nisa sehingga tidak perlu bingung mencari tempat tinggal

"Emang nenek kamu setuju tinggal bersama orang asing?"

Nisa tersenyum cerah. "Kamu bukan orang asing, Hil. Kamu teman baikku."

"Oke, aku mau. Tapi nggak ngerepotin, kan?"

"Nggak!" seru Nisa bersemangat. Dia berlari ke dalam kamar setelah meminta Hilda menunggu sebentar. Kembali lagi dengan membawa tas dan pakaian yang sudah diganti.

"Yuk berangkat."

Nisa menggamit lengan Hilda. Berdua mereka meninggalkan rumah susun Nisa.

"Kamu nggak perlu ikut antarin aku, Nis. Kamu mau kerja?"

Hilda melepaskan gamitan tangan Nisa lalu mendorong tubuh kurus perempuan. "Kamu harus kembali."

"Nggak! Nggak, Hilda. Aku bisa ambil cuti

beberapa hari dengan alasan nenek sakit di

kampung. Kamu tenang aja. Bos kita nggak

semengerikan dulu lagi kok."

"Kok bisa?"

Seingat Hilda, Iham, suami bos rumah makannya itu orangnya tidak suka dengan karyawan yang pemalas. Jadi, jika ada yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas, gajinya akan dipotong setengah.

"Jangan diurusin. Yuk, buruan."

Nisa menarik tangan Hilda. Langkah mereka berdua lumayan cepat seolah diburu waktu.

"Sementara kita jalan kaki dulu, ya. Berhubung masih pagi banget jadi angkutan belum ada. Nggak pa-pa kan, Hil?"

"Tidak pa-pa."

Sekarang Hilda sudah resmi lari dari rumah. Lari dari Arash. Lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa dia adalah istri Arash membuatnya sakit kepala.

Sudah hampir tiga minggu pernikahan mereka tidak pernah sedetik pun Arash menunjukkan sikap ramahnya. Suaminya itu bahkan tidak bisa menyentuhnya karena terlalu jijik.

Sepanjang perjalanan, Hilda sering mengengok ke belakang. Dia merasa sedang diikuti. Bulu kuduknya meremang setiap kali menoleh. Jantungnya berpacu kencang. Keringat dingin mulai bermunculan.

Mungkin karena saking gugupnya Hilda merasa mau muntah. Perutnya seperti diubek-ubek. Kepalanya berputar-putar. Dia jatuh terduduk di aspal. Tidak sanggup lagi berjalan.

"Astaga! Kamu kenapa, Hilda?!" pekik Nisa.

Nisa menyeka keringat dingin di wajah Hilda. "Kamu sakit. Badan kamu panas."

Hilda memejamkan mata sambil memegangi kepala. Tiba-tiba saja sekujur tubuhnya lemas. Tenaganya hilang begitu saja. dia tidak sanggup berkata bahwa dia baik-baik saja pada Nisa karena detik berikutnya kesadarannya sudah hilang sepenuhnya.

Bersambung.....

Terpopuler

Comments

Aze_reen"

Aze_reen"

baru menyadarinya??
karna apa.. karna kamu dungu pake kuadrat

2023-07-16

0

Nayira Fahira

Nayira Fahira

maaf thor sy baru gabung dan baru baca.. cuma ini namanya hilda apa meera ya? apa krn sy bacanya kurang konsen sampe nggak fokus hehe..

2023-07-01

0

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

loh kenapa si Hilda kok tiba-tiba pingsan

2022-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!