11

Sudah cukup!

Hilda sudah sangat bersabar tinggal di apartemen ini. Menerima semua hinaan Arash yang menyakitkan. Jika Arash menganggapnya tidak berguna, lalu kenapa tidak membuangnya saja.

Tekad Hilda sudah bulat. Karena Arash tidak mau meninggalkannya, maka dia yang akan meninggalkan pria itu. Dari awal, pernikahan ini sudah salah. Pernikahan ini terkutuk.

Tidak pernah sedetikpun Arash menganggap Hilda sebagai istri. Dia hanyalah tempat pelampiasan amarah.

Hilda mengemasi baju-bajunya yang tidak seberapa banyak, memasukkannya ke dalam tas besar. Saat itu sudah tengah malam. Bi Ani pasti sudah tidur nyenyak di kamarnya di dekat dapur.

Setelah yakin semua barangnya tidak ada yang tertinggal, Hilda perlahan membuka pintu kamar. Untung tidak dikunci dari luar. Melangkah dengan hati-hati, Hilda berjalan menuju pintu. Otaknya berpikir keras mencari alasan yang tepat untuk dikemukakan jika dia tepergok mencoba kabur oleh pengawal Arash.

Setelah meyakinkan diri berkali-kali, Hilda akhirnya membuka pintu. Masih sangat berhati-hati, dia melongokkan kepala. Menoleh kanan kiri untuk membaca keadaan.

Dia mengembuskan napas lega ketika tidak ada anak buah Arash yang berjaga di depan pintu apartemen. Untunglah. Rupanya Tuhan berpihak padanya sekarang. Tuhan tidak mau melihat Hilda terus berada di apartemen neraka ini.

Langkah Hilda lumayan cepat saat menuju lif. Suasana di luar apartemen benar-benar sunyi dan dingin. Meskipun dia ketakutan, tapi tidak bisa. mengurangi tekatnya untuk pergi dari Arash.

Hilda ingin kembali ke ibunya. Entah diterima atau tidak oleh sang ibu, Hilda hanya ingin kembali. Baginya, di mana ada ibu di sanalah rumah paling nyaman. Dia tidak bahagia tinggal di sini. Tidur nyenyak dan makan enak tidak menjamin seseorang betah berada di sana.

Hilda bertekad membawa ibunya pergi jauh. Uang sepuluh juta yang diberikan Arash -yang katanya untuk uang jajan- seharusnya lebih cukup membeli tiket kapal. Dia sudah memikirkan ini matang-matang. Tinggal di desa terpencil dan memulai hidup baru bersama Kartika adalah pilihan yang tepat. Dia tidak mau lagi berurusan dengan Arash. Tidak apa-apa hidup seadanya di desa dari pada hidup. bergelimang harta tapi menderita.

Hilda menghampiri satu-satunya taksi yang berada di depan pintu masuk gerbang apartemen. Sebenarnya dia sedikit curiga kenapa masih ada taksi di tengah malam begini. Takut sopir taksi adalah orang jahat yang sedang mencari mangsa.

"Mau ke mana tengah malam begini, Neng?" sopir taksi berbadan tambun keluar dari taksinya. Tersenyum ramah kepada Hilda.

Hilda masih memasang sikap was-was. Dia berdiri beberapa meter dari sang sopir agar bisa langsung lari kalau nanti sopir itu mau bertindak jahat.

"Sa-saya mau pulang."

Si sopir mengangguk. "Saya Arman. Mau naik taksi saya?"

Hilda tidak langsung menjawab. Lebih dulu menimbang-nimbang. Melihat kegalauannnya, sopir taksi yang bernama Arman tersenyum maklum.

"Neng pasti takut dengan saya, ya. Saya maklum kok, Neng. Neng pasti berpikir saya orang jahat karena tengah malam masih berkeliaran. Tapi saya beneran sopir taksi, Neng. Nggak ada niat lain selain cari uang. Anak saya ada lima di rumah. Masih kecil semua. Perlu uang yang cukup banyak untuk menghidupi kami sekeluarga."

"O...ohh, iya, Pak." Hilda hanya menjawab seadanya. Rada terkejut juga karena pak Arman curhat mendadak.

Melihat keraguan Hilda, pak Arman kembali berkata, "Kalau Neng nggak mau naik juga nggak papa."

Pak Arman masuk kembali ke dalam taksinya. Dia tidak menjalankan mobil berjenis sedan yang didominasi oleh warna biru itu menjauh.

Hilda meneguk ludah berkali-kali. Kalau tidak cepat pergi dari sini dia takut akan tertangkap basah oleh anak buah Arash atau bi Ani. Kalau sudah begitu, Arash pasti akan langsung membunuhnya. Terlintas wajah murka Arash di kepalanya membuat Hilda tergidik ngeri.

Tidak ada jalan lain. Satu-satunya pilihan adalah naik taksi pak Arman. Hilda meyakinkan diri berkali-kali kalau pak Arman adalah orang baik. Tujuannya murni mencari uang di jalan halal. Bukan dengan jalan menipu menjadi sopir taksi gadungan.

Hilda mengetuk jendela di sisi pak Arman duduk. Balas tersenyum ketika pak Arman tersenyum padanya lebih dulu.

“Antarkan saya ke alamat ini, Pak." Hilda menyodorkan selembar kertas kepada pak Arman.

Pak Arman mengangguk setelah menerima kertas itu. "Mari naik, Neng."

Hilda duduk tenang di kursi belakang. Sesekali menengok ke belakang. Khawatir kalau ada yang sedang mengikuti. Untungnya, tidak ada tanda-tanda kalau dia sedang dikuntit. Hilda menghela napas lega.

Pokoknya, sebelum bi Ani menyadari kalau Hilda pergi, dia dan ibunya harus sudah pergi dari kota ini. Jika Kartika tidak mau ikut, Hilda akan memaksanya. Karena dia tidak mau ibunya terlibat lebih jauh dengan CEO super kejam itu.

"Pak bisa dipercepat, nggak?"

"Kenapa, Neng? Buru-buru amat."

"Saya cuma khawatir dengan keadaan ibu saya. Tadi katanya habis terpeleset di kamar mandi dan nggak ada yang membawanya ke rumah sakit," kata Hilda, berbohong.

Pak Arman menuruti keinginan Hilda. Taksi itu melaju dua kali lebih cepat. bagunan-bangunan di sisi kiri dan kanan serta lampu-lampu jalan hanya terlihat sekilas. Menghilang secepat kilat.

Dua puluh menit kemudian, taksi berhenti tepat di alamat yang sudah Hilda berikan. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Hilda turun dari taksi. Sambil membawa tas besar berisi barang-barangnya, Hilda berlari menuju rumah kontrakan yang terletak di ujung gang.

Rasa rindu kepada Kartika semakin membuncah. Dia lupa kenyataan kalau ibunya telah menjualnya, yang dia ingat hanyalah dia sudah lama meninggalkan Kartika seorang diri. Kartika pasti kesepian tanpa dirinya.

Gadis mungil itu sudah sampai di ujung gang. Tempatnya berdiri remang-remang karena lampu berkedip-kedip. Tidak bisa memberikan penerangan.

Hilda mematung. Seharusnya yang ada di depannya adalah rumah sewaan mereka. Rumah kelewat sederhana dengan dinding kayu yang dimakan rayap. Kaca jendelanya retak dan beberapa ada yang bolong. Tapi, pemandangan di depannya bukanlah rumah sewaan tempat dia dan Kartika tinggali. Hanya tanah kosong dengan puing-puing sisa bangunan, seperti habis dibongkar.

Hilda meneguk ludah susah payah. Jika rumah sewanya sudah rata dengan tanah, lalu ke mana Kartika pergi. Di mana ibunya sekarang tinggal. Hilda kebingungan. Tidak ada tetangga yang bisa dimintai penjelasan.

Hilda jatuh terduduk di tanah lembap. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia tidak bisa menghungi Kartika karena dia tidak punya ponsel. Tidak bisa membeli karena saking pas-pasannya hidupnya sebelum bertemu Arash. Uangnya hanya untuk makan dan perawatan Kartika, itu pun harus berutang kepada tetangga.

Di tengah kekalutannya Hilda mencoba berpikir jernih. Memikirkan langkah apa yang harus diambilnya sekarang. Tidak mungkin dia langsung pergi meninggalkan kota ini tanpa Kartika.

Kini tujuannya hanyalah rumah Nisa, teman baiknya saat bekerja di rumah makan. Rumahnya hanya satu kilometer dari bekas rumah sewanya ini. Sambil menjinjing tas, Hilda berjalan kaki menuju rumah Nisa. Tidak ada alat transportasi lagi yang beroperasi di jam satu malam ini.

Angin malam berembus kencang. Tubuh kecil Hilda yang hanya dibungkus baju tipis menggigil kedinginan. Sepertinya akan turun hujan karena bintang-bintang ditutupi awan tebal. Kilat mulai bermunculan dan suara guntur menggema.

Hilda semakin melajukan langkahnya. Untung saja selama perjalanan dia tidak bertemu dengan orang-orang aneh. Para pria yang biasanya main judi sambil mabuk-mabukan di pinggir jalan.

Setelah berjalan kaki selama dua puluh menit, Hilda akhirnya sampai di sebuah rumah susun sederhana. Dia mengetuk pintu bercat hujau tua. Pelan saja, takut membangunkan penghuni lain.

Pintu dibuka secara hati-hati setelah ketukan kelima. Wajah kusut tapi penuh curiga milik Nisa muncul di ambang pintu.

"Nisa," panggil Hilda.

Gadis berambut pirang yang dipanggil Nisa itu memicingkan mata. Dia mengucek matanya beberapa kali sebelum berkata, "Hilda? Ya ampun! Apa yang kamu lakukan di sini? Masuk, masuk!"

Nisa menarik Hilda ke dalam rumah susunnya. Dia segera mengunci pintu dan lampu.

"Kamu ke mana aja, Hil?" Nisa membawa Hilda duduk lesehan di lantai kayu berlapis karpet plastik. "Kok baru nongol sekarang? Teman-teman dan bos pada nyariin kamu. Kamu mau ke mana, kok bawa tas besar?" Nisa terus memberondongi Hilda dengan pertanyaan.

"Ceritanya panjang, Nis."

Nisa menghela napas. "Aku takut banget pas lihat kamu diseret oleh dua pria berbadan besar itu. Kamu nggak pa-pa, kan?"

"Nggak pa-pa." Hilda tersenyum, menenangkan.

"Kenapa bisa-bisanya mereka nyeret kamu?"

"Itu ... aku nggak bisa cerita sekarang."

"Oke. Nggak pa-pa. Tapi kamu janji nanti akan ceritain semuanya ke aku, oke?"

Hilda mengangguk mantap. "Nis, aku mau tanya."

Nisma mengangguk. "Mau tanya apa?"

"Kamu tahu ibu aku ke mana?"

"Nggak tahu," lirih Nisa sambil menunduk. "Tapi...." Nisa kelihatan ragu-ragu untuk melanjutkan.

Hilda menggenggam tangan Nisa erat. "Tapi apa, Nis? Kalau kamu tahu sesuatu tolong kasih tahu aku. Ini penting banget buat aku."

"Tiga hari setelah kamu nggak masuk kerja, aku ke rumah kamu. Di depan rumah, aku lihat ibumu naik mobil mewah. Kalau nggak salah lihat, ada pria gendut dan botak di dalam mobil. Teman ibu kamu, kayaknya. Habisnya mereka kelihatan akrab banget."

"Teman ranjang...," desis Hilda. Tangannya terkepal di samping badan.

"Kamu tahu nggak perihal rumah yang kusewa itu? Sekarang rumah itu sudah rata dengan tanah. Padahal, ibu tinggal di situ."

"Katanya, ibumu pindah. Tetanggamu bergosip kalau ibumu tinggal dengan pria botak yang kulihat di mobil itu."

"Di mana pria itu tinggal?" tanya Hilda dengan

suara gemetar karena marah. "Nggak tahu. Semua orang nggak ada yang tahu,"

balas Nisa sambil menepuk paha Hilda, berusaha menenangkan gadis malang itu.

"Nis." Hilda menatap teman baiknya itu lekat-lekat. "Boleh nggak aku tinggal di sini malam ini. Cuma malam ini aja kok. Besok pagi-pagi aku udah pergi."

"Kamu mau tinggal berapa lama pun, aku nggak keberatan. Lagian aku malah senang punya teman."

Hilda menggeleng pelan. “Aku nggak bisa lama-lama di sini. Keadaanku sekarang sedang nggak baik, Nis. Kalau aku tetap di sini aku takut kamu juga akan terlibat."

Mendengar penuturan Hilda membuat wajah Nisa pucat. "Kamu ngomong apa sih?" tanyanya takut. "Kedengarannya kamu kayak lagi dikejar-kejar orang. Emang kamu buronan? Kamu sudah membunuh orang?"

Hilda tersenyum geli. "Aku buronan. Tapi nggak sampai ngebunuh orang. Nanti kalau ada waktu aku akan cerita."

"Oke. Kamu tidur aja. Kalau nggak keberatan, kita bisa tidur berdua." Nisa berjalan menuju kamarnya dan membukakan pintu. "Anggap rumah sendiri."

"Nis, makasih banyak sudah nolongin aku." Hilda semringah dan beranjak memasuki kamar Nisa.

"Sesama manusia harus saling membantu, kan?"

Hilda langsung merebahkan tubuh letihnya di ranjang Nisa. Siapa yang peduli kalau ranjang di apartemen itu sepuluh kali lebih nyaman dari ranjang di sini. Sekarang bukan saatnya membandingkan.

Tidur, isi tenaga agar besok pagi bisa pergi sejauh-jauhnya.

Bersambung....

Terpopuler

Comments

Aze_reen"

Aze_reen"

hello hilda naif binti oneng...
ibumu biasa hidup dunia jedag jedug lu ajak dia hidup susah... bisa2 lu dijadikan pelacur buat nyenangin dirinya...
sumpah Hilda ini... pikirannya...astaga...

2023-07-16

0

Aiur Skies

Aiur Skies

bodo banget apa polos nih bocah, mak dapet 5M yah dah tinggal di kawasan elit Neng atau ke LN ngabuuur wkwkwkwk

2023-05-11

0

Aiur Skies

Aiur Skies

jiaaaah, klo mau kabur jgn tanggun2 neeeng, si emak yg ngejual loe gak usah diajak, klo diajak mah namanya bukan kabur tapi nyari masalah baru, lah mak bisa lapor Arash atau jual loe lagi

2023-05-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!